Prof. Dr. HM. Zainuddin, MA.
(Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
SOFISTIKASI sains dan teknologi di era Internet of Things (IoT) serta budaya modern telah membuat banyak kalangan dan pemerintah khawatir akan berpengaruh fatal terhadap kehidupan manusia dan bahkan semua species yang ada di bumi ini. Ketika perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat semakin terasa dampaknya. Maka tuntutan terhadap peran agama semakin besar.
Sementara kepergian ulama satu demi satu terus bertambah dan belum muncul penggantinya yang signifikan. Maka pada gilirannya tuntutan terhadap ulama pun tak kalah besarnya, sebab merekalah sebagai penerus (perjuangan) Nabi (warasat al-anbiya).
Secara sosiologis, predikat keulamaan memang lebih banyak disandangkan kepada para kiai daripada para sarjana pada umumnya. Bahkan tidak sedikit para sarjana, meski mereka kompeten di bidang studi keislaman, namun mereka hampir tidak pernah menyandang gelar ini (kecuali sarjana yang berbasis Pesantren).
Hal itu mudah dipahami, sebab sebutan ulama secara kultural sudah amat melekat dalam diri para kiai yang memiliki kontribusi besar dalam perjuangan bangsa. Utamanya kiai yang ada di pesantren yang memiliki kharisma dan kedalaman spiritual.
Jadi memang ini persoalan kultur yang sudah membentuk dalam masyarakat kita. Selain itu memang kiai dengan para santrinya telah memiliki kontribusi besar dalam mencerdaskan anak-anak bangsa. Terutama di bidang pembentukan karakter dan ketahanan mental.
Dan begitulah memang predikat ulama itu lebih banyak terkait dengan sikap moral, selain kedalaman ilmu. Dalam al-Quran sendiri ditegaskan bahwa yang taat kepada Allah itu adalah ulama (QS. Fathir: 28).
Pola Pendidikan Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, memiliki kontribusi besar dalam pengembangan kepribadian. Antara lain adanya perhatian besar kiai terhadap santri, rasa hormat dan tawadhu santri terhadap kiai, hidup sederhana, hemat dan mandiri, kesetiakawanan, saling menolong, disiplin serta tahan uji.
Dalam kehidupan pesantren terlihat leburnya individualisme dan egoisme. Apalagi kalau dikaitkan dengan persoalan pengangguran, pesantren tidak akan khawatir dengan pekerjaan. Sebab pesantren memang tidak menjanjikan kerja (promise of job). Tujuan pendidikan pesantren yang asasi untuk mencetak manusia berilmu dan bertakwa.
Dua entitas ilmu dan takwa tersebut harus dimiliki oleh seorang santri. Berilmu saja tanpa disertai takwa maka akan menjadi riskan, begitupun sebaliknya. Maka, lulusan pesantren pada umumnya tidak kenal menganggur, karena modal soft skill-nya mereka bisa bekerja di hampir semua sektor.
Sistem pendidikan pesantren hingga saat ini masih yang terbaik, karena tiga hal: Pertama, pola pendidikan live in (tinggal di ma’had) selama masa belajar.
Kedua, adanya kurikulum yang tersembunyi (hiden curriculum) dari para kiai dan ustaz yang menjadi role model bagi para santrinya.
Ketiga, tradisi santri yang memiliki sikap dan karakter yang excellent yaitu tawadhu’, ulet, dan mandiri. Sikap-sikap tersebut menjadi kebutuhan yang sangat didambakan di era modern seperti sekarang ini.
Selain itu, pendidikan di pesantren juga bersifat inklusif dan tidak membatasi usia santri. Siapapun bebas belajar (nyantri) di pesantren, termasuk yang tidak memiliki biaya hidupnya. Karena para kiai memiliki tanggungjawab dan perhatian besar terhadap keberlangsungan pendidikan anak bangsa.
Tradisi pendidikan khas pesantren inilah yang kemudian menginspirasi para pengelola pendidikan di beberapa perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKIN) untuk menyelenggarakan program ma’had yang memadukan pendidikan tinggi dengan pesantren, seperti yang sudah berlangsung lama di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini.
