Tugumalang.id – Sore itu cuaca di Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, cerah berawan. Di sebuah panti jompo bernama Griya Lansia Husnul Khatimah, puluhan lansia duduk-duduk di taman menikmati makan sore mereka sembari bermandikan cahaya matahari.
Di tengah-tengah mereka, duduk Mbah Kartining (79) dengan mengenakan daster warna merah bermotif dan jilbab coklat bercorak bunga-bunga putih. Ia menyantap hidangan yang diberikan padanya dalam diam.
Setelah selesai santap sore, para kakek dan nenek di Griya Lansia diajak berdoa bersama. Pengurus panti juga mengumumkan bahwa di malam hari nanti akan diadakan salat tarawih berjamaah di musala. Semua menyambut pengumuman itu dengan antusias.
Saat acara makan selesai, para lansia kembali ke kamar masing-masing. Kartining juga sempat masuk ke kamarnya sebentar, namun tak lama kemudian ia keluar untuk duduk di teras, menikmati hujan gerimis yang baru turun.
Ia menyambut wartawan tugumalang.id yang meminta ijin untuk wawancara dengan tangan terbuka. “Sampean lenggah mriki (silakan duduk di sini),” katanya sambil tersenyum lebar.
Kartining telah menghuni Griya Lansia Husnul Khotimah sejak satu tahun yang lalu. Ia tak ingat kapan persisnya, tapi ia ingat saat itu kondisi panti masih dalam tahap pembangunan. “Sebelah sini masih tanah semua,” katanya sambil menunjuk taman yang saat ini dipenuhi rumput, tanaman hias, pepohonan, dan bangku-bangku.
Ia mau tak mau harus tinggal di panti karena sudah tidak memiliki keluarga dan tempat tinggal. Bahkan sebelum dibawa ke Griya Lansia, ia mengaku tidur di Poskamling selama tiga hari.
“Warga kasihan sama saya, akhirnya saya diantar ke sini,” kata wanita asal Kota Jombang tersebut.
Kartining kemudian menceritakan kehidupannya sebelum dibawa ke Griya Lansia. Mulai dari masa kecil hingga harus kehilangan suami, anak-anak, dan rumah, semua ia ceritakan dalam bahasa Jawa.
Kehidupan Mbah Kartining Saat Masih di Jombang
Hidup sebatang kara bukanlah hal baru bagi Kartining. Sejak balita ia telah hidup sendiri karena orang tuanya meninggal dunia. Iapun dirawat oleh bibinya.
“Saya sejak kecil tidak punya siapa-siapa. Umur tiga tahun sudah tidak punya orang tua. Waktu itu saya ikut bibi,” kenang Kartining.
Di usia yang masih muda yakni 14 tahun, Kartining dinikahkan oleh bibinya tersebut. Ia tidak bisa berbuat banyak karena anak perempuan di jaman itu memang tidak diharapkan mengenyam pendidikan tinggi.
Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai satu putra dan tiga putri. Namun saat ia hamil anaknya yang terakhir, suaminya berpulang ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. “Suami saya meninggal saat saya hamil dua bulan,” katanya.
Untuk menghidupi anak-anaknya, ia berjualan pakaian bekas di pasar. Ia bersyukur bisa menyekolahkan semua anaknya. Ia sendiri dulu hanya bisa mengenyam pendidikan hingga kelas tiga Sekolah Dasar (SD). “Cuma sampai kelas tiga SD, setelah itu saya disuruh menikah,” kenangnya.
Saat anak-anaknya dewasa, cobaan kembali menderanya. Anak-anaknya meninggal satu per satu. Ada yang meninggal karena sakit, ada yang meninggal karena kecelakaan. Kartining kembali sebatang kara.
Tak hanya itu. Salah seorang anaknya yang belum lama meninggal rupanya menggadaikan rumah Kartining tanpa sepengetahuannya. Ketika si anak tersebut meninggal, rumah tersebut disita karena Kartining tidak bisa membayar utang anaknya.
“Saya di Jombang tidak punya rumah. Saya nggak tahu kalau rumah itu dijadikan jaminan utang. Terus pas dia mati yang memberi utang itu datang dan menyita rumah,” tuturnya.
Oleh penagih utang, Kartining diminta menebus rumah tersebut dengan uang sebesar Rp 100 juta. Mengaku tak punya apa-apa, Kartining pasrah kepemilikan rumahnya jatuh ke pihak lain dalam sekejap mata.
