MALANG, Tugumalang.id – Fenomena perundungan atau bullying terselubung dalam lingkup program pendidikan dokter spesialis (PPDS) sudah jadi rahasia umum di kalangan kedokteran. Ada, tapi tak terlihat. Kami menemukan banyak aksi tak terpuji yang terselubung, mulai senioritas, nepotisme hingga sentimen antar ras.
Bahkan, sebagian besar masyarakat menilai bahwa aksi perundungan ini sudah semacam jadi lingkaran setan. Aksi bullying ini terbungkus rapi dengan nafas pendidikan ‘pembentukan karakter’. Tidak heran jika PPDS ini cenderung disiplin dan ketat karena profesi ini berkaitan dengan nyawa seseorang.
Hanya saja, pendidikan itu kerap diwarnai fenomena senioritas yang seiring waktu cenderung berlebihan hingga membudaya. Tak heran jika data Kemenkes menunjukkan tingkat depresi yang dialami dokter residen -istilah penyebutan dokter yang menempuh PPDS- tergolong tinggi.
Bagaimana tidak? Sejumlah kesaksian para sumber yang dihimpun tugumalang.id sebagian besar tahu dan mengamini hal itu. Tak hanya kekerasan verbal, mereka juga menerima kekerasan fisik hingga beban kerja di luar kewajaran.
Selain menempuh pendidikan, para dokter residen ini juga kerap mengalami tindak pemerasan para senior atau kakak tingkatnya. Mulai dari sekedar mengerjakan tugas senior, menyediakan makanan sesuai selera bahkan hingga mengurusi kebutuhan pribadi senior.
Baca Juga: Ekslusif! Dokter di Malang Ungkap Tabir Kerasnya Pendidikan Dokter Spesialis yang Bikin Depresi Kerap Dibully Senior
“Ada juga lho yang dituntut mengurusi tetek-bengek senior di luar ilmu kedokteran. Seperti memberi atau mencarikan pinjaman kendaraan pribadi, kebutuhan keluarga senior dan masih banyak lagi. Ya itu semua harus dipenuhi kalau calon dokter spesialis ingin lulus,” ungkap narasumber yang tak ingin disebutkan identitasnya.
Sejumlah narasumber lain, bahkan mengungkapkan bullying ini seolah menjadi budaya yang normal dan tak bisa dihindari. Ada relasi kuasa yang pelik di dalamnya. Dimana dokter residen tak pelak butuh pendidikan dengan menangani pasien langsung, namun ada jajaran para senior yang harus dilewati.
“Meski ada supervisi langsung dari dokter spesialis asli, tetap saja yang dihadapi ya para senior ini. Mau tidak mau, mereka harus nurut,” beber seorang dokter umum di Kota Malang.
Ketergantungan ini yang kemudian membuat relasi antara senior kepada juniornya cenderung toxic. Tak jarang, para dokter resdiden ini bekerja ekstra keras melebihi jam kerja yang menguras tenaga, pikiran dan jiwanya.
“Bahkan saya ada dengar, senior ini disuruh jemput anak seniornya di sekolah, ditambahi beban kerja tugas senior dan lain-lain. Ada banyak lagi beban kerja tak wajar lainnya,” ungkapnya.
Narasumber lainnya mengatakan selain urusan senioritas, dokter residen masih harus mengalami perlakuan diskriminasi. Bukan lagi soal senioritas, paling parah juga kerap menghadapi nepotisme hingga urusan sentimen antar ras.
”Ini yang paling parah, jadi ada blok-blokan antara ras satu dengan yang lain. Mungkin agak sensitif ya, tapi itu kejadian dan membudaya bahkan aksi nepotisme itu semakin kelihatan nanti ketika para dokter ini sudah diterima kerja di RS,” bebernya.
Baca Juga: Hari Dokter Nasional, dr Dhelya Sebut Perlunya Kolaborasi Bangun Health-Tourism di Malang
Kerasnya dinamika tersebut tak ayal berpengaruh terhadap kualitas kesehatan mental dan jiwa para calon dokter muda. Tak sedikit dari mereka mengalami gejala depresi selama proses pendidikan tersebut.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri telah merilis data mengejutkan jika sebanyak 22,4 persen mahasiswa PPDS mengalami gejala depresi. Data yang didapat dari hasil skrining di 28 rumah sakit vertikal itu menyebutkan ada 2.716 calon dokter mengalami gejala depresi. Bahkan 3 persen dari mereka punya keinginan untuk bunuh diri.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Jatim (IDI Jatim) Dr Sutrisno menilai jika fenomena bullying tidak bisa digeneralisasi di semua tempat. Menurutnya, iklim pendidikan PPDS memang cenderung disiplin dan ketat. Berpegang pada prinsip Kualitas, Mentalitas, Perilaku, Ilmu dan Etika
”Menjadi dokter spesialus itu harus konsisten tinggi, no error. Yang dipegang juga adalah manusia, jadi tidak boleh salah dan keselamatan nyawa itu nomor satu,” ungkapnya.
Namun memang jika pendidikan itu berujung hingga perundungan bahkan tak berkaitan dengan ilmu kedokteran, Sutrisno menegaskan kepada korban yang mengalami untuk melaporkan kepada jajaran IDI di masing-masing daerah.
”Kalau ada menemui seperti itu, laporkan! Akan kami keluarkan,” tegasnya.
Terlepas dari itu, fenomena dokter stres di Indonesia menurut Sutrisno masih jauh di bawah. Mengacu dari hasil Riskesdas dari Kemenkes menyebutkan jika masyarakat Indonesia mengalami gangguan kejiwaan mencapai 20 persen.
Sementara menurut Sutrisno, gangguan kejiwaan di lingkup PPDS berkisar di angka 3,5 sampai 5,5 persen. ”Kan itu masih jauh di bawah,” ujar Sutrisno.
Baca Juga: Universitas Negeri Malang Buka Penerimaan Mahasiswa Baru Prodi S1 Kedokteran
Kendati begitu, Kemenkes sendiri telah bergerak cepat untuk meminimalisir dampak tersebut lewat Instruksi Menteri Kesehatan (Imenkes) RI Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023 yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan perundungan (bullying) terhadap peserta didik di rumah sakit pendidikan dalam lingkungan Kemenkes.
Imenkes ini termasuk mendorong Direktur RS ikut berkontribusi dalam menciptakan ruang pendidikan yang aman dan nyaman. Instruksi ini juga meliputi sanksi bagi pelaku bullying yang paling berat berupa penurunan pangkat satu tingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan atau pembebasan jabatan, status kepegawaian bagi tenaga pendidik dan pegawai lainnya.
Sementara untuk peserta didik juga akan mendapat saksi yaitu pengembalian kepada penyelenggara pendidikan dan/atau dikeluarkan sebagai peserta didik. Imenkes ini diharap dapat diimplementasikan dengan baik untuk menyelamatkan wajah kualitas pelayanan kesehatan di masa depan.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter : M Ulul Azmy
editor: jatmiko