MALANG,tugumalang.id – Narasi Polri soal kematian korban tragedi Kanjuruhan bukan karena gas air mata menyayat hati keluarga korban. Hal itulah yang membulatkan tekad Devi Athok mengajukan autopsi pada jenazah kedua anaknya. Langkah ini sebagai bentuk gerakan nyata ‘Usut Tuntas tragedi Kanjuruhan’.
Devi kehilangan kedua anaknya, yakni Naila D Angraini (14) dan Natasya D Ramadani (16) beserta mantan istrinya, yakni Debi Asta (35) dalam tragedi Kanjuruhan. Mereka meninggal di gate 13.
Pria 43 tahun yang tinggal di Kecamatan Bululawang, Malang itu telah kehilangan semangat hidupnya. Bagi Devi, sang putri adalah segalanya. Hatinya teriris-iris mendapati kondisi kematian putrinya. Dia tak percaya putrinya berpulang secepat itu dalam peristiwa kelam di Stadion Kanjuruhan.

Ketika mendengar narasi yang dibangun Polri soal kematian anaknya bukan karena gas air mata, Devi terpanggil melakukan gerakan nyata ‘Usut Tuntas’. Mengajukan permintaan autopsi untuk kedua putrinya pada 10 Oktober 2022.
“Anak saya Natasya meninggal dengan kondisi mulai dada sampai kepala membiru kehitaman, hidung keluar darah. Naila, mulai leher hingga kepala menghitam kebiruan, tak ada luka luka tapi hidungnya ke luar busa,” kata Devi ditemui di kediamannya pada Rabu (19/10/2022).
“Bahkan saya 7 hari gatal gatal karena mencium, memeluk dan menyedot hidung anak saya. Jadi saya mengajukan autopsi untuk mencari tahu penyebab kematian anak saya. Rumah sakit cuma mendata saja,” imbuhnya.
Niat autopsi itu dia sampaikan kepada kuasa hukum yang mendampinginya. Sepengetahuannya, niat itu kemudian disampaikan juga ke Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF). Devi juga meminta perlindungan dan pendampingan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Namun pada 11 Oktober 2022, dia mengaku mulai didatangi polisi di kediamannya. Bahkan dia harus pulang lebih cepat dan meninggalkan aktivitas pekerjaan menemui mereka. Beberapa hari selanjutnya, Devi terus didatangi aparat kepolisian. Bahkan hingga ada yang mengaku dari Mabes Polri.
“Mereka tanya tanya soal autopsi. Yang datang tak hanya satu, dua, tapi berombongan sampai berjejer di depan rumah. Ya keluarga saya ketakutan,” bebernya.
Saking banyaknya, beberapa aparat dia tolak ketika hendak meminta berkomunikasi dengannya. Pintu rumah dia tutup dan segera meninggalkan mereka yang masih ada di luar rumah.
Kala itu, tak satupun pihak mendampinginya. Mental kuasa hukum yang mendampinginya saat itupun ciut mendapat kabar atas apa yang dialami Devi. Pihak LPSK tak kunjung datang hingga hari ini. Pihak pihak lain yang dia mintai perlindungan juga tak bergerak nyata.
Puncaknya, pada 17 Oktober 2022, ketika tim Polda Jatim mendatangi rumahnya, perjuangan Devi dalam gerakan nyata ‘Usut Tuntas’ pun akhirnya runtuh. Dia menandatangani surat pembatalan autopsi kedua putrinya.
“Pembatalan autopsi itu saya sampaikan langsung kepada pihak Polda ketika mereka ke sini,” ucapnya.

Menurut Devi, keluarganya tak tenang atas kedatangan para polisi. Dengan alasan itulah Devi kemudian memutuskan mengurungkan niat autopsi.
“Saya mundur tembok, maju neraka, saya berani menerjang neraka itu. Kalau saya berani, tapi saya mikir keluarga. Masak sudah kehilangan 2 anak, keluarga saya sekarang tidak tenang. Jadi ya sudahlah,” tuturnya.
Devi kehilangan semangat hidup. Puluhan juta bantuan donasi yang dia terima sama sekali tak membuatnya tersenyum. Kini Devi hanya bisa mengenang chating WA terakhir dirinya dengan sang putri di ponsel.
“Buat apa santunan itu. Tak kembalikan Rp 500 juta, kembalikan anak saya. Tak ada artinya bantuan itu. Saya mencari uang untuk anak anak saya, tapi mereka sudah tak ada,” ungkapnya.
Sebenarnya Devi juga ingin menggelorakan semangat gerakan nyata ‘Usut Tuntas’ dengan autopsi itu. Jika para keluarga korban lain tergerak mengajukan autopsi, bukan tidak mungkin Devi akan kembali mengajukan autopsi lagi.
“Saya sebenarnya berharap 131 korban lain itu juga mengajukan autopsi. Kalau mereka bergerak, saya siap mengajukan lagi,” tandasnya.
Reporter: M Sholeh
editor: jatmiko