Oleh Sri Hastuti*
Menarik sekali membaca tulisan Dr Aqua Dwipayana yang berjudul “Hari Bersejarah, 30 September 16 Tahun Lalu” yang dimuat di tugumalang.id. Saya baca hingga tuntas.
Saat membaca tulisan itu, ada beberapa bagian yang menjadi perhatian saya. Terutama tentang kekhawatiran dari teman-teman bahwa Mas Aqua tidak akan dihargai kalau tidak bekerja di salah satu perusahaan. Kutipan kalimatnya di bawah ini.
Sebelumnya setiap saya pindah kerja dari satu perusahaan yang ke perusahaan lain – mulai 27 Desember 1988 sampai 2 Januari 1995 – selalu ada saja teman-teman yang menunjukkan empati tapi sekaligus terkesan menakut-nakuti. Mereka mengatakan kalau saya tidak lagi bekerja di perusahaan, salah satu contohnya sebagai wartawan, tidak akan dihargai oleh orang lain. Sehingga disarankan tetap menjalani pekerjaan semula dan tidak pindah kerja.
Menyimak semua yang disampaikan teman-teman tersebut, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar. Itu sebagai bukti nyata perhatian mereka yang besar kepada saya. Alhamdulillah…
Saya sampaikan, walau tidak ada seorang pun di dunia ini yang menghargai saya karena tidak lagi bekerja di tempat semula, bagi saya sama sekali tidak ada masalah. Hal itu tidak saya pikirkan, apalagi sampai dipusingkan.
Bagi saya yang terpenting mendapatkan penghargaan dari Tuhan. Itu yang paling utama dan selalu berusaha secara maksimal saya upayakan untuk mendapatkannya.
Untuk apa semua orang di dunia ini menghargai kita. Bahkan sampai ada yang memberi penghargaan itu dengan cara membungkukkan badannya dan mencium tangan, tapi Tuhan sama sekali tidak menghargai kita. Alangkah menyakitkan sekali kalau hal ini sampai terjadi.
Menurut saya, seseorang dihargai oleh orang lain bukanlah karena pangkat dan jabatannya. Juga tidak karena kecerdasan, kekayaaan, wajah, dan berbagai hal yang terkait dengan duniawi.
Penghargaan itu diperoleh karena dua hal. Pertama bagaimana kita menghargai diri kita sendiri. Salah satu caranya dengan tidak mengucapkan kata “hanya” saat mengenalkan diri kepada orang lain. Misalnya, “Saya hanya seorang karyawan”. Atau “Saya hanya seorang pegawai rendahan di kantor itu”.
Begitu mengucapkan kata “hanya” itu menunjukkan sama sekali tidak mensyukuri amanah yang telah diberikan Tuhan kepada dirinya. Juga tidak menghargai dirinya. Dengan begitu sampai kapan pun tidak akan ada orang yang menghargainya.
Bagaimana orang lain mau menghargainya, sedangkan dia tidak menghargai dirinya. Untuk itu selalulah menghargai diri sendiri secara profesional dan proporsional. Tidak berlebih-lebihan.
Kedua bagaimana menghargai orang lain. Ketika kita menghargai siapa pun juga, dia pasti melakukan hal serupa kepada kita. Itu sudah hukum alam.
Jadi hargai dulu orang lain secara profesional dan proporsional. Setelah itu baru mendapatkan penghargaan serupa bahkan lebih dari orang yang dihargai tersebut.
Intinya adalah memberi dulu. Melakukan investasi kebaikan tanpa pamrih pada siapa pun juga. Setelah itu baru memperoleh hasilnya, baik di dunia maupun di akhirat. Yakinlah dengan hal tersebut.
Modal Doa dan Semangat
Saya yang sudah lama mengenal Mas Aqua, tepatnya sekitar 32 tahun lalu atau 1989 di Malang, Jawa Timur tahu persis keuletan, kegigihan, dan sikap pantang menyerah pria yang berasal dari Kota Padang, Sumatera Barat itu.
Apalagi melihat perjuangan Mas Aqua selama di Kota Malang. Dia merantau dari Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, hanya bermodalkan doa dari kedua orangtuanya almarhum Bapak Syaifuddin dan almarhumah Ibu Asmi Samad serta semangat.
Suami saya Bapak Kusyanto yang waktu itu menjabat Kepala Jasa Raharja Perwakilan Malang yang mengenalkan Mas Aqua kepada saya. Awalnya hubungannya seperti antara wartawan dan narasumber. Waktu itu Mas Aqua kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang sambil bekerja sebagai wartawan di Harian Suara Indonesia.
