MALANG – Sejumlah infrastruktur sumber daya air yang dikelola Perum Jasa Tirta I (PJT I) menyimpan sejarah panjang. Sebut saja seperti Monumen Metro atau Tugu Metro yang berada di wilayah Kepanjen, Kabupaten Malang.
Tugu Metro menjadi monumen bersejarah yang juga menyimpan kisah tragis di balik kemegahannya. Seperti kata pepatah, pencapaian besar selalu membutuhkan pengorbanan yang besar pula.
Monumen bersejarah ini dibangun dengan keringat, darah hingga nyawa para pekerja. Setidaknya, itulah yang terjadi pada proses pembuatan beberapa infrastruktur sumber daya air yang saat ini dikelola oleh PJT I.
Monumen berbentuk tugu ini sendiri dibangun untuk menandai kecelakaan tragis yang terjadi beberapa tahun silam, tepatnya pada 21 November 1985 silam.
Hingga di sore itu, insiden kecelakaan kerja terjadi hingga menewaskan para pekerja proyek. Truk proyek yang mengantar pulang 80 orang pekerja Proyek Bendungan Sengguruh terjatuh dan meluncur masuk ke jurang Sungai Metro. Akibat peristiwa itul 49 orang meninggal dunia dan sisanya luka-luka.
Monumen ini berbentuk 4 buah bangunan serupa sayap yang mengapit papan trapesium bertuliskan nama para korban.
Peristiwa ini menjadi bagian kisah pilu Bendungan Sengguruh yang saat ini berfungsi sebagai salah satu pengendali banjir dan menyuplai kebutuhan PLTA di sistem Sungai Brantas.
Selain itu, ada juga monumen lain yang juga punya kisah sejarah tragis yang serupa. Adalah monumen yang berada di area waduk Bendungan Wlingi, Blitar.
Monumen ini dikenal dengan na,a Pathok Loding, karena bentuknya yang menyerupai pasak (bahasa jawa : pathok) dengan tumpukan batu di bagian atasnya.
Monumen ini dibangun untuk mengenang pengorbanan dari para pekerja dan tenaga ahli yang gugur pada masa pembangunan Bendungan Wlingi (1974 – 1977).
Salah satu peristiwa tragis yang terjadi adalah tergulingnya perahu yang mengangkut para insinyur Jepang pada saat hendak melalukan survei perencanaan bendungan.
Akibat insiden itu, terdapat 5 nama orang insinyur Jepang dan 11 nama pekerja proyek yang terpahat pada tumpukan batu yang ada di bagian atas monumen.
Dengan pengorbanan tersebut, terbangunlah Bendungan Wlingi yang saat ini bermanfaat untuk menyuplai kebutuhan irigasi seluas 12 ribu hektar sawah melalui saluran Lodagung serta membangkitkan PLTA dengan kapasitas 2 x 27 MW.
Monumen lainnya yang juga menyimpan kisah tragis terdapat di wilayah Tulungagung Selatan. Sebuah monumen di kawasan Terowongan Neyama yang bernama Monumen Sukamakmur.
Ceritanya, pada masa penjajahan, Jepang melaksanakan sistem kerja paksa atau romusha untuk membangun saluran sudetan banjir dengan mengalirkan air melalui terowongan yang menembus bukit Neyama (Gunung Selatan) untuk dibuang langsung ke Samudera Hindia.
Ribuan warga Tulungagung, Blitar dan Kediri dipaksa untuk bekerja membangun Parit Raya dan menggali terowongan. Mereka dipekerjakan tanpa upah dengan penuh penderitaan dan kelaparan.
Ditambah dengan adanya wabah malaria pada saat itu, mengakibatkan banyak pekerja yang meninggal dunia karena penyakit dan kelelahan. Jasad mereka dikuburkan di bukit Neyama tidak jauh dari lokasi terowongan yang digali. Pembuatan terowongan ini gagal dan terhenti.
Tahun 1986, proyek kembali diteruskan Pemerintah. Untuk mengenang jejak kekejaman romusha ini, dibuatlah sebuah monumen sebagai pengingat sejarah tragis rakyat Indonesia.
Dalam rangka peringatan Hari Bakti PU ke-67, PJT I melaksanakan kegiatan tabur bunga dan upacara penghormatan secara serentak di sejumlah monumen bersejarah tersebut.
Selain itu, dilakukan juga takziah ke beberapa makam para Menteri PU. Di antaranya ke makam Ir. Sutami selaku Menteri PU tahun 1966 – 1978 sekaligus Tokoh PU yang namanya diabadikan sebagai nama Bendungan di Brantas.
Beliau meninggal tahun 1980 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta. Selain itu tabur bunga juga dilakukan di makam Ir. Soenarno, Dipl. HE selaku Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah tahun 2001-2004 di Solo, dan Ir. Mananti Sitompoel selaku Menteri Pekerjaan Umum pada kabinet darurat tahun 1948-1949 dan 1950.
Direktur utama PJT I, Raymond Valiant Ruritan menyampaikan bahwa kegiatan ini dilaksanakan sebagai upaya untuk meneladani setiap pengorbanan serta pengabdian yang diberikan dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air di Wilayah Kerja PJT I.
“Ini adalah salah satu cara bagi kami untuk melakukan penghormatan. Dengan kembali mengenal sejarah, kiranya akan menumbuhkan semangat kami untuk melanjutkan perjuangan mereka dalam merawat dan memelihara infrastruktur yang dihasilkan atas pengorbanan para pendahulu kami,” tutur Raymond.