Tugumalang.id – Belum adanya kajian ilmiah terkait isu sawit yang menyerap banyak air hingga kering, membuat pro kontra terkait dampak lingkungan. Namun, pengalaman salah satu petani sawit di Dusun Sumberrejo, Desa Bandungrejo, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, ini bisa menjadi perbandingan.
Dia adalah Sunjoto (55), yang memiliki sekitar 1.020 pohon sawit di tanah seluas 6 hektare. Beberapa pohon sawit ditanam di atas bekas persawahan yang dulunya ditanami padi.
Lalu, entah bagaimana air-air yang biasanya menggenang di persawahan tersebut mulai menyusut dan kini sudah benar-benar kering. Bahkan nampak beberapa bagian tanah terlihat pecah-pecah atau retak-retak karena terlalu kering.
Berbanding terbalik di lahan sebelahnya yang masih tergenang air untuk lahan persawahan padi.
“Kalau saya punya pohon sekitar 1.020 pohon kalau tidak salah. Kalau punya saya itu luas tanahnya sekitar 6 hektare. Memang dulunya ini sawah, lalu saya tanam sawit buat coba-coba. Tapi kalau dirawat dengan benar dan pupuknya benar-benar buat sawit pasti hasilnya bagus,” bebernya, di lahan sawitnya, pada Kamis (27/05/2021).
Lebih lanjut, Sunjoto bercerita bahwa dia mulai menanam sawit sejak 11 tahun yang lalu dan berbuah 3 tahun setelahnya.
Untuk perawatan, menurutnya hanya cukup membuang pelepahnya saja, lalu dibersihkan agar pasirnya hilang.
Untuk panen, dalam sebulan dirinya panen sekali di akhir bulan. “Kalau panennya sebenarnya kalau pabriknya masih ada itu sebulan bisa panen 2 kali, sekarang cuma satu bulan sekali,” paparnya.
Untuk penjualan, kini tidak melalui pengepul. Dia menjual secara liar dengan harga Rp 850 per Kg. “Kalau jualannya saya liar, tidak ke pengepul. Kalau dulukan biasanya diambil pabrik, tapi cair uangnya harus menunggu 2 bulan. Akhirnya saya memilih saya jual secara liar biar segera mendapat uang, tapi resikonya ya jadi murah harganya,” bebernya.
“Biasanya yang beli orang Bantur sini ada, saya jualnya juga murah cuma Rp 850 per Kg,” imbuhnya.
Bukan tanpa alasan dia menjual secara liar. Dulu dia pernah menjual ke tengkulak pabrik. Hasilnya, hanya laku Rp 200 per Kg.
“Tapi dulu pernah dibeli pabrik, dibeli Rp 200 per Kg lalu uangnya gak cukup beli pupuk. Jadi, 2 tahun saya tidak bisa beri pupuk, lalu buahnya jadi berkurang,” pungkasnya.
Reporter: Rizal Adhi
Editor: Lizya Kristanti