MALANG – Pementasan tonil (sandiwara) naskah buatan Bung Karno berjudul Chungking Jakarta yang coba direproduksi kembali oleh seniman di Malang dan DPC Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Malang pada Selasa (30/8/2022) malam kemarin menuai tepuk tangan meriah dari penonton.
Rasa penasaran publik untuk melihat keahlian bapak bangsa di bidang seni pertunjukan akhirnya terjawab sudah. Peran para aktor dan aktris yang disutradarai Donny Kus Indarto dan maestro musik klasik Sugik Arbanat itu sukses merebut perhatian dan menebus rasa penasaran publik dengan ciamik.
Dalam pertunjukan tonil itu, tim produksi berupaya mereplikasi pertunjukan itu seotentik mungkin, seperti pernah dipentaskan Bung Karno pasca masa kemerdekaan RI. Mulai dari perubahan setting geber manual hingga band pengiring yang ditaruh di depan panggung.
Bentuk pertunjukan tonil ini cukup berbeda dengan pertunjukan teater modern. Musik Tonil identik dengan musik gambus, dan pemusik berada di depan panggung, sementara untuk pergantian adegan menggunakan selambu besar tanpa lighting.
Naskah yang dibuat selama masa pengasingannya di Bengkulu pada medio 1938-1942 ini, menceritakan tentang solidaritas antar kelompok bawah tanah, nilai demokrasi hingga spionase. Naskah ini disebut juga dibuat terinspirasi dari relasi antara Jakarta-Peking.
Menceritakan petualangan dua tokoh sentral Tian Kung Hoei dan Zakir Djohan yang mendapat tugas dari perkumpulan rahasia mengantar uang senilai 250 ribu gulden (kini setara 90 miliar) membantu Peking, China yang saat itu sedang diinvasi Jepang.
Dalam tugas itu, mereka mendapat berbagai banyak rintangan. Namun dalam perjalanan, uang tersebut dicuri. Sebagai konsekuensinya Tjen dan Zakir harus mengganti uang tersebut dengan nyawa mereka. Sesuai dengan kesepakatan mereka dan kelompon Tian Kung Hoei.
Namun Tjen dan Zakir tidak menyerah begitu saja. Dengan bantuan miss Liliwoe, mereka berusaha menemukan pencuri uang tersebut. Tonil ini berkisah tentang perjalanan mereka menguak pengkhianatan dalam kelompok Tian Kung Hoei sendiri.
Akhirnya terungkap bahwa Jo Ho siaw, sekretaris Tian Kung Hoei yang menjadi dalang pencurian uang tersebut. Dimana pengkhianatan itu dilakukan oleh orang terdekat.
Pementasan kemudian ditutup dengan manis oleh penampilan musik yang menyanyikan lagu yang juga diciptakan Bung Karno berjudul Bersuka Ria.
Selain itu, kedua tokoh sentral dalam cerita ini punya entitas suku yang berbeda. Tian Kung Hoi mewakili etnis tionghoa dan Zakir Djohan diperankan Bung Karno adalah etnis Jawa-Melayu. Naskah Chungking Jakarta ini sarat akan pesan moral terutama soal nilai demokrasi, solidaritas hingga patriotisme yang masih relevan jika ditampilkan di masa sekarang.
Donny Kus Indarto selaku sutradara tonil Chungking Jakarta ini menuturkan lega dapat mementaskan naskah milik tokoh bersejarah bangsa tersebut. Apalagi, pentas tonil itu kelompoknya menjadi yang pertama kali mementaskan naskah buatan Bung Karno.
”Kalau di Bali itu sudah ada yang pentaskan lakon Poetri Kentjana Boelan. Kalau naskah Chungking ini baru kembali dipentaskan orang lain oleh kami. Usai pentas tadi, rasanya semua beban-beban lepas,” ungkap Donny.
Terlepas dari itu, intisari dari lakon sandiwara ini menjadi momentum membangun kembali sinergitas antara politik dan kesenian dalam membangun bangsa. Pementasan tonil ini melibatkan seniman dari Malang dan organisasi pemuda yang melebur.
”Semangat itu pula yang coba kita jaga, yang juga coba disampaikan Bung Karno lewat naskah yang masih relevan sampai sekarang. Mulai dari Bhineka Tunggal Ika, pentingnya kerjasama dan nilai-nilai demokrasi,” paparnya.
Seperti pada adegan di ruang rapat rahasia itu, Bing Karno mencoba menyampaikan pesan tersirat bahwa sebesar apapun permusuhan kedua belah pihak, adu gagasan tetap nomor satu. Pesan ini, menurut dia juga dirasa masih relevan saat ini.
Sementara, Ketua Repdem Kota Malang Faisal Riza berharap pementasan tonil ini nantinya tidak akan berhenti disini saja. Masih ada banyak banyak produk karya dari Bung Karno yang patut untuk dipentaskan.
”Saya pikir jejak perjuangan Bung Karno ini sangat harus kita hormati. Akan sangat berdosa jika kita sebagai generasi muda tidak tahu perjuangan beliau,” kata Faisal.
Dari pementasan ini juga diharapkan dapat menjadi kebangkitan kembali khazanah kebudayaan. Karena lewat jalan kebudayaan pula, tokoh proklamator kemerdekaan RI Bung Karno menempuh perjuangan agar bangsa ini merdeka.
Tentunya, ini menjadi tantangan tersendiri pihaknya untuk kembali mengangkat pamor teater modern dalam jejak kebudayaan hari ini. ”Kenapa teater? Karena memang jalan kebudayaan di bidang seni teater itu jarang diperhatikan dengan serius. Kalau lewat seni tradisional kan sudah banyak,” ucapnya.
Seperti diketahui, selain urusan politik dan kenegaraan, siapa sangka ‘The Founding Father’ itu juga handal dalam bidang seni. Mulai seni rupa, seni musik bahkan seni peran atau teater sekalipun dia geluti.
Keahlian dalam bidang seni pertunjukan teater inilah yang jarang mendapat sorotan. Bung Karno sendiri tercatat sudah memproduksi 17 naskah sandiwara tonil selama masa pengasingannya di Ende (1934-1938) dan Bengkulu (1938-1942).
Tak hanya menulis, Bung Karno, juga istri keduanya Inggit Garnasih terlibat langsung dalam pementasan tonilnya sebagai produser, sutradara hingga piawai bermain sebagai aktor. Lewat pertunjukan teater ini pula Bung Karno menggunakannya sebagai media perjuangan.
Naskah Chungking Jakarta ini menjadi satu dari 17 naskah tonil Bung Karno selama masa pengasingan yang berhasil diselamatkan. Chungking Jakarta adalah naskah yang ditulis Bung Karno selama di Bengkulu. Juga pernah dipentaskan Bung Karno bersama kelompok sandiwaranya di Bengkulu bernama Monte Carlo.
Reporter: Ulul Azmy
editor: jatmiko