Kepercayaan Pemerintah
Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai hari santri nasional oleh Presiden RI, Joko Widodo yang dituangkan melalui Keppres Nomor 22 tahun 2015. Ketetapan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa para santri memiliki peran besar dalam pembangunan bangsa, termasuk pemerdekaan Republik ini. Ketetapan tersebut bertepatan dengan deklarasi Resolusi Jihad yang dimotori pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari dan puluhan kiai se-Jawa Madura di Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945 saat itu.
Peraturan Presiden No.82/2021 juga menetapkan Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Setelah sebelumnya, ditetapan Hari Santri Nasional tersebut. Demikian juga Undang-Undang No.18/2019 tentang Pesantren, dan Perpres yang mengatur dana abadi pesantren. Ini tentu menjadi energi bagi pesantren sebagai lembaga pendidikan tentang pembangunan akhlak (revolusi mental) dan moderasi beragama sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Peran Pesantren dalam NKRI
Indonesia yang menjadi role model bagi bangsa lain merupakan negara majmuk yang memiliki persatuan dan kesatuan yang sangat kuat hingg sekarang. Hal ini karena Indonesia memiliki enam pilar perekat bangsa, yaitu: Pertama, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (agama), di mana Indonesia merupakan negara yang penduduknya sangat religius, yang memiliki 6 agama yang diakui oleh negara dan merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar dunia. Kedua, falsafah Negara dan Konstitusi (Pancasila dan UUD 1945). Ketiga, keutuhan Wilayah Negara (NKRI). Keempat, bahasa persatuan (bahasa Indonesia). Kelima, budaya Nusantara dan kearifan lokal. Keenam, keberadaan militer yang merupakan tulang punggung penjaga wilayah NKRI.
Santri memiliki peran besar dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam peran sosial-kemasyarakatan, lembaga pendidikan pesantren melakukan pembimbingan masyarakat dengan mempertimbangkan maqashid syari’ah, yakni mashlahah (kebaikan dan harmoni hidup bersama).
Dalam peran kenegaraan, membebaskan negeri dari segala bentuk penjajahan dan penindasan dengan kokoh memegang komitmen demi perkembangan dunia yang terus berubah. Dalam peran reformasi, samtri turut serta mengawal pemerintahan, melalui lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif (tauhid al-ummah dan tauhid al-hukumah).
Peran lain yang tak kalah pentingnya dari masa ke masa adalah:
Pertama pada era Pra Kemerdekaan, yaitu fase embrio lahirnya pesantren dimulai zaman Walisongo, sekitar abad 15-16. Kehidupan para santri sejak pra kemerdekaan selalu berhadapan dengan masalah eksistensi bangsa. Di antaranya adalah perlawanan santri menghadapi penjajah di Sumatera Barat (1821-1828), Perang Jawa (1825-1830), Perlawanan di Barat Laut Jawa pada 1840 dan 1880, serta Perang Aceh pada 1873-1903.
Sementara di Jawa Barat, ada Perang Kedongdong (1808-1819). Perang yang terjadi di Cirebon ini melibatkan ribuan santri dalam pertempurannya.
Kedua, era Kemerdekaan, dimana para ulama dan santri berperan untuk menggalang kekuatan dalam rangka merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Paling tidak sejarah “Resolusi Jihad” pada Oktober 1945 menjadi bukti kontribusi nyata kaum santri dalam merebut kemerdekaan.
Baca Juga: Mencari Pemimpin Demokratis bagi Bangsa
Kita juga diingatkan sejarah bagaimana dahulu Laskar Hizbullah di bawah pimpinan KH Zainul Arifin serta Laskar Sabilillah di bawah barisan KH Masjkur yang hari ini telah bertransformasi sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dan sampai hari ini, santri masih menunjukkan eksistensinya sebagai bagian integral dari kekuatan bangsa.
Ketiga, era sekarang, dimana santri masih eksis berperan dalam memberikan pendidikan bagi anak-anak bangsa.(*)
BACA JUGA: Berita tugumalang.id di Google News
editor: jatmiko