TUGUMALANG – Pada tanggal 1 April 2022 mendatang, Pemerintah akan mengenakan pajak karbon pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara di seluruh Indonesia.
Melansir kemenkeu.go.id, pajak karbon diatur melalui Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan pada 7 Oktober 2021. Pajak ini merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam membiayai pengendalian perubahan iklim.
Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan pada industri-industri yang menghasilkan emosi karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar.
Tujuan pengenaan pajak karbon ini adalah untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
Pajak karbon sudah diterapkan di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Korea Selatan, Jepang, Selandia Baru, Singapura, dan beberapa negara di Amerika Selatan.
Penerapan pajak karbon ini merupakan tindak lanjut dari Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang ditandatangi pada tahun 2015 oleh negara-negara di dunia.
Dalam persetujuan tersebut, pemimpin-pemimpin negara sepakat akan berupaya menekan emisi CO2 di wilayah mereka sehingga suhu Bumi tidak naik lebih dari 1,5 derajat Celcius. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menerapkan pajak karbon.
Emisi CO2 penting untuk dibatasi karena merupakan salah satu penyebab efek rumah kaca yang kemudian mengakibatkan pemanasan global atau global warming.
Founder Climate Change Frontier (CCF), Eko Baskoro mengatakan Indonesia merupakan negara ke-8 terbesar di dunia yang menyumbang emisi karbon terbesar di dunia sehingga pemerintah perlu melakukan upaya-upaya untuk menekan jumlah emisi tersebut.
“Terlebih Pemerintah memiliki target untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 29 persen di tahun 2030,” ujar Baskoro.
Penerapan pajak karbon di Indonesia akan dilakukan secara bertahap. Tahun ini, pajak baru dikenakan pada PLTU Batubara dengan tariff Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Namun ke depannya, pajak ini bisa dikenakan ke industri lainnya yang menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar.
“Selain PLTU, ada beberapa industri yang perlu dikenakan pajak karbon. Salah satunya adalah kendaraan bermotor,” kata Baskoro.
Ia kemudian menjelaskan bahwa emisi karbon yang dihasilkan kendaraan bermotor berbanding lurus dengan jumlah populasi. Jika populasi bertambah, kebutuhan akan kendaraan bermotor akan bertambah. Maka, emisi karbon yang dihasilkan pun semakin besar.
Efektivitas dari pajak karbon ini tidak dapat dirasakan dalam waktu singkat. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menilai apakah penerapan pajak karbon ini berhasil. “Ini juga bergantung pada penerapannya di lapangan, apakah memang diterapkan sesuai aturan atau tidak,” ujar Baskoro.
Swedia, salah satu negara yang menerapkan pajak karbon sejak tahun 1990 telah berhasil menurunkan emisi CO2 sebanyak 27 persen dalam jangka waktu 30 tahun. Ini menunjukkan bahwa pajak karbon efektif dalam mengurangi jumlah emisi CO2, namun dibutuhkan waktu yang lama untuk merasakan manfaatnya.
Reporter: Aisyah Nawangsari
editor: Jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id