MALANG, Tugumalang.id – Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka merupakan sosok ulama dan tokoh nasional yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Ulama yang dikenal sebagai pemikir dan juga seorang penulis. Salah satu karya Buya Hamka adalah novel berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang sempat diangkat ke layar lebar dengan judul serupa pada tahun 2014 lalu.
Buya Hamka yang tercatat pernah aktif di Masyumi dan Muhammadiyah lahir di tengah pertentangan kaum muda dan kaum tua tentang pergerakan bangsa dan juga paham agama. Sehingga sedari muda, Buya Hamka sudah terbiasa mendengar perdebatan sengit antara kaum muda dan kaum tua.
Tumbuh di lingkungan keluarga berlatar belakang agamis di Padang Panjang, Sumatera Barat. Membuat Buya Hamka sudah terbiasa terlibat dalam pemikiran-pemikiran tentang Islam. Apalagi sang ayahanda, Dr. Syaikh Abdul Karim Amrullah sebagai salah satu tokoh pelopor gerakan Islam ‘Kaum Muda’ di Minangkabau pada medio 1906.
Dari situlah pemikiran-pemikiran kritis Buya Hamka mulai terasah dari lingkungan keluarga. Memasuki usia 16 tahun di akhir tahun 1924, ia memutuskan merantau ke Yogyakarta dan banyak bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam modern seperti Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M. Soerjopranoto, dan H. Fakhruddin.
Baca Juga: Sejarah Tanggal 2 Mei Sebagai Hardiknas, Ternyata Berkaitan Erat dengan Sosok Tokoh Pergerakan
Pergumulannya bersama tokoh-tokoh tersebut membuat Buya Hamka muda mulai mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam dalam Syarikat Islam Hindia Timur dan Gerakan Sosial Muhammadiyah.
Dari Muhammadiyah dan Masyumi jalan juang seorang Buya Hamka mulai dikenal publik pada saat itu. Kedua lembaga tersebut dianggap merepresentasikan modernisme Islam. Sebagai seorang ulama dan pemikir, Hamka melihat ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang netral atau bebas nilai. Ia mendobrak pemikiran kolot pada saat itu tentang ilmu pengetahuan.
Baginya perkembangan ilmu pengetahuan termasuk yang berbau Barat (asing) dianggap dapat disesuaikan dengan nilai-nilai ajaran Agama Islam.
Buya Hamka mencoba menjadi penengah di tengah polemik tentang hakikat tasawuf di kalangan kaum muda pada saat itu. Banyak kaum modernis berslogan kembali pada kemurnian ajaran Islam yang bersumber pada Al Quran dan sunnah. Di sisi lain ajaran tasawuf dianggap mengandung banyak penyimpangan dari sunnah Rasul.
Hal itulah yang kemudian dilihat seorang Buya Hamka. Ia merasa kalimat-kalimat awal tasawuf modern banyak percampuran Islam dengan ajaran agama lain terutama dalam tarekat-tarekat tertentu. Melihat situasi pertentangan tersebut, Buya Hamka menyuguhkan tasawuf yang berbeda, tasawuf yang dipadukan dengan kata modernitas.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Sosok Rektor Unisma Terpilih 2024-2028, Prof. Junaidi Mistar yang Pernah Bekerja Jadi Petugas Patung Demi Dapat Data Riset di Australia
Dalam dakwahnya, Buya Hamka kerap kali menggunakan banyak teori dan pendapat para pemikir barat untuk menerangkan kepada masyarakat untuk meyakinkan tentang ajaran Agama Islam seperti Rukun Iman. Hal itu dilakukannya agar penemuan para pemikir barat yang lebih condong ke sains dapat memperkuat argumen tentang melihat dan meyakini tentang konsep keimanan dalam Islam.
Sebagai tokoh yang berpikiran progresif, Hamka mencoba menampilkan Islam dalam bentuk yang lebih terbuka untuk berdiskusi terhadap sebuah penemuan dan pemikiran-pemikiran baru pada saat itu. Ia berpandangan bahwa Islam harus bisa berkembang ke arah yang lebih modern dengan terbuka terhadap hal-hal baru yang dapat didiskusikan dan diperdebatkan untuk memperkuat keimanan itu sendiri.
Kekritisan seorang Buya Hamka juga sempat membuatnya mendekam di penjara pada masa Orde Lama karena dianggap subversif kepada pemerintah saat itu. Meski demikian, keadaan tersebut tak membuat semangat kekritisan dan pemikiran Buya Hamka kepada negeri yang dicintainya itu surut.
Ia terbukti tidak terlibat dalam peristiwa makar yang terjadi di masa pemerintahan Orde Lama karena sempat berseberangan dengan Presiden Soekarno. Ketika tampuk komando kepemimpinan beralih ke tangan Presiden Soeharto sebagai representasi Orde Baru.
Buya Hamka diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama Indonesia pada tahun 1975 dan kemudian mundur tahun 1981.
Pada akhirnya Indonesia harus kehilangan sosok ulama dan pemikir modernisme Islam itu pada tanggal 24 Juli 1981 bertepatan dengan 22 Ramadhan 1401 Hijriah. Buya Hamka menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta di usia 73 tahun.
Sebagai seorang pendakwah dan juga pemikir, banyak karya-karya berupa artikel dan buku yang ditulis oleh Buya Hamka.
Sebelum berpulang, Buya Hamka sempat menuliskan pemikiran terakhirnya di rubrik Dari Hati ke Hati Majalah Panji Masyarakat edisi 21 Juli 1981 bertajuk “17 Ramadhan”. Artikel tersebut dipungkasi Buya Hamka dengan kalimat “Kemenangan Terakhir Tetap Pada Orang Yang Bertaqwa” dan terbit 3 hari sebelum ia kembali ke Sang Maha Pencipta.
Sampai saat ini pemikiran seorang Buya Hamka masih terus diteladani oleh anak-anak muda Indonesia hingga hari ini.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: Bagus Rachmad Saputra
editor: jatmiko