MALANG – Puluhan ribu ton gula hasil tebu petani di Kabupaten Malang terancam tak laku di pasaran. Pasalnya akan muncul Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang harganya lebih murah daripada gula lokal.
Setidaknya ada 65 ribu ton gula lokal masih mengendap di gudang Pabrik Gula (PG) Kebon Agung dan PG Krebet. Puluhan ribu ton gula itu hingga kini belum terjual lantaran tidak ada pengepul yang mau membeli.
Untuk mengatasinya, Pemkab Malang, bersama Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Malang, akan menyurati Presiden Joko Widodo.
“Kami akan bantu petani tebu dengan menyurati Presiden Joko Widodo langsung,” terang Bupati Malang, Muhammad Sanusi, di Pendopo Agung Kabupaten Malang, Selasa (26/01/2021).
Surat tersebut bertujuan meminta Presiden Joko Widodo untuk menekan investor, agar membeli gula-gula lokal yang terancam tak laku.
“Kemarin kan sudah menekan kontrak (untuk membeli gula lokal), tapi ada pembatalan. Oleh karena itu kami meminta bantuan presiden agar para investor menepati janjinya,” tegasnya.
Di tempat yang sama, Ketua DPD APTRI PG Kebon Agung, Dwi Irianto, menjelaskan alasan menyurati presiden tersebut, karena peluang menjual gula pada pengepul makin kecil.
Para pengepul tidak berminat membeli gula lokal. Pasalnya gula GKR dan gula mentah hasil impor akan beredar.
Menurut Dwi Irianto, gula lokal itu harganya lebih mahal daripada gula GKR dan gula mentah impor. Kalau gula lokal Rp 10.800,- per Kg dan gula impor itu sekitar Rp 7.000,- per Kg.
“Kalau sama-sama sudah terjual dengan HET (Harga Eceran Tertinggi) sekitar Rp 12.000,- maka masyarakat akan lebih memilih gula impor,” sambungnya.
Oleh sebab itu, Dwi mengatakan hanya ada satu cara agar puluhan ribu ton gula tersebut bisa terjual. Yaitu dengan memaksa investor membeli gula-gula tersebut.
“Hanya lewat presiden itu agar investor mau membeli, kalau tidak maka petani lokal akan tekor. Mereka sudah keluar biaya produksi, tapi hingga kini belum terima bayaran,” pungkasnya.