Malang, Tugumalang.id – Salah satu tim Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang atau UMM berhasil mendapatkan pendanaan Kemendikbudristek dalam program penelitian magister.
Tim ini terdiri dari mahasiswa Magister Sosiologi atas nama Heni Agung Wibowo serta dosen pembimbing Prof Dr. Vina Salviana D.S. dan Prof Dr. Gonda Yumitro. Riset ini juga mengantarkan Heni Agung Wibowo menjadi lulusan tercepat dengan predikat cumlaude dan Indeks Prestasi 3,97.
“Tema riset ini diawali dengan rasa keingintahuan akan kemampuan modal sosial eks nara pidana teroris atau napiter dalam membantu mereka untuk reintegrasi ke masyarakat, khususnya eks napiter di Jawa Timur,” ujar Heni Agung Wibowo
Ia menjelaskan, beberapa fakta menunjukkan adanya kesulitan sehingga eks napiter membutuhkan waktu lama untuk bisa diterima kembali masyarakat sekitar.
Kerja sama yang dibutuhkan eks napiter agar bisa diterima di masyarakat adalah keterbukaan perilaku dan kontribusi mereka bagi masyarakat dan negara. Baik secara politik, budaya, pendidikan, ekonomi, atau informasi gerakan terorisme dan jaringan sosial kelompok radikal dan terorisme di Indonesia.
“Atau dunia kepada pemerintah agar memudahkan mereka mengatasi terorisme dan radikalisme di negara ini,” jelasnya.
Dalam teori Robert Putnam, tentang modal sosial memaparkan adanya pemberian sumbangsih kepada tindakan yang bersifat kolektif dengan meningkatkan biaya potensial bagi penghianat politik, mendorong diperkuatnya norma-norma resiprositas, memfasilitasi aliran informasi, memasukkan informasi tentang reputasi para aktor, memasukkan keberhasilan upaya kolaborasi di masa lalu, serta bertindak sebagai cetak biru dalam kerja sama di masa yang akan datang, tujuan memberikan dampak baik bagi keberlangsungan suatu sistem sosial.
Harapannya, modal sosial yang dimiliki para mantan teroris ini, dapat dijadikan sebagai bentuk modal kerja sama dalam menangani masalah-masalah terorisme yang sampai detik ini masih belum selesai. Baik berupa modal kepercayaan, jaringan-jaringanya, norma-norma, budayanya, dan politik, yang semua itu akan sangat bermanfaat dalam membangun sebuah negara yang damai dan meminimalisir terjadinya ekstrimisme dan pemberontakan. Khususnya, di Jawa Timur.
Prof Dr. Vina Salviana D.S. menambahkan, bahwa penting memahami kehidupan eks narapidana teroris sebagai individu yang mengalami perubahan pola berpikir akibat pengaruh lingkungan atau kelompok sekitar. “Akan membuat kita lebih bijaksana dan memahami alasan-alasan mereka menjadi teroris,” ungkapnya.
Modal sosial yang dimiliki eks narapidana teroris dalam program deradikalisasi ini ada tiga, yaitu kepercayaan, jaringan, dan norma yang dapat membantu mereka agar bisa menjadi bagian dari masyarakat dan membantu pemerintah menyelesaikan masalah terorisme di negeri ini.
Baca Juga: Panen Raya Perdana, KTN Turen Diharapkan Bisa Sejahterakan Eks Napiter
Modal sosial kepercayaan eks narapidana teroris ini dilihat dari perubahan keyakinan mereka selama bergabung dengan kelompok teroris, karena terlihat mereka mengalami perang batin. Akan tetapi, lingkungan yang tidak bisa dihindari akhirnya mereka terjerumus lebih dalam dan tidak bisa keluar.
Kondisi yang lain adalah perubahan keyakinan mereka ketika menjalani masa hukuman dan bertemu serta bertukar pikiran dengan orang-orang yang ada di lapas.
Kesadaran itu lahir, karena merasakan agama Islam yang diikuti pada waktu itu menjadi semakin sempit ruang lingkupnya. Padahal apa yang mereka yakini waktu itu adalah sebagai bagian dari perintah agama yang harus dijalani dan dilakukan secara kaffah.
