Akhmad Mukhlis*
Saat pulang nonton film dengan temannya, wajah anak saya terlihat sendu. Bahkan dia sempat memeluk saya dan bundanya. Saya tahu dia nonton film genre keluarga yang berkisah tentang heroiknya perjuangan orang tua. Apakah hal tersebut normal dan baik untuk anak?
Saat menonton televisi, film atau membaca kisah dalam novel kita sering sangat terhanyut dan melibatkan emosi. Kesedihan, tangisan, ketakutan bahkan kemarahan tidak lagi dalam narasi teks novel dan layar kaca, melainkan menjalar pada diri kita yang membaca atau menyaksikannya. Bahkan perasaan seperti terhanyut, merasa melayang dan asing terkadang terasa saat kita keluar ruangan setelah menyelesaikan kisah tersebut.
Dulu, saat televisi masih menjadi barang berharga dan ditonton sekelompok rumah tangga, emosi-emosi penonton sering menjadi hal yang lucu dan terkadang mengganggu. Tak jarang emosi tersebut menjadi konflik karena beberapa penonton lainnya merasa tertanggu. Psikologi menyebut hal tersebut sebagai narrative transportation.
Transportasi Narasi
Sering disebut sebagai transportasi, merupakan pengalaman tenggelam dalam sebuah cerita. Ketika seseorang diangkut ke dalam narasi media apapun (teks, film, acara TV, podcast, video game, atau narasi interaktif lainnya), mereka diserap secara kognitif dan emosional dalam citra cerita. Transportasi merupakan fenomena dimana penonton merasa begitu terlibat dalam alur cerita yang dapat memengaruhi sikap dan perilaku mereka dalam kenyataan, bahkan setelah mereka selesai menonton film atau membaca cerita.
Adalah Melanie Green dan Timothy Brock dari Ohio State University yang memperkenalkan konsep ini sebagai pengaruh implisit narasi pada tahun 2000. Ketika mengkonseptualisasikan ide transportasi, mereka berdua menggunakan analogi yang dibuat oleh Richard Gerrig dalam bukunya tahun 1993 Experiencing Narrative Worlds. Gerrig membandingkan tenggelam dalam sebuah cerita dengan perjalanan fisik seseorang ke sebuah tempat baru (tidak bisa mengakses kehidupan kesehariannya) dan kemudian kembali dengan agak berubah oleh perjalanan tersebut. Transportasi sangat mungkin menginggapi semua orang, dengan kadar yang tentunya berbeda.
Fitur teks adalah hal pertama yang memengaruhi seberapa jauh kita akan terserap dalam sebuah narasi cerita. Narasi yang dibuat dengan baik lebih mungkin untuk menangkap imajinasi konsumen daripada narasi berkualitas buruk. Cerita dengan sudut pandang yang dapat dimengerti banyak orang cenderung memiliki kemenarikan dan potensi transportasi daripada narasi dalam buku-buku pelajaran misalnya.
Karakteristik situasional adalah hal kedua apakah narasi akan menyeret penikmatnya atau tidak. Narasi sebagus apapun akan gagal untuk membawa konsumen jika situasinya mengganggu. Bayangkan betapa jengkelnya kita saat salah satu tetangga kita teriak dan mengomel jengkel melihat karakter dalam sinetron pada zaman dahulu. Padahal kita sedang asik-asiknya menikmati alur cerita tersebut. Di sisi lain, jika seseorang mengonsumsi narasi untuk lari dan istirahat dari bisingnya pekerjaan, bahkan narasi di bawah standar mungkin akan menariknya dalam trasportasi karena konsumen secara khusus termotivasi untuk melarikan diri dari keadaan mereka saat ini.
Hal ketiga yang membuat seseorang gampang atau tidak terhanyut dalam narasi adalah perbedaan karakteristik individual. Sebuah penelitian yang diterbitkan tahun 2018 menguji transportasi dengan menggunakan film Up dan Casino Royale. Orang-orang dengan skor tinggi dalam empati dan pencarian sensasi (sensation seeking) lebih mudah terbawa ke dalam narasi film. Selain kedua hal tersebut, sebuah penelitian tahun 2008 juga menyebut faktor keingintahuan dan kognisi juga menentukan transportasi seseorang. Artinya ini adalah kabar baik bagi kita yang memiliki anak-anak yang mudah terhanyut dalam film atau bacaan. Hal tersebut menunjukkan bahawa mereka memiliki rentang perhatian, keingintahuan dan juga empati yang baik.
Sisi Gelap Transportasi
Transportasi narasi sayangnya juga dicurigai memiliki sisi gelap. Penikmat narasi dianggap dapat saja menginspirasikan karakter dalam cerita dan menjadikannya panutan. Jika karakter tersebut adalah karakter baik, tentu itu kabar gembira. Namun bagaimaa jika karakter tersebut adalah karakter negatif, destruktif dan bahkan anti-sosial? Di barat, beberapa pelaku kejahatan mengaku dalam persidangan bahwa tindakan mereka terinspirasi dari film, novel dan atau narasi lainnya.
Betapapun sulitnya membuktikan dampak negatif narasi, beberapa peneliti telah berusaha membuktikannya secara ilmiah. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Appel dan Richter tahun 2011 yang melakukan eksperimen dengan narasi hooligan sepak bola. Appel menemukan bahwa manusia cenderung berusaha untuk meniru ciri-ciri kepribadian yang dikaguminya dan mengasimilasi atau meniru sikap mereka.
Terlepas dari sisi gelap tersebut, transportasi adalah hal yang sangat menggiurkan bagi mereka yang ingin memengaruhi orang lain. Oleh karenanya, transportasi naratif sering dimanfaatkan untuk mereka yang berada dalam bidang pemasaran dan periklanan. Pemirsa ditarik ke dunia fiktif yang sudah dikondisikan sedemikian rupa mengarah pada produk-produk tertentu.
Menjaga Nalar Kritis
Secara umum, narasi dalam sebuah cerita memiliki pengaruh implisit pada seseorang dengan level yang berbeda. Bisa jadi cerita yang tidak menarik bagi kita akan sangat menarik bagi orang lain. Menariknya saat terjadi transportasi, manusia cenderung mengadopsi sikap yang kurang kritis. Untuk itu, mendampingi anak untuk memilah cerita, tontonan dan bahkan permainan online adalah hal terbaik yang harus dilakukan orang tua manapun. Jangan lupa pula, obrolan setelah mereka menikmati narasi apapun penting untuk menjaga nalar kritisnya.
*Dosen Psikologi PIAUD FITK UIN Malang yang juga anggota Asosiasi PPIAUD Indonesia