Oleh: Muhammad Hilal*
Tugumalang.id – Latar film A Taxi Driver adalah Pergerakan Demokrasi Gwangju tahun 1980 di Korea Selatan yang terkenal itu. Inilah salah satu alasan kenapa film ini sangat bagus.
Gwangju tahun 1980 adalah kisah tragedi kemanusiaan. Para mahasiswa dari Universitas Negeri Chonnam, bersama-sama masyarakat, turun ke jalan menyampaikan protes. Aksi damai ini terjadi menyusul kudeta militer 12 Desember 1979 yang menaikkan Jenderal Chun Do-hwan ke tampuk kekuasaan.
Dekade 60 hingga 90-an memang masa-masa suram dalam politik Korsel. Meski saat itu industri sedang tumbuh bagus, namun era itu ditandai dengan kediktatoran militer yang disokong kekuatan adi daya luar negeri.
Baru belakangan ini, tepatnya sejak 1995, masyarakat sipil berhasil naik ke puncak kekuasaan politik Korsel. Keadaan itu terus terlihat hingga saat ini.
Baca Juga: A Hero: Sosok Pahlawan di Era Masyarakat Baru
Upaya agar peralihan kekuasaan yang demokratis bisa berjalan di Korsel sudah disuarakan oleh rakyatnya. Upaya itu malah memakan korban kemanusiaan. Tragedi itu dikenal sebagai Gwangju Massacre dan film ini menceritakannya dengan apik.
Kelihaian film ini adalah sudut pandangnya. Seperti terlihat dari judulnya, film ini mengisahkan upaya penegakan demokrasi itu dari sudut pandang seorang sopir taksi.
Wong Alit Nyetir Taksi
Andai alur ceritanya hanya berkisar pada aksi demonstrasi saja dari awal hingga bentrok dengan tentara, tentu ini akan jadi film membosankan tanpa sentuhan kemanusiaan yang kuat. Kelihaian sutradaranya adalah mengangkatnya dari sudut pandang manusia biasa, wong alit yang sedang mencari nafkah dengan menyetir taksi.
Sopir taksi itu, Kim Man-seob (Song Kang-ho), berasal dari Seoul, ibukota Korsel. Dia sedang berjuang sebagai orang tua tunggal, merawat anaknya yang berusia 11 tahun.
Demi mendapat tambahan uang, Man-seob nekat mengantar seorang Jerman ke Gwangju, padahal kemampuan bahasa Inggrisnya buruk sekali. Tapi dia tidak peduli. Di pikirannya yang penting dapat duit tambahan agar dapat bayar kontrakan rumahnya yang lama mangkrak. Juga agar bisa beli sepatu baru buat anaknya.
Baca Juga: Musim Membara: Mengenang Kembali Chico Mendes
Dia tidak tahu bahwa Gwangju sedang bergolak. Saat itu, segala berita nasional tentang Gwangju ditutup-tutupi oleh pemerintah. Masyarakat di luar Gwangju tidak tahu apa yang sedang terjadi di sana.
Man-seob juga tidak tahu bahwa orang Jerman itu, Jügen Hinzpeter (Thomas Kretschmann), sebenarnya adalah wartawan yang mau meliput pergolakan di Gwangju. Tindakan itu tentu mengandung risiko besar. Tapi tidak ada yang lebih berharga bagi wartawan selain berita yang punya dampak besar.
Dengan riang gembira Man-seob mengantar Hinzpeter ke Gwangju yang jaraknya sekitar 269 km dari Seoul, kurang lebih seperti jarak Malang ke Magetan. Mula-mula perjalanan lancar saja melalui jalan tol. Tapi ternyata jalan raya menuju kota Gwangju ditutup, dijaga oleh tentara yang melarang siapapun melintasinya.
Pada mulanya Sam-seob mengajak Hinzpeter kembali ke Seoul. “Gwangju… danger…” katanya dalam bahasa Inggris yang buruk. Tapi bule itu bersikeras minta diantar ke Gwangju. Tidak ke Gwangju, tidak ada uang, ancamnya kepada Sam-seob.
Terpaksa Man-seob mencari jalan masuk alternatif, melewati perkampungan yang jalannya belum diaspal. Meski jalur itu juga dijaga tentara, namun dengan trik receh akhirnya Sam-seob berhasil melewati penjagaan itu.
Memasuki Gwangju yang bagai kota mati, Sam-seob dan Hinzpeter bertemu beberapa orang hari itu. Mereka bertemu Gu Jae-sik, mahasiswa yang mahir bahasa Inggris. Mereka juga bertemu sekumpulan sopir taksi lokal Gwangju, di antaranya Hwang Tae-sool yang baik hati.
Demonstrasi Besar-Besaran
Inilah awal Sam-seob, si sopir taksi dari Seoul itu, terlibat dalam peristiwa besar di Gwangju. Dia menyaksikan demonstrasi besar-besaran masyarakat di depan Gedung Pemprov Jeolla Selatan, juga aksi brutal tentara Korsel yang melempar puluhan gas air mata dan menggebuki para demonstran tanpa ampun.
