MALANG – Desa Tambakrejo yang berada di Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang baru saja mendapatkan sertifikat nasional atas keberhasilannya membentuk Masyarakat Siaga Tsunami dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Republik Indonesia.
Ini menandakan Desa Tambakrejo telah memiliki sistem yang baik dalam mengurangi risiko jika terjadi bencana tsunami. BMKG bahkan mengupayakan Tambakrejo untuk mendapatkan pengakuan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) sebagai desa dengan Masyarakat Siaga Tsunami tingkat internasional.

Untuk mendapatkan pengakuan ini rupanya tidak mudah. Desa Tambakrejo telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi risiko bencana sejak tahun 2015 dengan mengikuti pelatihan sebagai Desa Tanggap Bencana (Destana).
“Diawali tahun 2015, dibentuk Destana di sini. Ada dua pendamping yang memberi pembinaan dan pelatihan pada 30 orang (warga Desa Tambakrejo),” ujar Nanot Eko Adi Santoso, Bendahara Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Desa Tambakrejo.
Sebelum dilakukan pembinaan dan pelatihan, mereka melakukan pengkajian bencana-bencana apa saja yang pernah terjadi dan berpotensi terjadi di Desa Tambakrejo.
“Yang pernah terjadi itu banjir dan tsunami,” sebut Nanot.
Desa Tambakrejo pernah diterjang tsunami pada tahun 1994. Peristiwa itu mengakibatkan 30 rumah mengalami kerusakan. Beruntungnya tidak ada korban jiwa akibat bencana tersebut.
Dari situ, tsunami dianggap sebagai bencana yang menimbulkan dampak paling besar di Desa Tambakrejo dan menjadi prioritas di pelatihan dan pembinaan Destana.
“Oleh pendamping kami diberi pesan supaya bencana itu jangan hanya dijadikan monumen atau cerita saja, tetapi ilmunya juga dipelajari dan diterapkan,” ucap Nanot.

Nanot sendiri sudah berkecimpung di penanganan bencana sejak tahun 1997. Saat itu ia bergabung dengan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Malang. Ia pun sangat aktif dalam membantu warga Desa Tambakrejo agar lebih waspada dan sadar akan risiko bencana.
Pada tahun 2017, Desa Tambakrejo kembali mendapat pelatihan Destana. Warga pun semakin serius dalam mempelajari apa saja yang perlu dilakukan jika terjadi tsunami. “Bisa nggak bisa, kami harus melakukan sesuatu. Bencana itu tidak dapat dicegah, paling tidak kami harus mengurangi risikonya,” ujar Nanot.
Saat mengetahui bahwa ada potensi tsunami megathrust di Desa Tambakrejo, Nanot dan rekan-rekannya mulai memetakan apa saja yang perlu dilakukan untuk mengurangi risiko karena wilayah terdampak menjadi semakin luas.
“Daerah yang rawan tsunami menjadi semakin luas, sampai ke kampung yang jaraknya 2,5 kilometer dari pantai. Ada ratusan jiwa yang terancam,” ujar Nanot.
Menurut Nanot, sebelum ada informasi tsunami megathrust, perkampungan yang jaraknya cukup jauh dari pantai tidak tergolong pada wiilayah yang rawan. Namun setelah dilakukan pemetaan oleh BMKG, wilayah tersebut akan terdampak jika terjadi tsunami.
Ini disebabkan di sepanjang Desa Tambakrejo terdapat sungai dan sungai diibaratkan sebagai jalan tol bagi tsunami. Wilayah yang berada di sepanjang sungai sama rawannya dengan yang berada di tepi pantai.
Sejak saat itu, edukasi tentang pengurangan risiko bencana semakin gencar digalakkan di Desa Tambakrejo. Edukasi juga dilakukan di rumah-rumah ibadah sehingga para jemaat lebih mudah memahaminya.
Selain itu, Desa Tambakrejo telah memiliki Early Warning System (EWS) yang dipasang oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur. EWS tersebut bisa membantu warga untuk lebih waspada saat bencana terjadi.
“Kami juga mengedukasi warga, jika EWS sudah berbunyi apa yang harus dilakukan,” kata Nanot.

Untuk memastikan EWS masih berfungsi dengan baik, alat tersebut dinyalakan setiap tanggal 26. Tanggal tersebut dipilih untuk memperingati tsunami dan gempa di Provinsi Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004.
Di samping itu, Desa Tambakrejo juga melakukan simulasi tsunami minimal dua kali setiap tahunnya.
Nanot mengatakan mungkin upaya-upaya mereka tersebut menarik perhatian BMKG untuk menjadikan Desa Tambakrejo sebagai Masyarakat Siaga Bencana. “Dulu BMKG pernah ke sini untuk susur jalur evakuasi,” imbuh Nanot.
Menurut Nanot, Kepala BMKG RI, Dwikorita Karnawati pernah mengunjungi Desa Tambakrejo dan melihat bahwa desa tersebut telah memiliki Forum PRB yang sudah tanggap. Setelah itu, Kepala BMKG Stasiun Geofisika Karangkates, Kabupaten Malang, Ma’muri datang ke desa tersebut dan menanyakan apakah Desa Tambakrejo bersedia untuk didaftarkan menjadi Masyarakat Siaga Tsunami tingkat nasional.
Meski telah berhasil meraih pengakuan Masyarakat Siaga Tsunami tingkat nasional dan saat ini telah diusulkan untuk menjadi Masyarakat Siaga Tsunami tingkat internasional, Nanot mengatakan bahwa itu bukanlah misi mereka.
“Kami nggak mengejar itu (sertifikat). Walaupun nggak ada itu pun, kami tetap jalan. Misi kami pokoknya jangan sampai jika terjadi bencana, ini akan separah yang kita bayangkan. Bagaimana caranya risiko bisa dikurangi,” tegas Nanot.
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
editor:jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id