Oleh: Adhyatman Prabowo., M.Psi, Psikolog*
Tugumalang.id – Internet dan teknologi tanpa kita sadarai telah ikut andil dalam kehidupan kita. Mulai dari terciptanya aplikasi canggih dalam memudahkan kita memesan makanan, fitur ponsel untuk memudahkan kita mengakses pembelajaran dimana saja, sampai merubah pola sosialisasi masyarakat. Perubahan-perubahan ini tak luput dengan adanya pro kontra yang terjadi di masyarakat. Sama halnya dengan tren digital parenting atau pengasuhan digital.
Tantangan Era digital
Tren pengasuhan zaman dulu berbeda dengan pengasuhan zaman sekarang. Bernostalgia sejenak zaman dulu era 90an, anak-anak sering bermain di lingkungan luar rumah mulai dari bermain sepak bola, bermain tradisional, bermain di sungai, bermain di sawah dan masih banyak yang lainnya. Pada prinsipnya bermain dengan banyak berinteraksi langsung dan berkelompok. Bagaimana anak-anak sekarang yang tumbuh di era tahun 2000an? Tentunya mengalami perubahan-perubahan yang luar biasa.
Hal ini tidak lain karena adanya peran digitalisasi yang tumbuh dengan pesat sehingga anak hidup di era digital. Belum ditambah lagi dengan kondisi pandemi sekarang ini, anak pada akhirnya banyak melakukan semua aktivitas di dalam rumah. Bahkan bisa dikatakan 70 persen anak-anak aktivitasnya ada di rumah. Ketika anak beraktivitas di rumah pastinya ada teknologi yang hadir menemani berupa gadget dan televisi yang sudah terkoneksi dengan YouTube. Pada akhirnya kondisi seperti ini tetap harus diterima oleh seluruh masyarakat dunia.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika perilaku berubah otomatis pengasuhan pun seharusnya mengalami perubahan. Dapat dikatakan bahwa urgensi digital parenting berangkat dari perubahan-perubahan perilaku yang ada. Pada konteks digitalisasi parenting, perubahan perilaku yang dimaksud adalah tidak hanya perubahan perilaku pada anak melainkan juga perubahan perilaku pada orang tua. Maka dari itu, dengan adanya perubahan-perubahan perilaku individu tadi, digital parenting atau pengasuhan digital ini dinilai sangat penting dan krusial untuk diterapkan.
Apa Itu Digital Parenting?
Digital Parenting menurut hemat saya adalah mengasuh, mendidik, dan membatasi. Mengasuh memberikan arti bahwa setiap orang tua harus memberikan bimbingan, arahan dan memenuhi semua kebutuhan anak mulai lahir hingga tumbuh menjadi dewasa. Mendidik disini diartikan sebagai usaha orang tua untuk membentuk karakter anak dengan penanaman nilai-nilai dari orang tua.
Selain itu peran orang tua disini adalah memberikan pemahaman tentang benar dan salah sesuai nilai-nilai kehidupan sosial. Sedangkan membatasi memberikan arti bahwa orang tua sebaiknya memberikan batasan yang jelas kepada anak tentang hal-hal yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan pada saat menggunakan perangkat digital.
Kolaborasi Pengasuhan
Orang tua harus memahami revolusi bahan-bahan pengasuhan mulai dari masa lalu hingga era digitalisasi. Artinya, apabila mengulik teori Baumrind (1966,1991) bahwa pola pengasuhan berarti serangkaian sikap yang diperlihatkan orang tua kepada anak untuk menciptakan iklim emosi yang melingkupi interaksi orang tua dan anak.
Pola pengasuhan ini terbagi menjadi tiga gaya yaitu authoritarian, authoritative, dan permissive. Ketiganya ini memiliki ciri khas masing-masing dalam memberikan efek yang berbeda kepada perilaku anak. Di mana authoritarian adalah gaya pengasuhan yang memberi batasan ketat pada anak. Authoritative adalah gaya pengasuhan yang mengarahkan kemandirian pada anak namun tetap memberi batasan.
Permissive adalah gaya pengasuhan yang toleran dan menerima apa yang dilakukan anak tanpa adanya intervensi. Kekuarangan dari gaya pengasuhan Baumrind adalah kurang adanya keterlibatan orang tua di dalamnya. Hingga sebuah pertanyaan besar muncul sebagai kebimbangan orang tua menghadapi era digital ini. Apakah relevansi gaya pengasuhan dulu masih layak diterapkan saat ini ?
Jelas saja pengasuhan zaman dulu dirasa kurang representatif menjawab kebimbangan para orang tua. Pada dasarnya pengasuhan zaman dulu akan terasa berbeda apabila digunakan di masa perubahan tantangan zaman yang adaptif. Tentunya orang tua akan memiliki tugas tambahan ketika harus melakukan pola asuh zaman dulu pada anak zaman sekarang.
Di mana tren pengasuhan zaman sekarang lebih memandang ke segala aspek yang belum pernah disentuh di zaman dulu. Keterlibatan dan keterbukaan orang tua contohnya, aspek ini merupakan fokus utama dari pengasuhan digital masa kini. Membuka pandangan bahwa yang harus berperan dalam pengasuhan tidak hanya satu arah untuk anak melainkan dua arah dari anak dan orang tua.
Bukan berarti pola pengasuhan zaman dulu salah dan harus dirubah sepenuhnya. Ada hal yang penting dari pola pengasuhan zaman dulu seperti nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua kita. Jika masih ingin menggunakan pola pengasuhan zaman dulu maka yang harus diubah adalah cara penyampaiannya karena kondisi anak zaman sekarang dengan anak zaman dulu berbeda.
