TuguMalang.id – Gedung Balai Kota Malang yang terletak di Jalan Tugu, Kota Malang memiliki keunikan sekaligus histori yang menarik untuk ditelisik dan dipelajari. Bangunan yang dibangun oleh kolonial Belanda mulai tahun 1926 dan diresmikan pada 1929 ini ternyata pernah dibakar oleh warga pribumi.
Pada mulanya, balai kota ini dibangun untuk menjadi pusat pemerintahan sekaligus juga sebagai benteng pertahanan kolonial Belanda di Malang. Untuk itu, Belanda mendesign gedung ini sedemikian rupa agar bisa menjadi bangunan multi fungsi.
Belanda juga menyisipkan teknologi pendingin ruangan kuno secara detail ketika membangun gedung ini. Letak bangunan ini dipilih tepat di dekat sungai yang tentunya sangat strategis untuk bisa membawa udara segar dari sungai menuju balai kota sebagai penunjang teknologi pendingin itu.
“Ini belum banyak yang tahu kalau Belanda membuat balai kota ini dengan teknologi pendingin yang memanfaatkan udara sungai,” kata Agung H Buana, Pemerhati Sejarah dan Budaya Kota Malang.

Lantaran posisi gedung balai kota ini lebih tinggi dari kedudukan sungai, dinding dinding balai kota dipasang sirap sirap dengan posisi miring ke bawah untuk menangkap hembusan udara segar dari sungai tersebut.
“Kalau kita melihat sebelum ruang sidang balai kota, kita akan melihat sirap sirap yang miring kearah bawah. Itu untuk menangkap aliran angin dari sungai,” ungkapnya.
Kemudian di atas plafon gedung balai kota juga terdapat kubus kubus terbuka yang menghadap ke arah bawah. Agung mengatakan bahwa kubus kubus itu merupakan penyimpan udara segar agar tak lekas hilang yang kemudian bisa mendinginkan ruangan balai kota.
“Itu teknologi dari Belanda yang menarik dan belum pernah orang teliti. Jadi saat itu Belanda sudah memikirkan sampai segitu, ini menurut saya luar biasa,” ungkapnya.
Namun menurutnya, saat ini teknologi pendingin itu sudah tak berfungsi lagi. Sebab, kubus kubus terbalik itu sudah ditutup lantaran tak mengetahui fungsinya. Terlebih, di antara sungai dan balai kota sudah mulai bermunculan gedung gedung baru yang menghalangi hembusan udara dari sungai ke balai kota.
Agung yang juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang 2016-2020 itu menjelaskan bahwa balai kota ini juga didesign untuk bisa menjadi benteng pertahanan. Sehingga design bangunan ini sengaja dibuat cenderung berbentuk huruf M yang melebar agar bisa untuk memantau pergerakan musuh dari segala arah.
“Ketinggian jendela balai kota juga persis dirancang seperti posisi orang nembak, pas posisinya. Jadi kalau terjadi perang tinggal menaruh senjata di jendela itu. Kita juga gak akan kena tembak karena temboknya gede dan tebal,” jelasnya.
Sementara itu pada 29 Juli 1947, Balai Kota Malang ini juga pernah dibakar oleh Gerilyawan Rakyat Kota (GRK) sebagai simbol perlawanan Kota Malang terhadap Belanda. Sebab, masyarakat Kota Malang tak ingin Belanda kembali menguasai Malang lagi. Untuk itu, lebih baik dibakar dari pada kembali jatuh ke tangan Belanda.
“Akhirnya gedung gedung yang pernah dibangun Belanda dibakar semua. Kemudian kebakaran terjadi hampir separuh balai kota dan hampir seribu bangunan Belanda di Kota Malang. Peristiwa itu disebut dengan Malang Bumi Hangus,” paparnya.
“Peristiwa itu sebagai simbol kekuatan rakyat Malang yang tak mau diambil alih lagi oleh Belanda. Makanya lebih baik dibakar. Sehingga sampai sekarang, balai kota ini sebagai simbolnya Kota Malang. Makanya apapun bentuknya, kalau ditaruh di balai kota itu seolah olah menjadi hal yang istimewa,” tandasnya.
Reporter: M Sholeh
editor:Jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id