Sejak saat itu, Kartining mulai berpindah-pindah. Ia menumpang di rumah siapa saja yang mau menampungnya.
Salah satu orang yang mau menampung Kartining adalah menantunya, tepatnya suami dari anaknya yang baru saja meninggal. Tapi Kartining tidak tinggal lama di sana karena cucunya berperilaku kasar terhadapnya.
“Saya awalnya ikut menantu sewaktu anak saya meninggal. Tapi di sana, saya malah tidak dihargai oleh cucu saya sendiri. Saya dipukul dan ditampar sama dia, padahal dia masih usia belia. Saya bingung saya ini salah apa,” kata Kartining.
Ia juga menceritakan bahwa cucunya mengusir Kartining dengan menggunakan kata-kata kasar. Baju-bajunyapun dibuang ke jalanan.
Belum usai duka Kartining setelah ditinggal oleh keempat anaknya dan kehilangan rumah, ia hidup terlunta-lunta karena tidak ada yang mau menampungnya. Akhirnya, ia tidur di Poskamling selama tiga hari.
Melihat Kartining tidur di Poskamling, beberapa warga sempat mengira ia gelandangan atau orang dengan gangguan jiwa. Salah satu warga yang menyadari Kartining hanyalah orang malang yang kehilangan tempat tinggal menawarkan Kartining untuk tinggal di rumahnya.
Tapi lagi-lagi nasib buruk menimpanya. Orang tersebut diduga tidak tulus menolong Kartining. Kartining mengaku uangnya selalu dirampas sehingga Kartining tidak tahan untuk tinggal di sana. “Saya ikut orang, tapi di sana saya malah disiksa dan ditipu,” kata Kartining.
Menyadari ia tak bisa hidup seperti itu selamanya, Kartining menemui kepala desa setempat untuk meminta pertolongan. “Saya nangis ke pak kepala desa, terus sama pak kepala desa diantar ke sini (Griya Lansia),” katanya.
“Pikiran saya waktu itu nggak karuan. Itu belum peringatan 100 hari kematian anak saya,” imbuhnya.
Saat ditanya mengenai cucu-cucunya, ia mengaku punya banyak cucu tapi tak ada yang peduli padanya. Sambil tersenyum masam, ia mengatakan bahwa untuk meceritakan seluruh hidupnya akan dibutuhkan waktu dua bulan.
Menantu-menantunya yang lain juga enggan membantu karena merasa tidak punya hubungan keluarga lagi. “Dulu waktu anak-anak saya hidup, saya disayang sama menantu. Begitu anak-anak saya meninggal, ya sudah,” ucapnya.
Menikmati Sisa Hidup di Griya Lansia Husnul Khatimah
Kartining telah menerima nasibnya yang menua tanpa keluarga. Namun ia justru bersyukur karena semua kebutuhannya tercukupi di Griya Lansia. Ia juga memiliki banyak teman yang bisa diajak mengobrol.
Salah satu teman dekatnya adalah Mbah Rukayah yang juga berasal dari Jombang. Keduanya tinggal dalam satu kamar dan sering duduk bersama-sama di setiap kesempatan.
“Di sini semua tercukupi, nggak kekurangan apa-apa. Kalau butuh sesuatu, dibelikan (sama pengurus panti),” kata Kartining.
Kegiatan di Griya Lansia yang cukup padat justru membuat Kartining senang karena membuatnya lebih aktif dan lebih banyak beribadah.
“Di sini kalau pagi setelah subuh itu ngaji, terus senam. Sebelum senam kami boleh minum susu, kopi, atau teh. Habis senam, kami sarapan,” tuturnya.
Dengan antusias, ia juga menyebut bahwa ia sempat dijenguk oleh rombongan tetangga-tetangganya di Jombang. “Saya dijenguk tetangga-tetangga dan pak kepala desa. Mereka kasihan sama saya. Mungkin ada 30 orang yang jenguk saya ke sini, rombongan naik bus,” katanya sambil tertawa.
Saat masuk ke Griya Lansia, Kartining memiliki masalah penglihatan yang disebabkan oleh katarak. Bulan November 2021 lalu, Kartining menjalani operasi katarak. Ia senang karena sudah bisa melihat lagi meskipun masih harus dibantu dengan kacamata.
Kartining sudah mengikhlaskan keluarganya. Ia kini tidak berharap banyak dari darah dagingnya sendiri. Ia merasa sudah memiliki keluarga baru di Griya Lansia.
Reporter: Aisyah Nawangsari
Editor: Lizya Kristanti
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id