Informasi yang diterima oleh anak sangat jauh berbeda dengan zaman dulu. Ditambah informasi yang masuk beragam dan banyak sekali. Alangkah baiknya jika pengasuhan zaman dulu dan zaman sekarang bisa menjadi sebuah kolaborasi yang utuh ketika disatukan. Move on ke masa sekarang sebenarnya tidaklah sulit untuk membangun sebuah kolaborasi dalam gaya pengasuhan.
3 Prinsip Digital Parenting
Menerapkan praktik digital parenting membutuhkan prinsip-prinsip yang kuat. Orang tua harus menguasai prinsip-prinsip ini. Pertama, sebagai individu harus terbuka terlebih dulu, karena digital parenting bisa memiliki dua makna yaitu positif dan negatif. Apabila kita menutup mata soal digital parenting dengan kemajuan teknologi maka suatu saat hal itu akan menjadi boomerang bagi diri dan anak kita kedepannya. Ketika orang tua sudah memiliki prinsip keterbukaan maka informasi yang masuk otomatis akan terupdate.
Maka dari itu prinsip keterbukaan ini menjadi prinsip utama dari digital parenting. Kedua, orang tua harus terlibat di dalam pengasuhan. Beberapa orang menganggap bahwa digital parenting hanya sekedar memberikan fasilitas terbaik kepada anak tetapi, hal itu kurang benar. Sebenarnya teknologi hanya sebagai alat untuk mendukung pola pengasuhan.
Jadi jangan disalah artikan bahwa digitalisasi parenting itu hanya memberikan fasilitas canggih kepada anak. Bahkan memberikan fasilitas tidak bisa dikatakan sebagai digital parenting, karena prinsip-prinsip digital parenting tidak masuk dalam hal itu. Dimana seharusnya pada prinsip-prinsip digital parenting harus ada keterlibatan dari orang tua dalam pengasuhan itu sendiri. Ketiga, sebagai orang tua harus bisa mengontrol.
Orang tua harus bisa melihat sejauh mana pola pengasuhan yang akan diberikan kepada anak kita. Apabila ada pengasuhan yang belum bisa di lakukan maka harus melakukan kontrol dan evaluasi diri terlebih dulu. Karena jika tidak bisa melakukan prinsip-prinsip itu tadi maka akan menjadi bahaya.
Mungkin masih banyak prinsip lainnya yang bisa mendukung proses pengasuhan tetapi, ketiga prinsip itu tadi adalah prinsip yang paling krusial dimana melihat masih banyak orang yang salah tafsir mengenai digital parenting.
Dilematika orang tua
Dilematika yang dirasakan sangat signifikan. Banyak orang tua menerima digital parenting dalam pola pengasuhannya. Namun demikian, beberapa orang tua lainnya justru memberikan respon negatif terhadap adanya digital parenting ini. Pro dan kontra orang tua terhadap digital era membawa dampak positif dan negatif dalam hal pengasuhan.
Dampak positif digital era adalah anak-anak akan mampu mengembangkan bakat-bakat terpendam yang belum pernah terlihat dalam banyak wadah. Peluang untuk bertumbuh secara optimal sangat besar didapatkan oleh anak maupun orang tua. Terdapat dampak positif lainnya yakni kemudahan akses (pengetahuan), efisiensi waktu, peluang untuk bertumbuh, dll. Di sisi lain juga terdapat dampak negatif yang mengiringi yakni adiktif (kecanduan), degradasi moral, kesehatan, dan individualis (kepekaan sosial).
Strategi digital parenting
Strategi solutif yang ditawarkan pada orang tua pertama, adalah menumbuhkan perilaku adaptif (ubah laku). Sebagai orang tua yang modern sudah bukan zamannya lagi kita “gaptek “ (Gagap Teknologi). Penyadaran dilakukan terhadap kemauan diri sendiri untuk belajar beradaptasi dengan teknologi baru. Hal ini akan mengotomatisasi perubahan mindset kita terhadap kemajuan revolusi industri 4.0 dan cara hidup bersama digitalisasi.
Contoh kecil yang bisa diambil ketika anak kita bisa mengakses situs terlarang di internet tetapi, justru kita sebagai orang tua tidak tau akan hal itu dan tidak bisa apa-apa. Kedua, orang tua menentukan tujuan pengasuhan seperti apa yang diingikan. Semua hal akan berjalan baik ketika dimulai dengan tujuan. Ketiga, kesadaran digital (aturan main).
Teknologi hanya sebagai alat, bukan menjadi pengganti orang tua. Kerja teknologi hanya sebaga fasilitas untuk anak mengembangkan kemampuan. Ketika anak sekolah daring maka orang tua tidak hanya memberikan peralatan gadget tercanggih. Melainkan juga harus mendampingi serta memberi pemahaman nilai-nilai apa yang harus didapat setelah pembelajaran.
Hal ini bisa membawa kelekatan emosi dengan anak. Keempat, Fasilitator kegiatan anak. Orang tua harus memahami kebutuhan anaknya, bukan keinginan anaknya. Kepekaan orang tua di uji dalam hal ini. Tak jarang anak meminta fasilitas yang dia belum mengerti apakah itu benar-benar dibutuhkan atau hanya akan sia-sia.
Kelima, life balance (dunia nyata dan maya). Harus ada balance atau penyeimbang. Dunia maya harus diimbangi dengan dunia nyata. Orang tua harus meluangkan waktu untuk mendampingi sebagai upaya penyeimbangan teknologi dengan dunia nyata.
“Terkait digitalisasi orang tua tidak boleh takut, bahkan harus terjun dan harus mencari tau lebih dalam digitalisasi itu seperti apa? Hubungkan digitalisasi dengan hal positif dan selalu terhubung dengan keterbukaan.
*Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Editor : Herlianto. A