Frida Kusumastuti*
Suatu waktu secara bertubi-tubi mampir di layar telepon seluler saya, video yang menayangkan seorang bocah asyik merokok. Dilihat dari caranya merokok, nampak sangat mahir dan sudah terbiasa dengan perilaku merokok. Bahkan nampak seperti cara orang dewasa cara merokoknya. Pembuat konten juga menyempatkan wawancara dengan bocah tersebut. Seolah berdialog dengan orang dewasa, menanyakan kebiasaan merokok tersebut. Pembuat konten nampak mempromosikan kebiasaan bocah tersebut sebagai “kebanggaan” sekaligus “bahan lelucon”.
Kesan sebagai “kebanggaan” saya intepretasi dari cara wawancara yang memosisikan sang bocah seolah “publik figur” yang layak didengarkan pengalamannya. Sementara kesan “bahan lelucon” saya intepretasidari pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya layaknya ditanyakan pada orang dewasa, seputar perasaan cinta bocah pada perempuan dan juga akhir video yang memperdengarkan tawa sang pembuat konten atau bisa juga suara tawa orang lain yang bersama dengan pembuat konten.
Tidak hanya itu, bahkan ada akun di media sosial yang khusus mengunggah foto dan video bocah yang merorokok! Rentang usia bocah yang merokok diunggah berkisar dari 2.5 tahun hingga 10 tahunan. Tidak ada keterangan apapun tentang akun tersebut, seperti deskripsi akun, misalnya. Begitu juga setiap postingan tidak memberi penjelasan apapun tentang foto atau video yang diunggah.
Fakta anak yang merokok memang tidak bisa dipungkiri. Beberapa penelitian mengungkap perokok remaja kebanyakan mengaku mulai kecanduan sejak usia 13 tahun. Hal tersebut tentu saja tidak tiba-tiba kecanduan. Melainkan ada proses sejak masa kanak-kanak mulai mengenal atau bersentuhan dengan rokok. Mula-mula bisa jadi melihat orang dewasa merokok di sekitarnya, atau bahkan orang-orang dewasa yang “iseng” memberi atau mengajaknya mencicipi rokok.
Anak-anak yang merokok dan perokok remaja menjadi keprihatinan penulis karena dampak negatif rokok yang mengandung zat-zat aditif. Laporan Fakta Tembakau Indonesia 2020 mencatat bahwa kandungan asap rokok sendiri terdiri dari 7.000 bahan kimia, di antaranya nikotin dan 69 zat karsinogenik (racun penyebab berbagai penyakit kanker). Sampai saat ini, lebih dari 70.000 artikel ilmiah menunjukkan hubungan merokok dengan berbagai penyakit.
Iklan Rokok dan Anak-Anak
Fakta perilaku di masyarakat tersebut dipertegas dengan konten-konten iklan, promosi, dan sponsor (IPS) produk rokok yang menarget sasaran remaja. Meskipun industri rokok besar akan mengelak bahwa target IPS mereka anak-anak, melainkan orang-orang dewasa, namun sebuah dokumen internal industri rokok terungkap bahwa anak-anak adalah target IPS produk tembakau mereka (Laporan Fakta Tembakau Indonesia 2020).
Masih mengutip laporan Fakta Tembakau Indonesia 2020 yang diterbitkan oleh Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), hasil penelitian yang dilakukan oleh Campaign for Tobacco Free Kids (CTFK) pada tahun 2018 di 23 negara, termasuk Indonesia menunjukkan bahwa industri rokok menargetkan anak-anak dengan memasang iklan dan promosi produk rokok di lingkungan sekitar sekolah.
Yayasan Lentera Anak, yang menjadi bagian dari studi tersebut melakukan pemantauan IPS produk tembakau terhadap 360 sekolah pada tahun 2015 yang hasilnya adalah 85% sekolah di 5 kota yang dipantau dikelilingi oleh iklan rokok, sementara ditemukan 30 merek rokok di sekitar sekolah. Banyak pejuang pengendalian tembakau yang menyoal IPS ini. Baik menggunakan jaur advolasi, maupun pendidikan pada masyarakat dan kampanye-kampanye. Namun, langkah ini masih belum selesai!
Upaya pengendalian tembakau akan semakin berat di era digital ini. Seperti di awal tulisan saya gambarkan, fenomena para netizen yang kini sangat mudah memproduksi konten-konten digital perlu juga diperhatikan. Literasi digital terkait partisipasi membuat dan mengunggah konten-konten yang bermakna dan positif perlu lebih gencar. Juga literasi digital etis serta hak digital dan keamanan digital konten anak-anak juga harus menjadi materi yang mendukung gerakan pengendalian tembakau.