Oleh: Irham Thoriq*
Telepon saya berdering, Senin siang (28/6/2021).”Aku mampir ya,” kata Muhammad Nurudin. Tak berselang lama, pria yang akrab disapa Gus Din ini sudah muncul di depan kantor kami, di daerah Dirgantara, Sawojajar Kota Malang.
Obrolan kami dengan pria yang menjabat sebagai Tenaga Ahli Utama Kementrian Desa dan Daerah Tertinggal ini berjalan gayeng, sekitar dua jam. Ada banyak yang dibicarakan, mulai dari yang rahasia, hingga yang jenaka. Mulai dari hal-hal yang penting, hingga hal yang remeh temeh.
Selain saya, bergabung dalam obrolan gayeng tersebut adalah General Manager (GM) tugujatim.id Bayu Eka Novanta dan General Manager tugumalang.id Fajrus Sidiq.
Dari banyak hal yang diobrolkan, saya tertarik dengan humanisme pria yang juga Ketua Ikatan Alumni Universitas Islam Malang (IKA Unisma) dan Ketua Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA-PMII) Kota Malang ini. Ya, meski secara umur dan ilmu beliau jauh di atas kami, tapi beliau begitu entengnya berbagi pengalaman, memberi insight, dan tentu saja tetap santai dengan gaya celetukan khasnya.”Yo opo, yo opo.”
Ketika berkunjung ke kantor kami, beliau hanya naik ojek. Rupanya, pengendara yang disewa oleh Gus Din, adalah teman satu kelasnya dulu saat SD, yang pekerjaannya sepi karena pandemi.”Agar ekonomi berputar, makanya saya naik ojek,” katanya.
Ketika kami makan siang bersama, Gus Din tak lupa meminta kami memberi nasi kotaknya ke sopir ojek yang mengantarkannya. Ya, hal-hal sederhana seperti itulah, yang membuat Humanisme Gus Din terasa natural, tidak dibuat-buat.
Dalam kesempatan tersebut, Gus Din juga mengajak kami menggelar pelatihan kepada para mahasiswa PMII.”Tapi jangan gratis, nanti kita bayar. Kalau gratis terus, nanti organisasi kita tidak naik kelas. Pelatihannya bisa dilakukan di warung Fairuz (alumni PMII juga), agar ekonomi berputar,” kata Gus Din lantas tertawa.
Gus Din juga mengingatkan kami yang muda-muda, harus pandai memanfaatkan jaringan. Kata beliau, jelas saja sebagai anak muda, kita tidak punya modal yang kuat dalam mengembangkan usaha.”Tapi saya kira Anda punya jaringan, itu juga modal yang sangat berharga,” jelasnya.
Jaringan itu, kata Gus Din, bisa didapat dengan cara silaturahim, seperti yang dilakukan Gus Din saat itu. Kebetulan, kami juga ada rubrik The Power Silaturahim dan rubrik Sambang Dulur. Dua rubrik ini diadakan untuk membudayakan silaturahim , lalu hasil silaturahim yang dilakukan crew Tugu Media Group (tugumalang.id dan tugujatim.id) ditulis, seperti tulisan ini.”Dahsyat memang silaturaim itu dampaknya,” kata pria yang juga tenaga ahli Wali Kota Malang Sutiaji itu.
Setelah sekitar dua jam kita ngobrol ngalor kidul, kita seperti dicuci otak oleh Gus Din. Ada banyak ide, ada banyak terobosan, dan ada banyak jaringan yang dibuka oleh Gus Din.”Wah ini harus kita eksekusi satu-satu, kalau gak begitu akan mengawang saja ide-ide ini,” kata saya sebelum Gus Din pamit.
Selang beberapa hari dari pertemuan itu, giliran kami yang silaturahim ke rumah Gus Din yang asri nan minimalis di daerah Joyogrand, Kota Malang. Lagi-lagi, Humanisme ditunjukan oleh pria yang merupakan murid dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.
Dia secara pribadi membuatkan kami kopi. Ya, selama ini, Gus Din memang juga pegiat pertanian, dan sangat suka kopi.”Ini ngopi semuakan,” kata Gus Din, yang tampaknya sedang berbasa-basi.
Pada pertemuan kedua itu, ditemani kopi yang rasanya begitu mantab, kami ngobrol ngalor kidul,. Kali ini, banyak bicara tentang COVID-19 yang semakin mengganas.”Kalau umur sudah kayak saya ini dan punya penyakit bawaan yakni jantung, harus hati-hati,” katanya.
Setelah panjang lebar membahas tentang COVID-19, Gus Din menyinggung soal ajaran Taoisme dari China. Salah satu inti dari ajaran ini adalah keseimbangan.”Yakni, orang jahat pasti ada sisi baiknya, dan orang baik, pasti ada sisi jahatnya,” katanya. Rupanya, dengan ajaran ini, kata Gus Din, China yang komunis, bisa menjadi negara hebat.”Mungkin karena keseimbangan tadi yang membuat mereka hebat,” katanya.
Setelah ngobrol ngalor ngidul, Gus Din kedatangan tamu dua orang pengusaha, yakni Suluh Wahyu Pambudi (owner Bimbel Ilhami) dan Ichank, pengusaha properti dengan jam terbang yang cukup panjang. Tidak lama berselang, kami pamit dari rumah Gus Din, karena sudah ada agenda lain.
Dari silaturahim bersama Gus Din ini, setidaknya kami bisa belajar soal humanisme, dan hal-hal kecil tentang kemanusiaan, yang itu berarti bagi orang lain.
*Penulis merupakan CEO Tugu Media Group