PAGI ITU tugas menulis artikel belum tergarap sama sekali. Dalam daftar wisata di Dau, Kabupaten Malang, tinggal Museum Zoologi di Jalan Mahameru yang belum kutulis. Akhirnya dengan segera kuarahkan sepeda motor menuju ke arah museum yang berada di kawasan Tidar, Kota Malang.
Usai memarkir kendaraan, tampak seorang wanita paruh baya berkemeja putih sedang membersihkan halaman depan sebuah gedung museum. Dari kejauhan ia menyapa hangat. Pagi hari di akhir bulan November 2022, suasana Museum Zoologi Frater M. Vianney Malang masih tampak lengang.
“Dari mana mas?” sapanya. “Tugumalang, Bu,” jawabku singkat sambil permisi ingin meliput suasana di dalam museum yang memiliki 12.000 koleksi satwa itu.
Begitu memasuki ruangan, saya disambut ratusan koleksi kerang dan hewan bercangkang yang tertata rapi di meja kaca. Di atas pintu, sebuah kepala banteng terpasang gagah. Dalam kondisi kagum, saya terkesima dengan awetan seekor harimau sumatera, Pantera Tigris.
Tantangan Mengawetkan Satwa dan Mahalnya Biaya Taksidermi
Berkas cahaya matahari menerobos celah-celah lemari membuat saya agak kesulitan mengabadikan beberapa koleksi karena pantulan cahaya. Sementara perempuan tadi telah selesai menyapu. Ia lalu duduk di meja sambil mendata berbagai jenis kerang untuk diletakkan di etalase.

Namanya Denise Resiamini Praptaningsih yang biasa dipanggil Denise. Ia telah lama mengabdi sebagai salah satu pengelola Museum Zoologi Malang. Guru SMAK Frateran Malang yang setahun lagi hendak pensiun ini lalu menjelaskan apa saja tantangan yang kini dihadapi museum.
“Jadi kendalanya itu dana. Dana dalam hal maintenance, perawatan. Jadi pengadaan terus tapi ndak bisa merawat ya susah,” tutur perempuan yang genap berusia 60 tahun ini.
Dari penjelasan Denise, ternyata jenis awetan yang umum digunakan museum dengan koleksi satwa mati ada dua jenis, yakni awetan basah dan kering. “Namanya Taksidermi mas, jadi kalua begini ini kan kering, disumbat pakai dakron. Kalau zaman dulu ya pakai sepat kelapa,” jelasnya.

Dengan berkembangnya zaman, para ilmuan pun menyadari bahwa sepat kurang baik digunakan sebagai bahan pengisi awetan satwa sehingga beralih ke dakron. Namun mahalnya harga dakron menjadi kendala tersendiri. “Nah dakron itu mahal,” sambung Denise.
Berikutnya adalah awetan basah. Guru Biologi ini lalu berkisah jika dulu, Museum Zoologi Malang menggunakan formalin sebagai bahan awetan basah. Namun banyaknya komentar negatif membuat mereka beralih ke bahan lain seperti alcohol dengan kadar 80%.
“Banyak yang komentar, nanti anak belum belajar malah kena bla.bla bla,” tutur Denise menirukan cibiran para pengunjung. Akhirnya pengelola museum pun mengajukan anggaran untuk menggunakan alkohol sebesar Rp 10 juta.
Penggunaan awetan basah memang dan perlu persiapan. Setidaknya, menurut Denise, cairan harus diganti setiap 3 tahun sekali. “Ya dibuangi semua dulu air yang lama, dikasih cuka, kemudian diangin-anginkan baru setelah dikasih alcohol,” jelas Denise.

