Teriakan ”Its a Wrap,” menjadi kalimat paling dinanti mereka yang bergelut di dunia produksi film. Semua jerih payah mereka seolah terbayar tuntas begitu mendengar kalimat ini. Rasanya seperti menjadi Balotelli yang membobol gawang Gianluigi Buffon, lalu berselebrasi sembari meneriakkan ‘Goaal’
MALANG – Bola mata Magnis Putri mendadak membelalak begitu seorang kru film di lokasi syuting meneriakkan ‘Its a Wrap’ dengan intonasi nada tegas dan panjang. Raut muka lega mulai terpancar di wajah para kru film dan pemain yang tadinya mulai kusut. Mereka berpelukan, berjabat tangan dan saling memberi selamat.
Begitu juga Magnis, rasa kantuknya seketika hilang. Dia bersama kru film lain langsung memburu salah satu kru yang adalah penulis naskah untuk digotong dan diceburkan ke pantai. Begitu kira-kira suasana yang terjadi pada hari terakhir syuting film berjudul ‘Jangka Kala’ di Malang, Jawa Timur pada akhir 2021 lalu.
”Denger kata Its a wrap itu kayak beban-beban hidup itu hilang. Rasa lelah dan sumpek selama produksi itu gak seberapa dengan kepuasan melihat filmnya tayang,” kisah Magnis pada tugumalang.id.
Di ‘Jangka Kala’, Magnis menjadi salah satu kru film paling muda. Waktu itu dia masih kelas XII, sekolah di SMK Negeri 3 Kota Batu Jurusan Film. Usianya masih 18 tahun, tapi sudah terlibat di penggarapan film besar bersama sineas lain yang sudah senior.
Keberadaan remaja Desa Pandanrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu ini bukan dalam rangka magang jurusan sekolah. Tapi ‘on job’ alias direkrut untuk bekerja. Posisinya tak main-main, di lini prosedurial mengurusi finansial tim.
Jangka Kala sendiri merupakan proyek film yang digawangi rumah produksi CV Confidemus Creative Media & Hisstory Film. Rumah produksi ini terpilih sebagai salah satu penerima suntikan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk sub sektor perfilman dari Kemenparekraf.
Program ini jadi angin segar bagi industri perfilman dan sineas lokal Malang waktu itu. Karena selama pandemi mereka dibuat mati kutu, baik dari segi karya maupun ekonomi. Magnis merasa bersyukur sekali bisa terlibat dalam penggarapan film profesional ini.
Magnis tak sendiri. Ada tiga anak SMKN 3 Batu lain yang juga beruntung mendapat kesempatan langka itu. Mereka juga dipercaya berkontribusi di posisi strategis seperti di bagian tata cahaya (lighting man) dan tata busana (wardrobe).
”Kami memang sudah dekat dan kenal para pegiat film senior di Malang dan Batu sejak kelas X. Itu kita (SMKN 3) dapat proyekan film tayang di Viu. Banyak dapat ilmu dari mereka. Berlanjut sampai sekarang, diajak proyekan bareng, dapet honor juga. Saya bangga sekali,” ucap Magnis.
Selain itu, Magnis juga mendapat dukungan penuh dari sekolah, terutama dari guru-gurunya. Guru-guru di PSPT (Produksi dan Siaran Program Televisi) Jurusan Film mayoritas masih berusia muda dan berpengalaman di bidang broadcasting dan film.
Di sana, proses sekolahnya tidak hanya terbatas di ruang kelas. Tapi juga kerap diajak melihat proses syuting yang nyata di lapangan. Bahkan, kata Magnis, sekolah memberi dukungan penuh dengan membebaskan anak didiknya merintis kiprahnya di luar sekolah.
”Misal saya ijin gak masuk sekolah seminggu karena job film itu dibolehin. Malah dianjurkan. Syaratnya nanti pulang syuting tetep bikin laporannya,” ungkap Magnis.
Jurusan film di SMKN 3 Kota Batu sendiri terbilang anyar, berdiri pada 2018. Di Jawa Timur, hanya ada 5 SMK yang menjadi pilot project Pusbang Film dari Kemendikbud. Pun juga di Malang, hanya ada dua sekolah kejuruan yang ditunjuk. Satunya di SMK Muhammadiyah 5 Kepanjen.
Peminatnya dari tahun ke tahun berangsur meningkat. Dari yang semula hanya ada 20 siswa, kini tiap tahunnya menerima hingga 50 siswa. Guru-gurunya juga masih muda, rata-rata usia 30 tahunan dan berpengalaman di bidang broadcast, televisi dan seni film.
