Tugumalang.id – Benarkah candi-candi yang ada di Malang adalah makam para Raja Singosari? Pertanyaan semacam itu sering terdengar dewassa ini khusunya bagi kalangan masarakat muslim yang ada di lingkungan Malang Raya.
Pertanyaan tersebut didasari dengan budaya Islam yang mana kalau ada yang meninggal dimakamkan seperti yang terjadi saat ini. Dan, dengan keterbatasan wawasan mengenai sejarah akhirnya banyak yang mengasumsikan bahwa candi-candi peninggalan kerajaan Singosari tersebut dianggap sebagai makam para raja yang telah wafat.
Pada dasarnya tidak hanya masyarakat hari ini saja yang beranggapan bahwa candi sebagai makam para Raja Singosari yang telah meninggal, para peneliti dan sarjana dari Belanda di zaman kolonial juga memiliki persepsi yang sama.
Baca Juga: 5 Candi di Malang Peninggalan Kerajaan yang Menarik Dikunjungi
Bahwa candi-candi tersebut adaah makam para Raja Singosari yang telah meninggal, hal tersebur didasari oleh kata “dhinarma” yang ada di Kitab Negarakertagama, yang kemudian para sarjana Barat tersebut terjebak denganya.
Dalam kitab Negarakertagama diceritakan bahwa raja-raja Kerajaan Singasari diberi penghormatan di candi tersebut. Kata “didharmakan” diartikan sebagai dikuburkan. Bahkan para sarjana Belanda menyoroti hal ini, khususnya penguburan di kuil.
Akhir Para Raja Singosari
Mari kita lihat bagaimana kitab Negarakertagama dan Pararaton menjelaskan fungsi candi. Berdasar dua kitab klasik ini akan dijelaskan seperti apa rupa masing-masing raja Kerajaan Singasari dan kemana setelah meninggal.
Yang pertama adalah Ken Arok. Pararaton menggambarkan Linira sang Amurwabhumi i saka 1169 Sira dhinarmeng Kagenengan. Maknanya adalah “ketika Amurwabhumi wafat pada tahun Saka 1169, ia kembali ke Siwapada, di Kagenengan terukir sebagai Siwa, di Usana sebagai Buddha.
Kitab Nagarakretagama menguraikan tentang cincin saka syabdhi rudra krama jasahaniran mantuking swargga loka, kyating tikus sang dhinarmma dwaya ri kagengan seea bhoddhengusana. Maknanya adalah “pada tahun saka Asyabdhirudra-1149, raja wafat di akhirat (Shiwa Loka), terkenal ke seluruh dunia, Raja diabadikan di Pura Kagenengan dalam wujud Siwa Buddha.
Dengan ini menunjukkan bahwa Ken Arok diberi penghormatan berupa Candi Kagenengan. Candi disebut oleh para ahli berada di Dusun Candirejo, Desa Candirejo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Namun saat ini kondisinya sudah musnah.
Baca Juga: Menengok Candi Jago yang Punya 6 Kisah Klasik di Reliefnya
Kedua adalah Anusapati. Pararaton menjelaskan Cincin Lina Sang Anusapati Çaka 1171 Dhinarma sira Kidal. Artinya “Anusapati wafat pada tahun Saka 1171 dan ditahbiskan di Kidal.” Sementara menurut kitab Negarakertagama, Anusapati diabadikan di candi Kidal dan dipuja sebagai Siwa. Anusapati diberi penghormatan berupa Candi Kidal yang kini berada di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.
Ketiga adalah Wisnuwardhana. Pararaton menjelaskan Sri Ranggawuni menjadi raja selama 14 tahun, meninggal pada tahun 1194 dan diabadikan di Jajagu. Pararaton meyebutkan Wisnuwardhana Ranggawuni. Kitab Negarakertagama pada Pupuh 41 baris ke 4 menjelaskan dinarmma ta bapak waleri çiwawimbha len sugatawimbha mungwiɳ jajaghu.
Artinya “Di Waleri tersimpan lambang arca Siwa, di Jajago terdapat arca Budha. Ini berarti Wisnuwardhana diberi penghormatan berupa Candi Jago, yang kini ada di wilayah Tumpang Kabupaten Malang.
Keempat adalah Kertanegara. Kitab Negarakertagama dalam Pupuh 44 menjelaskan çri narendra krtanagara mulih riɳ budabhawana”. Artinya Sri Baginda Kertanagara telah kembali ke Buddhabuwana dan diberi penghormatan berupa Candi Singosari yang berada di Kecamatan Singosari, Kabupate Malang.
Di Candi Singasari, Kertanegara dilambangkan dengan Siwa-Budha. Ia kemudian dipuja di candi Jawi sebagai Siwa-Budha, karena bagian bawah candi mempunyai ciri-ciri Siwa dan bagian atas candi mempunyai ciri-ciri Buddha. Pararaton menjelaskan meninggalnya Kertanegara akibat penyerangan Jayakatwang, saat istananya sedang mengadakan pesta minum.
Apa Makna Candi?
Beberapa ahli lain berpendapat bahwa candi tersebut bukanlah makam seorang raja. Mereka tidak terjebak secara tekstual dengan penjelasan Negarakertagama. Memang benar kitab itu menyebut kata “dhinarma” untuk menyebut raja-raja yang meninggal atau dihormati atau diperingati dengan dibangunnya sebuah candi.
Lidya Kieven mengatakan kuil tersebut merupakan peringatan mendiang raja. Candi Kagenengan, Kidal, Jago dan Singasari memperingati mendiang raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Singasari.
Meski ditemukan puing-puing dan abu di dalam candi, bukan berarti candi tersebut merupakan makam dan tempat menyimpan abu raja. Peripih merupakan suatu tempat yang mengandung unsur-unsur yang melambangkan dunia benda. Sedangkan abu yang ditemukan merupakan abu tumbuhan, bukan abu manusia.
Candi-candi di Jawa Timur biasanya selalu menghadap pegunungan. Bagian belakang pagoda menghadap ke gunung, sehingga saat memasuki halaman pagoda, pengunjung juga menghadap langsung ke arah gunung.
Pertanyaan apakah candi tersebut benar-benar sebuah makam pernah dikaji oleh Soekmono dalam tesisnya yang berjudul Candi: Pengertian dan Fungsi. Dalam tesisnya, dia menolak hipotesis bahwa candi adalah makam. Menurutnya, candi tersebut bukan makam melainkan candi berfungsi sebagai tempat peribadatan. Sukmono mendasarkan teorinya pada data ratusan prasasti yang ada dan sumber lain.
Kemudian pertanyaan mengenai di mana makam para raja Singosari dan asumsi bahwa candi adalah makam para raja bisa terjawab oleh tesis yang ditulis oleh Soekmono ini.
Mengenai pendapat yang ada dalam kitab Negarakertagama yang menyebutkan bahwa raja-raja didharmakan di candi memiliki makna bukan berarti dimakamkan melainkan diberikan penghormatan atau disimbolkan sebagai hadiah dari dedikasinya selama memimpin kerajaan.
Penulis: Jakfar Shodiq (Magang)
Editor: Herlianto. A