MALANG, Tugumalang.id – Penembakan gas air mata saat kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang pasca pertandingan Arema FC Vs Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) mengundang perdebatan.
Penembakan ini menyebabkan para supporter berdesak-desakan untuk keluar dari stadion. Akibatnya, terjadi penumpukan dan kekurangan oksigen. Hingga saat ini, telah dikonfirmasi 127 orang tewas dalam peristiwa ini.
Penggunaan gas air mata sendiri dilarang di dalam aturan Fédération Internationale de Football Association (FIFA), tepatnya di Pasal 19b.
Pada pasal yang mengatur tentang pengamanan tersebut tertulis “No firearms or crowd control gas that shall be carried or used” atau tidak boleh ada penggunaan senjata api dan gas air mata.
Pada konferensi pers yang dilakukan di Mapolres Malang, Minggu (2/10/2022) dini hari, Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Nico Afinta menjelaskan alasan penggunaan gas air mata yang dilakukan oleh petugas pengamanan di Stadion Kanjuruhan.
Menurutnya, penggunaan gas air mata dilakukan setelah sebelumnya dilakukan upaya imbauan agar supporter yang kecewa atas kekalahan Arema FC tidak turun ke lapangan.
“Sudah terlihat di video bahwa semuanya berjalan dengan baik sampai selesai pertandingan. Kemudian beberapa supporter atau penonton yang tidak puas turun,” kata Nico.
Para supporter tersebut turun ke lapangan untuk menemui para pemain dan official karena ingin mendapat penjelasan mengapa Arema FC bisa kalah dari Persebaya.
“Turunnya (supporter) itu membahayakan para pemain dan official baik dari Arema FC maupun Persebaya Surabaya,” ujar Nico.
Para supporter yang turun tersebut kemudian melakukan perlawanan dan pemukulan kepada petugas pengamanan.
“Kami juga sedang mendalami kenapa kok supporter dan penonton yang tidak puas ini begitu beringasnya,” imbuh Nico.
Karena dirasa supporter sudah mulai anarkis, petugas kemudian menembakkan gas air mata.
“Namun langkah-langkah penggunaan gas air mata itu sebelumnya didahului dengan upaya imbauan terlebih dahulu,” tegas Nico
Reporter: Ulul Azmy, Aisyah Nawangsari Putri
editor: jatmiko