Perjalanan hidup eks napiter dalam keyakinan akhirnya runtuh dan kembali pada jalan yang benar dan berikrar NKRI sebagai bukti, mereka sudah tidak lagi menjadi bagian dari kelompok teroris.
Modal sosial jaringan eks narapidana teroris yang terlihat dari hubungan yang terjalin antara eks napiter baik itu dari mantan anggota JI, JAD atau ISIS dan kelompok teroris lainnya.
Modal sosial satu ini juga bisa dilihat dari yayasan esk napiter yang sudah terbentuk di beberapa daerah serta diawasi oleh BNPT dan Densus. Tujuan yayasan ini untuk mengakomodir aksi mereka dan kemampuan mereka, agar bisa tersalurkan pada hal yang positif, terutama dapat mengangkat ekonomi mereka dan keluarganya.
Putnam menjelaskan bahwa modal sosial sebagai sifat-sifat organisasi sosial yang terdiri dari kepercayaan, norma-norma dan jaringan dapat memperbaiki efisiensi masyarakat. Sehingga dalam tindakan mewujudkan kebermanfaatan dan membawa dampak positif yang signifikan karena terkoordinasi dengan baik bagi kehidupan sosial.
Kembalinya mantan teroris pada NKRI dan bergabungnya mantan teroris dengan NKRI, juga yayasan-yayasan anti terorisme ini merupakan bagian dari usaha mereka menjadi baik.
“Dan harapan mereka untuk bisa kembali bersama-sama memerangi kelompok radikal dan bahaya terorisme,” imbuhnya.
Baca Juga: Gandeng BNPT, Kemenparekraf Ajak Masyarakat dan Eks Napi Teroris Kembangkan Pariwisata di Daerah
Kebermanfaatan yang dicita-citakan adalah dengan mewujudkan negara Indonesia ini menjadi bersih dari ideologi-ideologi radikal dan kelompok-kelompok ekstrimis yang menginginkan kemerdekaannya sendiri dan memerangi kedaulatan NKRI.
Implementasi dari modal sosial yang dimiliki eks narapidana teroris dalam program deradikalisasi di Jawa Timur terlihat dari aktivitas eks napiter mengikuti acara-acara kenegaraan.
Misalnya, HUT kemerdekaan RI, Seminar kebangsaan, FGD (Focus Group Discussion) tentang terorisme, radikalisme, dan deradikalisasi, membuat komunitas mantan teroris dibawah pengawasan pemerintah atau Polri, bergabung dengan AIDA (Aliansi Indonesia Damai), membuat komunitas-komunitas kecil dari mahasiswa yang berkolaborasi dengan mantan teroris untuk mengidentifikasi indikator-indikator kelompok radikal dan lain-lainnya.
Kegiatan-kegiatan yang diikuti mantan teroris ini menjadi bukti bahwa mereka tidak hanya diam dan apatis terhadap masalah-masalah terorisme, melainkan eks napiter juga bergerak lebih sistematis dan strategis dalam mengantisipasi gerakan-gerakan terorisme.
Implementasi terkait aspek kepercayaan, jaringan, dan norma bisa terlihat dari perubahan perilaku eks napiter yang berani berikrar NKRI dan membangun jaringan baru dengan eks napiter lainnya dalam sebuah yayasan sebagai bentuk rasa menjunjung tinggi persaudaraan dan keluarga, agar kebermanfaatan itu tidak hanya dirasakan kelompok eks napiter semata, melainkan juga orang banyak dan pemerintahan sebagai satuan sistem yang berada di negara ini.
Jaringan antar eks napiter sangat berpengaruh bagi lingkunganya. Terutama bagi eks napiter yang mengalami kesulitan ekonomi dan kesulitan administrasi. Seperti ada eks napiter yang dipenjara di Turki selama 6 tahun dan tidak bisa pulang ke Indonesia, dikarenakan semua identitasnya sebelum bertaubat sudah mereka bakar dan dihilangkan dengan sengaja.
