Malang, Tugumalang.id – Universitas Brawijaya Malang (UB) mengukuhkan 4 professor dari lintas ilmu sekaligus pada Sabtu (22/7/2023) di Gedung Samantha Krida. Mereka datang dari pelbagai bidang mulai Bioenergi, Ilmu Hukum Ekonomi hingga Hukum Internasional.
Adapun keempat profesor tersebut adalah Prof. Dr. Ir. Bambang Dwi Argo, D.E.A. dikukuhkan sebagai Profesor aktif ke 12 di Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) dan profesor aktif ke 171 di UB serta menjadi Profesor ke 320 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan UB.
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Bambang Dwi Argo memaparkan penelitian berjudul “Inovasi Reaktor Superkritis Semi Kontinyu Untuk Produksi Biodisel” sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan energi nasional.
Prof Bambang mengajukan energi baru terbarukan yakni bioetanol dan biodiesel untuk menggantikan bensin dan minyak diesel. Ketersediaan bensin dan minyak diesel sendiri sudah terbatas dan utamanya tidak ramah lingkungan.
BACA JUGA: Universitas Brawijaya Kukuhkan 2 Guru Besar, Jadi Profesor Aktif ke-168 dan 169
Sebab itu, dia mengajukan membuat bahan bakar yang ramah lingkungan dari minyak tumbuhan atau minyak hewan (trigliserida) tanpa bahan katalis, baik dari bahan non-pangan maupun zat kimia.
Bioetanol dan biodisel sendiri merupakan jenis bahan bakar baru dan terbarukan yang dihasilkan dari konversi bahan biomasa, khususnya biomasa non pangan.
Adapun, minyak tumbuhan atau hewan yang bisa dimanfaatkan seperti ekstrak dari biji jarak, kapok, nyamplong, mikro alga atau dari lemak ikan telah diteliti dan berhasil dikonversi menjadi biodisel.
Kedua, ada Prof. Dr. Setyo Widagdo, S.H., M.Hum dikukuhkan sebagai profesor aktif ke 6 di Fakultas Hukum dan profesor aktif ke 172 di Universitas Brawijaya serta menjadi profesor ke 321 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan oleh UB.
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Setyo memaparkan tentang “Pembentukan Perjanjian Internasional Dengan Enhancement Model Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan.
Dimana selama puluhan tahun ada 6 negara yang terus-menerus bersengketa terkait kepemilikan Laut Cina Selatan ini. Antara lain China, Malaysia, Brunei, Vietnam, Filipina dan Taiwan.
Prof Setyo memandang hal ini tidak baik dibiarkan larut terus-menerus. Sehingga dia menawarkan model penyelesaian sengketa baru, enhancement model dalam pembentukan perjanjian internasional sebagai hard law untuk menggantikan soft law yang selama ini digunakan, yaitu Code of Conduct, atau aturan tingkah laku.
Menurut dia, kelemahan mendasar metode Code of Conduct ini terletak dari aturan tingkah laku atau sebuah kode etik yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (non legal binding).
“Kelemahan kedua adalah sejak awal Code of Conduct ini dalam perspektif status hukum, tidak direkomendasikan sebagai perjanjian yang sesuai dengan hukum internasional,” jelasnya.
Sementara, pembentukan perjanjian internasional dengan enhancement model memiliki kelebihan, yaitu merupakan peraturan yang mengikat secara hukum (legal binding) dan dalam penerapannya memiliki kepastian hukum.
Dengan demikian, pembentukan perjanjian internasional dengan enhancement model ini dapat digunakan sebagai alternatif menyelesaikan sengketa Laut Cina selatan karena sifatnya yang mengikat secara hukum.
Ketiga, Prof. Dr. Sukarmi, S.H., M.Hum dikukuhkan sebagai profesor aktif ke 7 di Fakultas Hukum (FH) dan profesor aktif ke 173 di Universitas Brawijaya serta menjadi Profesor ke 322 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan oleh UB.
Orasi ilmiah menarik dipaparkan Prof. Sukarmi yang mempunyai metode untuk memerangi mafia atau kartel yang kerap merugikan negara. Judul paparan beliau berjudul “Model Pengaturan Leniency Program Untuk Memerangi Kartel Dalam Bayang-Bayang Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”.
Kartel merupakan salah satu bentuk pelanggaran persaingan usaha yang sulit untuk pembuktiannya. Kartel merupakan perjanjian yang dilarang dilakukan para pelaku usaha, untuk mengatur tingkat pasokan dan harga barang/jasa di pasar tersebut. Perilaku kartel sudah tersusun dan terencana dengan rapi.
