Oleh: Jakfar Shodiq, Manager Seminar Di Lembaga Research Gawa Lelaku Malang.
Tugumalang.id – 25 Desember merupakan hari besar bagi segenap umat kristiani di seluruh dunia tanpa terkecuali mereka yang tinggal di Indonesia.
Hari Natal selalu dirayakan setiap tahu oleh umat kristiani yang mana hal itu memiliki maksud untuk merayakan hari kelahiran Yesus Kristus. Walau sebenarnya para ahli bersepakat bahwa tidak diketahui pasti kapan Yesus dilahirkan. Mamun, 25 Desember sudah disepakati menjadi hari perayaan untuk memperingati kelahiran sang kristus.
Ada teori ‘Sejarah Agama’ yang mengatakan bahwa umat kristiani awal mengambil 25 Desember berdasarkan hari raya yang ditujukan untuk Dewa Matahari, Sol Invictus, yang dirayakan pada era Kekaisaran Romawi.
Baca Juga: Jelang Natal, Polisi Gelar Sterilisasi di Gereja Katolik Paroki Maria Tak Bernoda Kepanjen
Satu teori disebut dengan ‘Sejarah Agama’ menyebut, Natal mengambil dari hari libur kaum pagan. Sementara, satu teori lainnya yang disebut ‘komputasi’ atau ‘kalkulasi’ menyebut bahwa kaum kristiani awal menggunakan semacam perhitungan untuk memilih tanggal 25 Desember sebagai hari ulang tahun Yesus Kristus.
Artikel CNN Indonesia “Sejarawan Ungkap Alasan 25 Desember Dipilih Sebagai Hari Natal” menjelaskan. Namun lagi-lagi itu bukanlah hal yang penting untuk diperdebatkan mengenai benar atau tidak tanggal 25 Desember sebagai tanggal kelahiran sang kristus.
Tetap saja tidak akan memengaruhi kesakralan hari itu bagi umat kristiani. Mengingat agama adalah sebuah keyakinan di mana apa pun yang ada dalam agama tersebut akan diyakini oleh para penganutnya.
Baca Juga: Luncurkan 5 Buku Hingga Maliki Award 2022, UIN Malang Sukses Helat Dies Natalis ke-61
Menurut Foucault, pemikir posmo asal Prancis, kebenaran merupakan wacana yang dikampanyekan lalu bisa mendominasi banyak orang hingga kemudian mendapatkan legitimasi.
Jadi sebenarnya tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak, semuanya berasal dari wacana yang bisa mendominasi pemikiran khalayak umum lalu kemudian disepakati bersama menjadi sebuah kebenaran.
Hal ini juga diafirmasi oleh salah satu ajaran dalam Islam yakni mengenai metode penetapan hukum dari permasalahan yang tidak pernah terjadi di masa nabi atau tidak memiliki hukum konkrit baik dalam Al-Qur’an atau Hadits, yakni metode Ijtima.
Di mana dengan metode ini para ulama mengkaji suatu permasalahan tertentu untuk menentukan hukumnya dan lalu menyepakati kebenaran dari hasil kesepakatan itu.
Pada awal kedatangan ajaran kristen, agama ini merupakan salah satu objek buruan untuk ditumpas pada era kekaisaran Romawi, namun pada pemerintahan Raja Konstantin Agung (305 hingga 337 M), agama ini besar dan berkembang karena diberikan perlindungan khusus.
Dari sinilah agama Kristen besar hingga bisa menguasai daratan Eropa. Pengaruh agama ini kemudian menjadi semakin kuat, sehingga seorang raja akan mengalami krisis keabsahan (krisis legitimasi) kekuasaan kalau tidak diberkati oleh gereja.
Posisi gereja kemudian menjadi lebih tinggi daripada posisi negara. Gereja yang diwakili oleh Sri Paus menjadi lebih berkuasa daripada raja-raja kristen yang memerintah di daratan Eropa ketika itu.
Pada mulanya bung Karno selaku ketua tim PPKI membacakan hasil dari pada rumusan Piagam Jakarta yang diantaranya adalah sila pertama yang berbunyi “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Namun hal itu menuai tantangan dari berbagai umat non-Islam yang sampai menolak untuk bergabung dengan Indonesia. Kemudian Mohammad Hatta, Wachid Hasjim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan mendiskusikan dan lalu memprakarsai perubahan pada sila pertama itu dengan frasa yang kita kenal hingga saat ini yakni “Ketuhanan yang Esa.”
Dari peristiwa ini kita bisa mengambil sebuah pelajaran bahwa kesatuan dan persatuan lebih penting dari hanya sekedar memperdebatkan agama mana yang lebih benar. Karena, Kembali pada pendapat Foucault di atas tidak ada kebenaran yang mutlak termasuk agama.
Yang meyakini agama Kristen tetaplah dengan keyakinan, yang Islam juga tetaplah dengan keyakinannya, yang Hindu, Budha, Konghucu dan juga Katolik tetaplah pada keyakinan.
Namun yang lebih penting adalah tidak melupakan bahwa kita adalah bangsa Indonesia persatuan dan kesatuan dengan landasan bhinneka tunggal ika harus terus kita junjung tinggi.
Editor: Herlianto. A