Penggunaan larutan dan persiapan akhirnya juga berimbas ke dana. Denise mengungkapkan jika museum membutuhkan hingga Rp 5 juta per bulan. Minimnya biaya akhirnya memaksa para pengelola harus menekan biaya hingga Rp 2 juta .
Perempuan paruh baya ini lalu menceritakan bagaimana perjuangan dan besar biaya yang harus mereka keluarkan demi mendapatkan koleksi Harimau dan Singa. “Kami dapat harimau ini, tahun 2002. Itu sudah Rp 7 juta. D iatas juga ada singa,” tutur Denise.
Museum Zoologi memang memiliki satu awetan harimau di lantai satu dan singa di lantai dua. Kedua awetan itu masih tampak bagus walaupun kondisinya sudah tak sebagus koleksi museum lainnya.
Setelah mendapat koleksi harimau, museum akhirnya mendapat koleksi singa yang hampir mati dari Kebun Binatang Gembira Loka. Hewan ini lalu didapatkan setelah sempat dipindahkan ke kebun binatang Wonokromo. “Ya kami ikut ngongkosi mas, dari Gembira Loka ke Surabaya, yang mahal ya biaya taksiderminya,” tambah Denise.
Lemur Terbang: Satwa Langka yang Jadi Koleksi
Museum Zoologi Frater Malang memang unik. Beda dengan museum lain di Kota Malang dan Batu yang biasanya berisikan peninggalan sejarah kerajaan atau tinggalan zaman penjajahan.
Pembicaraan dengan Denise terjeda sejenak saat saya meminta izin untuk mencatat apa saja koleksi yang ada di museum. Denise pun mengajak untuk berkeliling ke lantai dua.
Begitu masuk ke ruangan tersebut, saya terkagum dengan banyaknya koleksi hewan langka yang telah diawetkan dengan baik. Di pojok kanan terdapat penyu hijau (Chelonia mydas) yang ditata rapi dengan penyu jenis lainnya.
Di dinding, terdapat dua kotak kayu besar yang berisi puluhan kumbang tanduk. Belum lagi iguana dan biawak dalam awetan cair. Di tengah aula, terdapat belasan toples kaca yang berisi beragam jenis ular. Mulai dari python hingga kobra. Menakjubkan.
Awetan kering di sudut lain pun tak kalah menarik perhatian. Ada trenggiling, tupai, burung cendrawasih, hingga tengkorak buaya, kijang dan burung berparuh besar asal Kalimantan.
Satu lagi yang menarik adalah koleksi hewan berkaki empat, namun memilih sayap. “Itu lemur jawa mas, jarang ada yang punya,” kata Denise. Saya sekilas membayangkan tokoh momo yang ada dalam kartun Avatar.
Lemur atau Kubung juga dikenal dengan nama Kubung sunda (Sunda Flying Lemur), Malayan Flying Lemur atau Sunda Colugo. Satwa ini masih berkerabat dengan kubung filipina (Cynocephalus volans) dan menjadi bagian dari keluarga Cynocephalidae.

Lemur sendiri memang dikenal sebagai hewan yang hidup di atas pohon dan makan tumbuhan lunak seperti tunas, bunga, dan buah-buahan. Oleh karena itu, hewan ini memiliki kemampuan meluncur dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah dengan sangat indah berkat selaput dari kaki depan hingga kaki belakang.
Mirip dengan pakaian olahraga ekstrim wingsuit flying yang biasa menggunakan pakaian khusus untuk bisa terbang di udara. Pakaian khusus ini disebut jumpsuit, memiliki sayap di bagian lengan dan memanjang hingga selangkang penerjun.
Hewan yang aktif di malam hari ini masih dapat ditemukan di hutan hujan tropis di dataran rendah hingga ketinggian 1.000 Mdpl. Dengan kemampuan adaptifnya, tak heran Lemur masih bisa ditemukan di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Di Jawa, spesies ini ada di Cagar Alam Pangandaran, Hutan Kemuning Temanggung dan Taman Nasional Meru Betiri.
Satwa ini termasuk kategori hewan ini dilindungi. Pemerintah pun memiliki regulasi melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Karena populasinya stabil di alam, badan perlindungan satwa internasional atau IUCN masih memasukkan kubung sunda dalam kategori kategori risiko Rendah. Namun, kerusakan habitat dan perburuan mengancam keberlangsungan hidup kubung sunda.
Jasa Para Frater di Museum Zoologi Malang
Museum Zoologi Malang didirikan pada tahun 1998 dan awalnya hanya diperuntukkan untuk sekolah yang dibawah naungan Yayasan Mardi Wiyata. Namun, karena banyaknya masukan, akhirnya museum ini diperuntukkan untuk umum pada tahun 2004 dan diresmikan langsung oleh Dirjen Konservasi Keanekaragaman Hayati Departemen Kehutanan.

Museum yang berlokasi di tepi perkebunan jeruk dan memiliki bangunan dua lantai didirikan dengan peran penting dari Freter M. Clemens, BHK. Semua spesies yang dipamerkan di museum ini adalah hasil jerih payah Clemens dalam mengumpulkan ribuan awetan satwa mulai dari kerang hingga berbagai spesies mamalia.
Freter M. Clemens adalah seorang pria asal Flores yang sangat mencintai alam dan ilmu pengetahuan, ia juga dikenal sebagai ahli ular. Bersama gurunya, Freter M. Vianney, yang juga seorang ahli ular, Clemens merintis museum ini. Namun, Frater Clemens, pendiri museum yang juga menjadi biarawan Bunda Hati Kudus, meninggal pada bulan Februari 2022.
Penulis: Imam A. Hanifah
Editor: jatmiko