MALANG – Eksistensi Radio Komunitas bisa dibilang kian surut tiap tahunnya. Bahkan, saat ini keberadaan radio komunitas jadi kian sulit karena makin ketatnya regulasi.
Dalam sidang terbuka Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) untuk Promosi Doktor Ilmu Komunikasi dengan promovendus. Ressi Dwiana mengangkat judul penelitian Kemunduran Radio Komunitas di Indonesia (Studi Ekonomi Politik tentang Relasi Kuasa dalam Pengaturan Penyiaran di Indonesia).
Ressi mengatakan jika dalam UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 adalah regulasi yang mengakui keberadaan penyiaran komunitas.
“Meskipun demikian, di dalam UU tersebut, radio komunitas dituntut agar menjadi penyiaran yang utopis atau bersifat independen, tidak komersial, dan melayani kepentingan komunitasnya. Di sisi lain, tidak ada dukungan nyata dari negara, bahkan dalam aturan-aturanpelaksanaan, pemerintah membuat batasan-batasan yang sangat ketat sehingga mempersulit kehidupan radio komunitas,” katanya pada webinar, Senin (11/01/2021).
Ia mengungkapkan jika sebenarnya awal kemunculan radio komunitas adalah untuk mewadahi suara-suara dan gerakan-gerakan sipil dari LSM, akademisi, dan praktisi radio komunitas bersama dengan politisi di DPR RI.
“Namun, pemerintah (eksekutif) sejak awal tidak ingin penyiaran komunitas diakui di dalam sistem penyiaran Indonesia. Meskipun pemerintah gagal menghalangi legalitas radio komunitas di dalam UU Penyiaran, tetapi pemerintah tetap konsisten pada sikapnya,” bebernya.
Kendati pemerintah sudah mengakui legalitas radio komunitas dalam UU Nomor 32 Tahun 2002. Nyatanya pemerintah juga menerapkan PP Nomor 51 Tahun 2005 yang membatasi kebebasan radio komunitas.
“Spirit demokratisasi yang ada di dalam UU Penyiaran tidak lagi menjiwai aturan-aturan pelaksanaannya. Salah satu permasalahan yang timbul akibat pengaturan di dalam PP Nomor 51 Tahun 2005 adalah masalah perizinan,” tegasnya.
“Berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2005, perizinan radio komunitas harus diurus sampai di tingkat menteri dengan memenuhi beberapa persyaratan, termasuk badan hukum yang juga harus diurus hingga di tingkat menteri,” sambungnya.
Selain itu, prosedur perizinan awal membutuhkan dana untuk membayar biaya izin prinsip, biaya izin tetap, dan biaya perpanjangan izin tetap.
“Untuk mendapatkan izin penyiaran, radio komunitas harus memiliki perangkat bersertifikat. Harga perangkat ini dapat mencapai empat kali lipat lebih mahal dari perangkat rakitan dengan kualitasnya lebih rendah,” beber perempuan yang juga dosen Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Medan Area, Sumatra Utara ini.
“Setelah beroperasi, stasiun radio harus membayar Izin Stasiun Radio (ISR), Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), PPh, dan BPJS TK (di beberapa wilayah). Masalah pembayaran ini menjadi penyebab utama pencabutan izin radio komunitas,” pungkasnya.