Kadang kala, saat pikiran mulai stuck, otak rasanya jadi bebal. Biasanya, ulasan beritaku jadi kacau balau. Belajar dari pengalaman, daripada memaksa diri menulis, kadang aku tinggal sekalian.
Biasanya, kuhabiskan waktu itu buat sambang ke para kolega, untuk sekedar ngopi dan rasan-rasan melepas penat. Setelah itu biasanya ngetik berita rasanya jadi lancar.
Nah, ada beberapa tempat yang pasti tak kunjungi di waktu-waktu ‘kritis’ itu. Salah satunya yang agak sering itu ke kawasan Embong Brantas. Di warung makan kecil sederhana, di seberang Rawon Tessy. Persis di kawasan bedak-bedak helm di sisi timur Stasiun Kota Baru Malang.
Di Warung Emak Sud namanya. Emak Sud ini ibu dari kolegaku, namanya Sugik. Aku mengenalnya waktu masih perantauan di Bali. Kenal dari kolega sekantor waktu masih kerja di koran Tribun Bali.
Waktu itu Cak Sugik mampir ke Bali untuk icip-icip berbagai macam rasa arak Bali yang memang beda-beda rasanya di tiap warung. Kayak masakan; ‘Beda tangan, beda rasa’. Pulangnya, dia langsung bawa 10 botol arak buat oleh-oleh temannya di kampung.

Singkat cerita, selain tempatnya yang enak, kadang aku banyak dapat cerita-cerita nyentrik yang nyaris tak pernah terpikir sedikitpun di benakku untuk melakukannya. Ada banyak ceritanya. Mulai cerita horor, cerita pilu bahkan sampai cerita fenomenal ekstrim pun ada.
Sahdan, selain warung, keluarga Cak Sugik ini juga punya usaha tambal ban, tepat di sebelahnya. Mungkin karena lokasinya yang strategis, akhirnya tempat ini seolah jadi meeting point-nya warga sekitar.
Hampir setiap orang yang lalu lalang disana selalu menyempatkan diri untuk cangkruk walau sebentar. Dari mulai tukang bakso, sopir gojek bahkan sampai seniman semua ada. Kadang ada juga yang hanya numpang merokok sambil minta kopi sak sruputan. Gak beli.
Selalu ada saja bahan perbincangan disini. Mulai dari kisah-kisah lawak, cerita horor bahkan sampai kejadian fenomenal di sekitar Embong Brantas. Bagi saya yang anak rumahan, cerita-cerita mereka itu cukup meneror alam bawah sadar saya.

Salah satu cerita unik itu terungkap pas pagi-pagi itu sekira hari Jumat (2/7/2021). Lagi enak-enaknya ngopi, datanglah seorang pria dengan dandanan sangar sekaligus nyentrik. Memakai kaos putih bertuliskan ‘Orang Tua’, bertopi pancing dan membawa tas selempang khas ala seniman lawas.
Pria berusia sekitar 50-an itu namanya Om Chandra. Ternyata dia memang salah satu seniman tulen kawakan di Malang. Seorang pelukis, ahli juga di bidang modifikasi motor, musisi rock dan pastinya Aremania sirag sarek (garis keras).
Baru kenal, Om Chandra memang sepertinya orang supel. Dia lantas memperlihatkan hasil-hasil karya mural 3D nya ke aku di galeri ponselnya. Tak hanya lukisan, dia juga memamerkan hasil sejumlah motor modifikasinya yang menyabet banyak juara dan masuk koran.
”Coro Arema biyen, yoiki Malangan nyel. Balapan, musik, bal-balan. Gak maen 3 iki biyen yo gak sangar Pak,” kata dia, haqqul yakin.
”Dolek wong iki rasane koyok dolenku kurang adoh, ngopiku kurang pahit, molehku kurang isuk. Dan ancen bener,” gumamku.
Di tengah guyonan santai itu, terungkap fakta bahwa Om Chandra juga ternyata adalah residivis yang baru bebas penjara 2019 lalu. Alasannya, lagi-lagi bagi saya mengguncangkan nalarku. Dia dipenjara karena memukuli aparat polisi sampai pingsan dan koma 2 hari.
Pikirku, manusia modelan apa lagi yang kutemui ini. Jika biasanya polisi yang menggebuki warga. Ini justru sebaliknya. Warga biasa, sipil balik menggebuk polisi. Mendengar ini, logikaku seolah dipapras habis. Tapi sedikit senang dan kagum juga, hehe.
”Beruntunglah para pemberani yang merayakan hidup, sehidup-hidupnya, dengan hal-hal brengsek sekalipun,” batin saya merasa iri.
Dia cerita kejadian itu terjadi saat laga Arema vs Persib Bandung sekitar tahun 2018. Entah gimana ceritanya, pokoknya Om Chandra ini terlibat cekcok dengan seorang polisi di sana. Tak sendiri, dia menghajar polisi itu hingga babak belur bersama adik dan ponakannya.
”Setelah itu aku yo mlayu (kabur), le. Mencar semua dan pulang. Ternyata, adikku ketangkap. Aku kaget moro dijemput polisi pas tidur di rumah,” kisahnya.
Sesampainya di kantor polisi, dia ditanya langsung sama sipir penjara. ”Kasus opo, kon?” tanya polisi. ”Nggepuki polisi, Pak” jawabnya. ”Gak mati wonge?” tanya polisi lagi. ”Koma pak sampek 2 dino,” jawab Chandra. ”Kok gak menisan mbok pateni ae,” kata polisinya santai.
Setelah itu, kata Chandra, dia langsung balik dipukuli dengan memakai balok kayu. Ditunjukkannya pula bekas luka pukulan balok kayu itu di kaki kanannya. Bukannya memyesal, Om Chandra malah bangga bisa mukuli polisi.
Secara sejarah, batasan jarak yang jelas antara Arek Malang -suporter- dengan polisi atau aparat sudah kentara sejak lama. Semua demi membebaskan identitas Aremania agar tidak ditunggangi kepentingan lain di luar sepak bola. Mungkin, jiwa-jiwa itu yang tertanam dalam diri pria usia 50-an itu.
”Arek malang yo kudu teges. Atasane tarung ae yo mesisan. Sekalian ambek wong gede ambek polisi, yokpo sangar ya? pikirku pas enom iki, jan ndlodok wis. Lek ndablek yo ndablek pisan, ojok nanggung,” ujar dia.
Akibat perbuatannya itu, Om Chandra akhkrnya dibui selama 1 tahun 4 bulan Menjalani hidup di penjara rupanya tidak dianggapnya jadi batasan. Chandra malah justru menemukan wahana kreativitas baru. Dia melukis mural tembok rutan dari belakang sampai depan.
Nah, bagi saya, Om Chandra bisa diidentifikasikan sebagai Wong Malangan Nyel. Setidaknya, menurut standar yang dipakai orang-orang yang saya kenal. Soal standar itu, aku pun banyak mendengar, menemui dan mengenal orang-orang Malang yang kurang ajar tapi tetap lawak dan tentu saja, patut ditiru.
Dari sini, saya belajar banyak hal. Belajar hidup, itu sederhana saja. Merayakan hidup, meski harus dengan cara brengsek sekalipun. Di Sugik Tambal Ban, aku belajar apa saja. Selamat pagi menjelang siang, semoga dilancarkan semua urusannya.