Diah Dewi Gayatri adalah salah satunya. Di sana, Diah memegang jabatan selaku Kepala Kompetensi Keahlian PSPT. Di posisinya itu, Diah yang paling banyak bersentuhan dengan muridnya. Menjadi sosok guru, mentor, fasilitator dan bahkan menjadi teman.
Tidak heran, mengingat kerja di dunia film memang lebih banyak dihabiskan di lapangan daripada di kelas. Kepada muridnya, dia kerap menciptakan suasana belajar yang asyik; brainstorming. Anak didik dibebaskan untuk berkreativitas.
”Kita lebih banyak berperan sebagai teman, partner mereka. Misal ada kesulitan di proses produksi, ya kita bantu mereka pecahin masalahnya sendiri. Jadi partner problem solver,” papar Diah.
Meski usia jurusan film disini masih relatif muda, bukan berarti sekolah yang terletak di tengah sawah ini miskin prestasi. Tak sedikit proyek film garapan anak-anak SMKN 3 Batu menjuarai festival-festival film kaliber nasional bahkan internasional.
Sebut saja seperti ajang Asian International Student Film Festival di Jepang, GudMovie Fest Jakarta hingga Festival Film Pelajar Jogja. Karya film anak-anak juga menjadi film perdana di Malang yang tampil di Viu, kanal streaming film setara dengan Netflix.
Melihat capaian prestisius dari tahun ke tahun itu Diah merasa optimistis jurusan film di sekolah ini dapat bertahan lama. Guru-guru disana juga aktif meng-upgrade ilmu agar kurikulum belajar sekolah bisa sesuai dengan perkembangan industri film yang ada.
”Kami dari guru terus upgrade ilmu, aktif juga bikin karya film, ikutan workshop bahkan sampai ikutan magang ke rumah produksi (PH) yang sudah profesional. Kami harus terus berinovasi karena jurusan ini beda dari sekolah pada umumnya,” kata dia.
Terbangunnya ‘support system’ yang baik inilah yang kemudian memantapkan Magnis memilih masa depan berkarir di dunia film. Sekarang dia baru lulus dan menjadi satu-satunya siswa di angkatannya yang diterima di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Jurusan Film dan Televisi lewat jalur SNMPTN.
Kolaborasi Industri dan Sekolah Menjawab Masa Depan Perfilman Indonesia
Pendidikan kejuruan memang jadi perhatian banyak pihak. Bahkan Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres No. 9 Tahun 2016 untuk merevitalisasi SMK. Terbaru, Kurikulum Merdeka Belajar digaungkan untuk mengubah citra SMK yang selama ini dikenal hanya sekedar menjadi lembaga pencetak tukang atau pekerja.
Tantangan terbesar dalam menerapkan kurikulum tersebut terletak pada kesiapan mindset guru untuk berubah, yang tadinya menerapkan konsep lama hasil adopsi Indonesia dari Jerman di era 1970-an. Sementara, di negeri Panzer itu telah mereformasi gaya itu dan Indonesia masih menerapkan pola yang sama.
Menurut Dirjen Vokasi Kemendikbudristek, Wikan Sakarinto fungsi guru hari ini sudah harus berubah. Guru sudahharus memaknai peranan pentingnya sebagai mentor, fasilitator atau coach. Sosok guru baru ini nanti akan selaras dengan penerapan kegiatan belajar yang berbasis pada project based learning atau Teaching Factory (TeFa).
Penerapan TeFa di SMK ini mendorong peserta didik untuk menciptakan produk atau jasa sesuai minat dan bakatnya masing-masing. Guru punya tanggung jawab membekali siswa didik dengan karakter leadership yang baik, mempertajam daya literasi, numerasi, kreativitas dan berpikir kritis.
”Dengan begitu, SMK tidak lagi menciptakan tukang, tapi entrepreneur sejati, pembelajar sepanjang hayat. Tinggal mindset itu tadi, mau berubah apa tidak,” tegas Wikan dalam program FJP Batch IV yang digagas Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan berkolaborasi dengan PT Paragon Technology and Innovation, Senin 28 Maret 2022.
Konsep Merdeka Belajar itulah yang kini juga getol diterjemahkan oleh SMKN 3 Kota Batu. Bahkan, kata Kepala Sekolah SMKN 3 Kota Batu, Kolikul Huda, pihaknya sedikit banyak sudah menerapkan TeFa, khususnya di Jurusan PSPT dan Perfilman.
”Bahkan sekolah kita ditunjuk sebagai tim penyusun kurikulum jurusan perfilman se-Indonesia. Ini kita sedang tahap penyempurnaan kurikulum Te-Fa fase F,” ungkap Huda.
