Tugumalang.id – Pengalaman buruk di masa kecil bisa menjadi pengalaman traumatis saat anak tumbuh dewasa. Keadaan ini biasa disebut inner child. Secara psikologis tidak mudah menghilangkan masa lalu yang buruk. Ia sering kali muncul saat sang anak mengalami hal yang serupa dengan apa yang terjadi di masa lalu.
Awal tahun kehidupan manusia biasanya terepresentasi dalam Inner child. Saat inner child mengalami luka yang dibiarkan atau tak segera disembuhkan, hal ini bisa menimbulkan perilaku atau perasaan negatif ketika dewasa.
Dr. Hamidah M.Si, dosen dari Departemen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga (Unair) mengatakan bahwa inner child yang traumatis akan terefleksikan perilaku dalam bentuk yang bermasalah.
“Yang bermasalah itu ketika inner child tidak menyenangkan. Karena yang menyenangkan tidak menimbulkan masalah pada cara berperilaku remaja akhir maupun dewasa,” kata Hamidah dikutip Basra partner Tugumalang.id, Rabu (7/4/2021).
Hamidah mengibaratkan inner child seperti bekas luka yang tergores kembali. Pengalaman buruk yang tidak terselesaikan akan tersimpan di alam bawah sadar sehingga terpanggil saat mengalami hal serupa.
Untuk mengatasi hal itu, seorang individu harus memiliki kemampuan untuk melawan, dan bagaimana cara individu tersebut menginterpretasikan sesuatu.
Jika individu menganggap hal paling sakit di masa lalu bukan sebuah kesakitan, maka hal itu akan menjadikan perasaannya lebih netral.
“Semua berpulang (kembali) pada cara memaknai stimulus. Sejelek apapun kalimat dan tindakan orang lain, kalau tidak diterjemahkan menyakiti maka tidak akan sakit untuk kita,” tuturnya.
Menurutnya, banyak yang tidak sadar bahwa perasaan yang dirasakan individu dari luka masa lalu muncul karena tidak diawasi secara intens. Di mana saat individu merasakan rasa sakit, ia cenderung berpura-pura kuat sebagai bentuk bahwa psikologisnya mengindikasi hal yang dialami menyakitkan.
“Luka secara tidak sadar ditimbun, kemudian ada trigger sedikit saja akan mencuat, yang seringkali tidak terkendali dan biasanya muncul dalam bentuk perilaku menyimpang,” ungkapnya.
Selanjutnya, individu dapat melakukan terapi trauma healing. Karena untuk luka lama dan berlarut-larut, diperlukan penanganan oleh ahli dan dukungan lingkungan sekitar.
Terlebih bagi individu yang merasa bahwa lukanya di masa lalu bisa mempengaruhi harga dirinya. Dalam kondisi trauma yang berlarut-larut, perlu profesional untuk membantu mengkomunikasikan sembari memberikan psikoedukasi pada lingkungan terdekat. Jika dalam konteks anak, lingkungan terdekat adalah orang tua.
“Jika yang menyampaikan profesional mungkin orang tua akan lebih percaya pada professional. Tetapi kalau yang menyampaikan anak kadang dikira mengada-ada,” jelasnya.
Sementara untuk penyembuhan secara mandiri, dalam hal ini tanpa bantuan dan pengawasan profesional, dapat berakibat pada efek samping yang lebih negatif.
Karena bisa saja apa yang dilakukan tidak berdasarkan prosedur ilmiah dan ada SOP yang tidak dilewati sehingga tidak menyembuhkan malah menimbulkan luka baru.
“Saat penyembuhan itu nanti muncul seperti luka yang kambuh dibedah lagi, jadi akan lebih sakit. Itu yang memerlukan bantuan dan pengawasan dari profesional dan tidak disarankan untuk menyembuhkan dirinya sendiri,” tutupnya.
Editor : Herlianto. A
Sumber Berita: Basra