Tugumalang.id – Berbicara mengenai dunia advertising di Malang Raya, tak afdol jika melewatkan sang raksasa advertising, Jade Indopratama. Perusahaan ini telah malang melintang di dunia percetakan dan periklanan selama 32 tahun. Kini, Jade Indopratama memiliki 125 buah papan reklame yang tersebar di Malang Raya.
Pendiri Jade Indopratama, Rachmad Santoso mengawali usahanya ini dengan modal dengkul atau dengan modal seminim mungkin.
Ia terlahir di keluarga sederhana pada 28 April 1970. Saat masih duduk di bangku kelas tiga SMA, yaitu pada tahun 1989, ia memulai bisnis percetakan dengan modal uang yang ia hasilkan dari menjadi sales kalendar paruh waktu.
“Bisa dibilang saya ini modal dengkul. Untuk mencukupi ekonomi dan menyelesaikan sekolah, saya menjadi sales kalender sebuah toko kertas di Malang,” kenang Rachmad, saat menjadi tamu di Podcast Tugu Inspirasi.
Saat menjadi sales kalendar, ia belajar banyak mengenai dunia percetakan. Saat itu, pasarnyapun cukup panas. Ia melihat peluang bisnis yang besar dan memulai usaha percetakannya sendiri.
Usaha itu masih ia tekuni saat berkuliah. Ia justru melihat pasar yang besar di kampus-kampus di Malang Raya. Dari situ, ia mempromosikan usahanya ke berbagai kampus. Tak perlu waktu lama, Jade menjadi primadona mahasiswa di Malang kala itu yang membutuhkan jasa percetakan.
Tak berhenti di percetakan kertas, Jade juga terjun di bisnis garmen. Pemesanan kaos dari mahasiswa dan berbagai organisasi di Jade cukup ramai.
Berdiri selama lebih dari tiga dekade, Jade melewati beberapa krisis moneter. Ada banyak pelajaran yang Rachmad pelajari dari peristiwa tersebut.
“Di tahun 1998, saya belajar untuk lebih menghargai karyawan,” ujarnya.
Kala itu, ia kehilangan semua karyawannya. Bahkan ia menutup tempat usahanya selama tiga bulan.
Namun, ia tak membiarkan dirinya terus terpuruk. Jade kembali dibuka dengan semangat yang lebih tinggi. Terbukti di tahun 2000, Rachmad bisa mengakuisisi sebuah bangunan bekas sekolah di Jalan Tumenggung Suryo yang saat ini menjadi kantor utama Jade Indopratama.
Bangunan tersebut dulunya merupakan sekolah tempat orang tua Rachmad bekerja sebagai guru. Rachmad kemudian menyewa beberapa ruangan yang tidak dipakai sebagai tempat usahanya. Di saat yang bersamaan, bisnis pendidikan kala itu sangat lesu sehingga sekolah tersebut tidak lagi beroperasi.
“Dulu saya sewa satu dua ruangan di sekolah itu yang tidak terpakai. Lama kelamaan bisnis pendidikan makin lesu, akhirnya sekolah tersebut kami akuisisi di sekitar tahun 2000,” ungkapnya.
Saat ini, Jade Indopratama membawahi empat unit usaha yaitu percetakan offset, digital printing, advertising, dan ritel.
Sebelumnya, mereka juga memiliki unit usaha event organizer (EO) bernama Jade Entertainment. EO ini dikenal sebagai pencetus festival musik bergengsi, Malang Jazz Festival. Sayang pandemi COVID-19 membuat Jade Entertainment berhenti beroperasi.
Meski harus melakukan perampingan usaha dan karyawan, Rachmad tak mau menganggap situasi ini sebagai sebuah kejatuhan. Apapun yang terjadi, ia menganggap itu adalah sebuah momen untuk belajar menjadi lebih baik.
“Kalau melihat hal yang negatif, saya nggak mau bahas terlalu panjang. Potong saja di titik itu, kemudian dilihat ke depannya saya harus bagaimana, penyelesaiannya seperti apa dan nilai tambah apa yang bisa diambil dari kondisi tersebut,” kata Rachmad.
Ini sesuai dengan prinsipnya bahwa pengusaha itu harus bisa menjadi engine (mesin) yang bisa menerima semua faktor yang ada di lingkungannya, baik yang positif maupun negatif. Pengusaha juga harus mampu mengubah faktor-faktor negatif yang tidak bisa ditolak menjadi hal positif sehingga bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya.
Dari situ, ia bisa menciptakan pola pikir yang membuatnya lebih siap dalam menghadapi masa-masa sulit.
Selain itu, Rachmad juga membeberkan kunci sukses lainnya, yaitu untuk tidak berbisnis dengan Tuhan. Ia melakukan pekerjaannya dengan ikhlas, tanpa membuat perhitungan dan menagihnya pada Sang Pencipta. Ini juga termasuk berbuat baik pada orang tua dan orang sekitar.
Reporter: Aisyah Nawangsari
Editor: Lizya Kristanti