Oleh: Mila Arinda*
Waktu menunjukan pukul 06.00 WIB, matahari mulai menampakkan sinarnya. Semua orang bergegas merapikan pakaiannya untuk segera menuju ke tempat kerja masing-masing. Begitupun denganku, ponsel mulai ku genggam, kening mulai mengerut, jempol tak henti bergerak mencari isu apa yang sedang ramai menjadi perbincangan saat ini.
Aku lupa, saat itu aku juga telah membuat janji dengan rekan seprofesi untuk melakukan liputan bersama. Segera aku menghubunginya, namun rupanya rekanku sudah menuju lokasi. Kalang kabut, aku mengambil handuk lalu segera menyelesaikan keperluan bersih-bersih serta dandan sebelum berangkat. Semua bisa ku kerjakan dengan cepat mulai dari mempersiapkan alat tempur untuk liputan hingga perlengkapan ibadah yang menjadi kewajiban untuk masuk ke dalam jok motorku. Tak lupa ku kalungkan kartu kebanggaan jurnalis milikku.

Tak disangka, setelah semua siap namun tidak dengan kuda besiku. Kali ini tak bisa diajak kompromi, motorku mogok tak mau nyala sedikitpun. Akhirnya terpaksa dibawa ke bengkel dan membatalkan liputan pagiku. Untuk menunggu waktunya aku lupa harus menyelesaikan satu tugas presensi setiap pagi. Setelah satu jam lamanya, motor orange kesayanganku sudah kembali sehat. Waktu menunjukkan pukul 10.30, tepat Selasa 15 Juni 2021, panas terik matahari menyengat, seperti semangatku yang membara tancap gas untuk segera sampai tepat waktu.
Satu jam perjalananku hingga menuju perbatasan Kota Bojonegoro, disitulah aku bertemu dengan kedua rekanku untuk menuju ke sebuah rumah di Desa Sukowati Kecamatan Kapas Bojonegoro. Sesampanya di lokasi, kami disambut senyuman hangat wanita berparas ayu berkerudung kuning. Kami bertiga duduk di ruangtamu rumahnya. Ibu Nurdiana, panggilan akrab wanita itu, ia adalah seorang pengusaha keripik gedebog pisang.
Dan benar saja, kami pun disuguhi hasil olahan keripik gedebog pisang miliknya. Awalnya ragu, namun aku penasaran dengan rasanya. Setelah gigitan pertama memang seperti keripik pada umumnya yang mempunyai tekstur kriuk dan rasa yang gurih. Namun setelah sampai gigitan terakhir baru terasa serat dari gedebog itu.
Panjang lebar Nurdiana menceritakan usahanya hingga bisa di ekspor ke Malaysia. Rupanya Nurdiana juga seorang guru di sebuah SD yang dekat dengan rumahnya. Tadinya aku yang biasa-biasa saja jadi sedikit gugup sebab menghadap seorang guru yang kuanggap memiliki jasa luar biasa.
Ibu satu anak itu juga bercerita bagaimana ia merintis usaha gedebog pisannya itu bersama dengan para tetangga agar bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru. Wanita lulusan salah satu universitas di Jember ini juga telah mengikuti beberapa grup UMKM di Bojonegoro untuk bisa belajar lebih banyak dalam mengembangkan usahanya. Rupanya, wanita satu anak ini juga mahir berbahasa inggris, ia tak segan menunjukan kemahirannya itu dengan bercakap bersama rekanku yang juga mahasiswi sastra inggris.
Setelah hampir lebih dari 2 jam lamanya kami berbincang, saatnya pamit untuk menuju lokasi lainnya. Namun rupanya alam belum merestui kami untuk beranjak dari depan keripik gedebok yang diletakkan di atas nampan bersama camilan laninnya. Hujan deras mengguyur dan juga membasahi motor kami yang terparkir di depan rumah Nurdiana. Untuk menunggu hujan reda, aku memancingnya agar bercerita perihal foto yang dipajang di tembok rumahnya.
“Itu dulu saya waktu menari Thengul bersama guru-guru yang lainnya,” sahut Nurdiana.
Hingga saat ini Nurdiana mengaku masih mengingat bagaimana lenggak lenggok menarikan Tari Thengul khas Bojonegoro itu. Dirumahnya, wanita single parent itu hanya tinggal berdua dengan anak perempuannya. Cerita terus berlanjut hingga ia menyeletuk dirinya juga merangkap menjadi ketua rukun tetangga (RT) di desanya.
Aku yang mendengarkan ceritanya merasa terkagum, dengan tekat dan niatnya yang pantang menyerah, Nurdiana mampu menjalani kehidupannya dengan enjoy dan semangat tanpa mengucapkan keluhan sedikitpun saat berbincang dengan kami.
*Penulis adalah wartawan Tugu Jatim ID