BACA JUGA: Profesor di UB Temukan Manfaat Daun Semanggi Air untuk Perbaikan Kualitas Sperma
Meski dalam hal ini, upaya memerangi Kartel telah dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), namun hal itu masih dirasa masih mentah. Model aturan Leniency Program rupanya menjadi kajian menarik untuk diterapkan di Indonesia.
Prof Sukarmi menjelaskan Leniency program adalah kebijakan yang menjelaskan bahwa anggota pelaku kartel yang terlebih dahulu melaporkan terkait perjanjian kartel tidak akan dikenakan sanksi atau pengurangan denda perbuatan kartel.
Dalam leniency program berlaku prinsip”first come first served” dan berdasar pada bukti yang dapat disampaikan, yang berarti siapa yang lebih dulu mendekati dan melaporkan kepada otoritas persaingan.
“Lalu seberapa besar bukti yang disampaikan dialah yang berhak mendapatkan pengampunan. Kekuatan yang ada pada model ini adalah semakin lawal dan semakin besar peranan dari ‘whistleblower” akan semakin besar pengurangan denda atau bahkan dibebaskan,” paparnya.
Adapun kelemahan model leniency program ini adalah tidak dibarenginya Lembaga Perlindungan Pemohon Leniency Program sebagai jaminan adanya kerahasiaan bagi pemohon.
Dengan adanya leniency program ini, menurut Sukarmi nanti akan berdampak penurunan harga rata-rata, menurunkan kartel dan mencegah adanya kemungkinan kartel terbentuk kembali sekaligus memiliki efek pencegahan kartel akan terjadi lebih besar.
Terakhir, Prof. Dr. Muchamad Ali Safa’at, S.H., M.H. sebagai Profesor aktif ke 8 di Fakultas Hukum (FH) dan Profesor aktif ke 174 di Universitas Brawijaya serta menjadi Profesor ke 323 dari seluruh Profesor yang telatr dihasilkan oleh UB.
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Muchamad Ali Safa’at memaparkan penelitiannya soal “Model Pendekatan Realisme Hukum Dalam Pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara”.
Prof Ali menyoroti adanya produk dan putusan hukum yang mendapat perhatian masyarakat, dan menimbulkan pro dan kontra. Sorotan ini ada, kata dia disebabkan oleh tiga hal. Pertama, putusan atau produk hukum ini memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, adanya kelompok masyarakat dan ahli yang tidak setuju dan memberikan kritik karena dinilai tidak sesuai prinsip demokrasi konstitusional. Dan ketiga, produk dan putusan hukum ini, biasanya dibuat dalam waktu yang lebih cepat ketimbang biasanya di saat masih kuat penolakan dan kritik.
Untuk mengembangkan sebuah ilmu hukum tata negara agar memiliki kemampuan menjelaskan dan memprediksi, masalah pertama yang harus dijawab adalah kelemahan pendekatan dalam ilmu hukum tata negara sehingga tidak memiliki kemampuan menjelaskan dan memprediksi.
“Selanjutnya dianalisis apakah pendekatan realisme hukum dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut sehingga ilmu hukum tata negara memiliki kemampuan menjelaskan dan memprediksi,” jelasnya.
Pria yang kini menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Administrasi dan Sumber Daya UB Malang ini menawarkan rumusan model pendekatan realisme hukum dalam pengembangan ilmu hukum tata negara.
Menurutnya, model ini tidak membatasi studi ilmu hukum tata negara hanya pada norma di dalam peraturan perundang- undangan. “Namun juga meliputi pola dan kondisi sosial politik di mana norma tersebut dibentuk dan berlaku serta saling mempengaruhi,” jelas profesor dalam bidang ilmu hukum tata negara.
Pendekatan ini, jelasnya, merupakan pengembangan dari studi ilmu hukum tata negara saat ini yang didominasi pendekatan positivistik untuk kepentingan praktis dalam penyelenggaraan negara.
“Pendekatan realisme hukum dalam bidang ilmu hukum tata negara memiliki kekuatan mampu menjelaskan dan memprediksi produk dan keputusan hukum. Namun pendekatan ini memiliki kelemahan mengaburkan batas ilmu hukum tata negara dengan ilmu lain,” terangnya.
BACA JUGA: Berita tugumalang.id di Google News
reporter: ulul azmy
editor: jatmiko