Dari bekerja sebagai wartawan itulah Mas Aqua bisa membiayai hidupnya di Malang dan membayar kuliahnya. Belakangan sejak pertengahan Juni 1989 rutin setiap bulan mengirimkan sejumlah uang buat kakaknya yang kuliah di Yogyakarta. Itu dilakukannya untuk meringankan beban kedua orangtuanya.
Karena sering ketemu suami, belakangan hubungannya jadi sangat akrab. Bahkan Mas Aqua sudah kami anggap seperti keluarga sendiri.
Kemana pun kami pindah, Mas Aqua selalu datang dan menginap di rumah. Keempat anak kami sudah dianggapnya seperti keponakan sendiri.
Setelah suami saya pensiun dan menetap di Surabaya, Mas Aqua selalu menyempatkan waktu untuk mampir ke rumah. Meski hanya sebentar.
Kalaupun sedang di Surabaya dan tidak mampir, kami sangat memakluminya. Jadwal Mas Aqua lumayan padat, baik untuk silaturahim maupun melaksanakan Sharing Komunikasi dan Motivasi.
Tidak Terbukti
Kembali kepada kekhawatiran teman-teman Mas Aqua tentang tidak dihargai setelah tidak lagi bekerja di suatu tempat, ternyata mereka salah besar. Itu sama sekali tidak terbukti.
Kenyataannya meski tidak bekerja di satu tempat, contohnya sebagai wartawan, Mas Aqua tetap dihargai dan dihormati. Penghargaan itu sama sekali tidak berkurang. Bahkan melebihi dari yang biasa diterimanya.
Hal yang sama Mas Aqua rasakan selama 16 tahun terakhir. Saat atasan satu-satunya Mas Aqua hanya Allah SWT. Tetap mendapat penghargaan serupa bahkan lebih dari itu.
Penghargaan itu diperolehnya secara universal dari berbagai latar belakang dan strata. Mulai dari orang biasa, kalangan akademisi, para direksi baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta, para kepala daerah, banyak jenderal TNI dan Polri, hingga pengusaha-pengusaha besar termasuk para konglomerat.
Bahkan di antara mereka banyak yang minta bantuan Mas Aqua untuk melaksanakan Sharing Komunikasi dan Motivasi dengan jajarannya. Mereka merasakan sekali manfaatnya. Sehingga undangannya berulang-ulang.
Jadi prediksi teman-teman Mas Aqua itu sama sekali tidak terbukti. Mas Aqua secara langsung dan nyata telah menunjukkan bahwa penghargaan dari orang lain diperoleh bukan karena bekerja di satu perusahaan, namun bagaimana seseorang membawakan dirinya. Itu seperti yang Mas Aqua tulis.
Saya jadi teringat pesan yang pernah disampaikan Mas Aqua. Seseorang jangan merasa besar karena bekerja di perusahaan besar. Sebab begitu tidak bekerja di perusahaan itu bisa jadi membuatnya jadi rendah diri atau minder, sehingga terkena berbagai penyakit.
Terbaik adalah seseorang merasa besar karena memang dirinya layak jadi orang besar. Mengoptimalkan potensi dirinya dan memberikan bantuan sebanyak-banyaknya kepada sesama dengan ikhlas.
Kita harus ingat bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat pada sesama. Mas Aqua sejak lama telah melakukan itu dan konsisten sampai sekarang melaksanakannya.
Suami saya selama puluhan tahun bertugas di Jasa Raharja memiliki banyak teman wartawan. Jumlahnya mencapai ratusan orang. Di antara semua itu yang sampai sekarang komunikasi dan silaturahimnya masih terjalin baik dan akrab, hanya dengan Mas Aqua saja. Hubungan mereka sudah seperti kakak dan adik.
Teman-teman yang dulu mengkhawatirkan Mas Aqua tidak hanya salah, tapi mereka juga kalah dibandingkan Mas Aqua. Saya yakin di antara mereka ada yang masih jalan di tempat. Sementara Mas Aqua sudah jauh melesat melanglang buana ke seantaro dunia termasuk ke puluhan negara untuk berbagi pada sesama.
Hebatnya Mas Aqua tetap mengingat teman-teman lamanya. Tidak sekedar itu, tapi memberikan bantuan sesuai dengan yang mereka butuhkan. Salah satu contohnya seperti yang dipaparkan secara gamblang oleh Mas Nurul Lutfi dalam tulisannya yang berjudul “Senang Bantu Sesama, Gaji Pertama Buat Traktir Teman Sekelas”.
Semoga Mas Aqua sekeluarga tetap sehat dan semangat sehingga dapat terus berbagi pada sesama. Aamiin ya robbal aalamiin…
*Penulis adalah penata rias yang tinggal di Surabaya, Jawa Timur.