Oleh Irham Thoriq*
Menjadi Aremania adalah momen terbaik. Mungkin, ini juga dialami oleh banyak orang. Termasuk 132 korban wafat tragedi Kanjuruhan, Kabupaten Malang, 1 oktober 2022.
Menjadi Aremania bukan hanya untuk mendapatkan hiburan. Tapi juga degupan jantung, air mata, lelah, fanatisme, dan lain sebagainya. Menjadi Aremania bukan hanya menjadi supporter sepak bola, tapi berbagai hal yang berkecamuk di dada, entah itu ketika Arema menang, atau kalah.
Saya termasuk menjadi Aremania yang kadang-kadang. Kadang-kadang fanatisme luar biasa, kadang cuek terhadap semua hal tentang Arema. Terutama ketika pekerjaan datang susul menyusul, ketika itu saya tidak lagi ‘khusyuk’ menjadi Aremania.
Yang saya ingat, saya begitu fanatisme menjadi Arema FC ketika sekolah di Madrasah Aliyah (MA) Raudlatul Ulum, Ganjaran, Gondanglegi, Kabupaten Malang. Jenjang sekolah ini setara dengan tingkat SMA. Ketika itu belum ada dualisme Arema. Hanya ada satu Arema.
Salah satu momen yang tak terlupakan, tentu saja ketika libur dari pesantren, saya menyaksikan Arema di Stadion Kanjuruhan. Tidak tahu pastinya itu kapan, dan melawan siapa Arema waktu itu. Yang jelas, itu tidak jauh dari wafatnya ayah saya karena serangan jantung.
Saat itu, saya belum memakai handphone. Pertama kali punya handphone, ya handphone warisan dari ayah saya itu. Lupa merk-nya. Mungkin Nokia.
Saya bercelana pendek, berkaos, pakai syal, layaknya gaya Aremania yang baru menyukai Arema FC. Ketika itu seperti hendak menyaksikan hal luar biasa. Senang bukan main. Ini juga tampaknya yang dirasakan 132 korban itu, ketika hendak menyaksikan laga Big Match Arema FC vs Persebaya. Semuanya senang, sebelum kemurungan terjadi, ketika Arema FC kalah 2-3, dan sebelum keadaan semakin gelap karena tragedi.
Waktu itu, saya menonton dari tribun selatan. Tidak tahu, itu apakah tribun dari pintu 13 yang membawa banyak korban pada 1 oktober lalu atau tidak. Ketika pemain Arema FC baru keluar dari kamar ganti. Aremania bersorak sorai. Termasuk saya. Ketika bersorak sorai itu, terasa ada yang memegang celana saya. Ketika keadaan mulai tenang, saya pegang celana saya. Ternyata, handphone saya hilang.
Saya pulang dengan cemas. Takut dimarahi ibu saya. Tapi, untungnya ibu saya tidak jadi marah. Mungkin karena ayah saya baru berpulang. Saya kehilangan handphone, tapi tidak kapok menjadi Aremania.
Waktu itu, cukup sering saya menonton Arema FC di Stadion. Baik di Kanjuruhan atau Gajayana. Seingat saya, ada beberapa pemain yang begitu saya idolakan, yang mainnya begitu ciamik. Yakni, duet striker Emanuel Serge dan Franco Hita. Serge bermain ngotot, Hita bermain elegan. Gelandang Firman Utina dengan umpannya yang terarah, Joa Carlos yang tendangannya layaknya David Beckham, hingga si jangkung sebagai center back Aris Budi Prasetyo, yang cukup sering mencetak gol.
Ketika itu, nonton langsung saja tidak cukup. Saya memantau langsung perkembangan Arema dari radio yang begitu aktif memberitakan Arema yakni RCBFM. Saya dengarkan dari kamar pesantren. Juga dari Koran Radar Malang, yang begitu aktif juga memberitakan Arema.
Ketika tidak bisa menonton langsung karena peraturan pesantren yang begitu ketat, saya menonton dari televisi di rumah saudara. Meski ini termasuk melanggar peraturan pesantren, tapi saya bernikan. Demi Arema.
Suatu ketika, saya menonton laga penting bersama teman pesantren saya, namanya Rohim. Ketika itu, karena hujan lebat yang membanjiri Stadion Kanjuruhan, laga yang disiarkan langsung secara live di televisi swasta tersebut, terpaksa ditunda keesokan harinya.
Karena penasaran atas laga tersebut, saya dan Rohim memilih datang ke Kanjuruhan. Memakai sepeda pancal. Kita mengayuh sepeda pancal, kurang lebih 10 kilometer.
Ketika itu kami datang dengan rasa was-was. Takut ketemu oleh pengurus pesantren. Hukuman bagi santri yang melanggar nonton sepak bola di Stadion tidak main-main, yakni dicukur gundul.
Ketika itu tidak tahu apakah masih di siarkan live atau tidak. Saking takutnya kami ketahuan, Rohim beberapakali harus menundukan wajahnya dengan begitu dalam, ketika bola mengarah ke tempat kami menonton.”Takut ham,” kata Rohim ketika itu.
Karena ketakutan itu, kami tidak fokus menonton. Kami justru fakus kepada ketakutan kita untuk tidak diketahui oleh pengurus pesantren. Baik secara langsung, maupun dari televisi. Kenangan itu sudah berlalu sekitar 16 tahun, tapi saya dan Rohim seringkali tertawa cekikikan ketika membahas hal tersebut.
Waktu terus berlalu, fanatisme terhadap Arema berkurang saat saya kuliah. Kabar bahwa Arema pecah menjadi dua juga membuat fanatisme itu semakin memudar. Ketika 2012 silam saya diterima bekerja di Koran Radar Malang, saya harus mengikuti lagi perkembangan Arema. Saya juga sering mengikuti laga tandang Arema FC. Seperti di Bandung, Palembang, dan Bali. Termasuk, ingat betul ketika striker Arema FC Cristian Gonzales hendak mau turun bus, karena bus kami di lempari batu oleh supporter tim lawan di Bandung.
Pada 1 Oktober lalu, kenangan saya saat menjadi Aremania yang fanatik seperti terpanggil kembali. Terlebih, saya ikut membantu wartawan untuk liputan ke rumah-rumah duka. Saya terpukul, ketika mewawancarai seorang ibu di Wajak, kehilangan anak pertamanya, yang pendiam dan rajin, yang masih berumur 13 tahun.
Dia awalnya ingin menghalangi anaknya untuk menonton Arema FC melawan Persebaya. Tapi, dia tidak bisa lagi melarang, ketika anaknya mengatakan bahwa dia sudah menabung dari uang jajan sekolah, untuk menonton Arema FC, untuk pertama kalinya.
Ibu itu berkali-kali pingsan, ibu itu kehilangan anaknya. Juga kehilangan harapan dari anaknya yang ingin menjadi ustadz. Saya juga mewawancarai seorang ayah, yang hanya dalam hitungan jam, kehilangan istri dan dua anaknya. Juga mewawancarai seorang kakek, yang kehilangan anak dan dua cucu kesayangannya.
Mereka semua kehilangan nyawa, dan juga kenangan, yang tak akan kembali. Kesedihan mereka beribu-ribu kali lipat, disbanding kesedihan saya yang hanya kehilangan handphone pada 16 tahun silam. Menjadi Aremania, adalah momen terbaik saya, dan saya tidak pernah menyesalinya. Semoga, begitu juga dengan keluarga yang kehilangan kerabat itu. #usutsampaituntas.
*Penulis adalah CEO Tugu Media Group.