Sam-seob terperanjat menyaksikan pemandangan itu. Situasi di Gwangju selama ini sama sekali tidak disiarkan televisi, juga tidak ada koran yang meliputnya. Kenapa pula dia bisa ada di situ?
Sam-seob juga menyaksikan upaya para supir taksi lokal membantu para demonstran. Mereka mengangkut orang-orang yang terluka ke rumah sakit. Dalam sejarah pergerakan demokrasi di Gwangju itu, para sopir taksi memang disebut-sebut turut berkontribusi.
Pemandangan yang disaksikan oleh Sam-seob itu berdasarkan fakta sejarah. Peristiwa demonstrasi dan aksi brutal tentara di Gwangju itu terjadi tanggal 18 Mei 1980.
Apakah Sam-seob turut membantu seperti para supir lokal di situ? Tidak. Sam-seob datang ke Gwangju bukan untuk itu. Kepentingannya di situ hanyalah mengantar Hinzpeter si wartawan Jerman dan mendapatkan uang bayaran, demi bisa bayar kontrakan rumah dan beli sepatu baru buat anaknya. Selain itu bukanlah urusannya. Peduli setan dengan demokrasi! Peduli setan dengan otoritarianisme!
Esok harinya dia berupaya pulang ke Seoul, meninggalkan Hinzpeter dan kota Gwangju yang keras kepala. Di luar kota Gwangju, dia berhenti di sebuah pasar, membeli sepatu warna jingga yang cantik untuk anaknya.
Di Sebuah Warung Makan
Dia masuk ke sebuah warung dan pesan makanan. Sebelum makanannya disajikan, dia membaca koran lokal. Matanya tertumbuk pada berita utama yang mengatakan bahwa terjadi kerusuhan di Gwangju karena provokasi mahasiswa dan warga.
Dia makan dengan nurani yang terasa ditikam. Dia tahu betul bahwa berita itu lancung. Mahasiswa dan warga Gwangju tidak bersalah. Sam-seob menyantap makanannya dengan ekspresi tidak sedap.
Kenyataan itu membuat Sam-seob kembali ke Gwangju. Nuraninya tidak siap meninggalkan orang-orang yang dikenalnya di Gwangju.
Sekembalinya ke Gwangju, terjadilah peristiwa besar itu. Sekitar 10.000 orang berkumpul di depan gedung Pemprov Jeolla Selatan, melakukan aksi damai menyampaikan aspirasi. Namun pemerintah setempat sudah kalap. Mereka mengizinkan para tentara membubarkan para demonstran dengan paksa, bahkan dengan kekerasan dan senjata api. Banyak para demostran tergeletak di jalanan. Sebagian terluka, sebagian lagi meninggal.
Peristiwa tragedis ini juga berbasis fakta. Sejarah mencatat bahwa hal itu terjadi pada 20 Mei 1980.
Sam-seob dan Hinzpeter menyaksikan pemandangan itu dengan hati hancur. Hinzpeter memvideokan peristiwa itu sambil meneteskan air mata.
Para sopir taksi lagi-lagi beraksi. Mereka berupaya mengangkut para korban ke rumah sakit, meski risikonya mobil mereka ditembaki tentara pula. Kali ini Sam-seob tidak tinggal diam. Dia turut pula berupaya mengangkut para korban keganasan tentara.
Di tengah tangis keluarga korban di rumah sakit itu, para sopir taksi lokal mendesak Sam-seob dan Hinzpeter agar segera pergi dari Gwangju. Rekaman video peristiwa Gwangju itu harus disebarkan kepada dunia, demi masa depan Korsel.
Dengan susah payah, Sam-seob membawa pergi Hinzpeter ke Seoul agar bisa terbang ke luar negeri. Aksi itu diselingi kejar-kejaran mobil karena pihak tentara tidak mau membiarkan mereka berdua keluar Gwangju. Tapi berkat bantuan para sopir taksi lokal Gwangju, mereka berdua berhasil juga ke Seoul.
Selama bersama Sam-seob, Hinzpeter tidak tahu siapa namanya. Hinzpeter meminta Sam-seob menuliskan nama dan nomor teleponnya agar kelak bisa menghubunginya kalau dia kembali ke Korsel. Sam-seob menuliskan nama dan nomor telepon palsu.
Bertahun-tahun kemudian, setelah Korsel memasuki zaman baru, Hinzpeter kembali ke Korsel. Dia mencari-cari sopir taksi yang dulu sangat berjasa itu, namun tidak berhasil menemukannya. Bahkan hingga akhir hayatnya pada 2016, sopir taksi itu belum pernah ditemuinya lagi.
Biodata Film
Judul: A Taxi Driver
Sutradara: Jang Hoon
Pemain: Song Kang-hoo, Thomas Kretschmann, Yoo Hae-jin, Ryu Jun-yeol, Park Hyuk-kwon, Choi Gwi-hwa
Produksi: The Lamp
Rilis: 2 Agustus 2017
Durasi: 137 menit
*Muhammad Hilal, dosen IAI Al Qolam dan pengampu kajian filsafat di STF Al Farabi Kepanjen.

Editor: Herlianto. A