Dalam susunan kurikulum yang baru nanti, lanjut dia, sekolah didorong untuk merumuskan sendiri prinsip ‘link and match’ sesuai perkembangan industri di masing-masing daerah. Misal dengan menggandeng rumah produksi (PH) jadi rekanan.
”Jadi PH dan sekolah nanti dibebaskan menyusun kurikulumnya sendiri. Kurikulum setiap sekolah nanti beda-beda. Link dan match tertata, juga selaras dengan perkembangan dan kebutuhan industrinya,” paparnya.
Di Jurusan Film SMKN 3 Kota Batu, peserta didiknya sudah akrab berhubungan dengan rumah-rumah produksi lokal di Malang. Seperti Paradise Pictures, Hisstory Films, Equator, Kata Pictures dan lain-lain.
”Kalau bisa, konsep TeFa itu kita terapkan sejak siswa masih kelas X. Dan kalau bisa lagi, SMKN 3 Kota Batu bisa punya PH atau rumah produksi sendiri,” harapnya.
Iklimnya Sudah Asyik, Pemkot-nya Melempem
Keterlibatan pelajar SMK, seperti Magnis dan teman-temanya dalam industri perfilman harusnya menjadi spirit yang harus dirawat. Di tangan mereka pula, masa depan perfilman berada. Regenerasi, tak pelak menjadi tantangan besar banyak pihak, termasuk di Kota Malang, Jawa Timur.
Di Kota Malang, kualitas industri perfilmannya bisa dibilang sejajar dengan Jogja. Namun, kesempatan sineas lokal Malang untuk berproses menunjukkan tajinya masih minim. Harusnya, pemerintah dalam hal ini punya peranan penting dalam menciptakan ekosistem sehat yang diidam-idamkan.
”Kesempatan sineas lokal saja masih minim, apalagi untuk pelajar. Industri film Jogja itu bisa keliatan karena ada support penuh dari Pemda-nya,” ungkap Pengamat Film di Kota Malang, Arfan Adhi Perdana ditemui beberapa waktu lalu.
Dari ekosistem yang sehat itu akhirnya melahirkan talenta-talenta sineas baru dan karya film yang lebih segar. Di tengah keterbatasan tersebut, untungnya pegiat film di Malang masih setia membangun ekosistem sehat tersebut.
Komunitas pegiat film hingga PH di Malang, kata Arfan, kini sudah sadar akan pentingnya regenerasi. Dari yang dulunya hanya sekedar jadi tukang gulung kabel, kini siswa magang dituntut berkontribusi lebih dalam produksi, meski hanya berstatus magang.
”Selama 3-4 tahun terakhir, gaya lama itu saya lihat sudah berubah. Seperti di Jangka Kala, misalnya, itu juga melibatkan siswa pelajar. Mereka diberi posisi strategis, sesuai kemampuannya. Mereka juga dapat honor,” kata Arfan yang juga Produser Film Jangka Kala ini.
Pada dasarnya, tegas Arfan, potensi individu untuk berkembang bisa bertumbuh seiring terbukanya peluang dan kesempatan. Seniman, pegiat film, dan juga sekolah telah melakukan itu. Sekarang tinggal peran pemerintahnya mendukung atau tidak.
”Industri film di Jogja didukung penuh oleh Pemda-nya, khususnya dari segi anggaran. Satu judul film bisa sampai Rp 250 juta. Itu angka rasional. Misal di bawah itu, ya gak ngaruh ke kualitas film, juga ke generasi,” beber pria yang juga Dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi UMM ini.
”Semisal kayak begitu dibuat di Malang aja, iklim perfilman disini juga akan tumbuh subur. Kualitas perfilman semakin baik, SDM tumbuh, dari sisi investasi, Kota Malang juga akan naik. Kan begitu, saling menguntungkan,” pungkasnya.
Dari sektor pendidikan juga begitu. Magnis adalah salah satu contohnya, anak muda yang lahir dari ekosistem tersebut. Tapi pertanyaannya, mengapa Magnis memilih bertandang untuk sekolah di Jogja? Jawabannya sama. Kata Magnis, dukungan pemerintah untuk industri film di Malang masih kurang.
Padahal, kualitas sineas lokal di Malang menurut Magnis tidak bisa diremehkan. Dengan bersekolah dan berkarir di Jogja, Magnis berharap ilmu, wawasan dan pengalamannya di dunia film bisa meningkat.
”Di Jogja sini atmosfernya kan aktif sekali ya, baik secara komersil maupun tidak. Pasarnya juga luas. Nanti sepulang dari Jogja, iklim industri perfilman di Malang semakin baik. Padahal, di Malang itu gak kalah sama daerah lain,” tandasnya
Reporter: Ulul Azmy
editor:jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id