Akhirnya, dengan jaringan yang dimiliki oleh beberapa eks napiter di YLP Lamongan, maka satu bulan setelahnya mereka berdua bisa kembali lagi ke Indonesia dan keluarganya dengan selamat.
Kemudian, modal sosial eks narapidana teroris yang ketiga adalah norma yang merupakan hasil dari kebiasaan dan disepakati secara bersama oleh eks napiter, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Norma yang terbangun pada eks narapidana teroris adalah rasa kekeluargaan atau menjunjung tinggi persaudaraan sebagai bagian dari rasa memiliki dan menghargai sesama umat Islam.
Norma terbangun dari kesepakatan bersama para eks napiter yang dipertemukan oleh ideologi yang sama sebagai umat Islam.
Implementasi selanjutnya pada aspek norma yang dimiliki eks napiter diwujudkan dengan keterlibatan seluruh eks napiter dan pemerintah yang terus melakukan pengawasan melalui yayasan mantan teroris dan lingkungan sekitar.
Norma yang terbentuk ini dimulai dari lingkungan internal terlebih dahulu, sebagai wujud dari kekeluargaan yang sama-sama mengalami diskriminasi label sebagai eks napiter.
Selanjutnya, norma tersebut juga dilakukan oleh pemerintah baik Polri atau BNPT atau Densus yang melakukan pengawasan selama mereka berada di yayasan atau di lingkungan masyarakat.
Pemerintah juga memiliki tanggung jawab moral sebagai aparat yang menjaga keamanan dan ketertiban negara, ketika eks napiter yang sudah hijau dan keluar dari penjara telah menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak melakukan pelanggaran atau tindak pidana terorisme dalam segi apapun.
Maka, baik pemerintah seperti polri atau polsek juga akan memberikan kemudahan bagi eks napiter yang meminta bantuan baik pembuatan KTP, SKCK, Surat Kehilangan, dan administrasi-administrasi negara lainnya.
Proses implementasi modal sosial yang dimiliki eks napiter berupa kepercayaan, jaringan, dan norma ini ketika dikolaborasikan dengan pemerintah, BNPT, Densus, atau Polri akan mendapatkan perhatian yang lebih mudah karena bagian dari pencegahan dan penanganan terorisme dan radikalisme.
Masalah eks napiter hari ini adalah dari proses reintegrasi yang mereka lakukan dengan masyarakat sekitar yang harus secara pelan-pelan.
“Artinya, tidak semua masyarakat bisa menerima kembalinya eks napiter dalam lingkungan sosialnya, karena sudah ada label sebagai mantan teroris,” terang Prof Dr. Gonda Yumitro.
Proses reintegrasi yang dilakukan eks napiter ini harus benar-benar maksimal, terutama eks napiter ini sadar bahwa pengalaman atau modal sosial yang mereka miliki sebagai mantan teroris dalam program deradikalisasi ini juga sangat penting dan strategis.
Sebagai orang atau kelompok yang pernah melakukan tindak kejahatan berupa aksi terorisme, para eks napiter ini harus benar-benar melihat peluang dan kesempatan, agar kepercayaan yang mereka bangun bisa diterima oleh lingkungan sosialnya.
Setelah perjalanan panjang, maka beberapa temuan yang dihasilkan dalam riset ini di antaranya ketidaktahuan dan ketidakpahaman mengenai agama secara komprehensif.
Dikarenakan, kebanyakan dari merrka hanya berdasarkan semangat yang tinggi tanpa pengetahuan agama yang mendalam.
Pengaruh media sosial dan pertemanan menjadi faktor utama yang mampu mengajak kepada pemahaman yang radikal. Saat ini eks napiter juga sudah tidak ada keterkaitan lagi dengan kelompok radikal yang dulu.
Melalui organisasi mantan teroris yang ada di Desa Tenggulun ini sudah sangat membantu mantan teroris untuk bisa hidup berdampingan kembali dengan masyarakat dan tambahan dari narasumber.
“Deradikalisasi itu ada dua basis, yaitu: basis ideologi dan basis ekonomi. Basis ekonomi ini harus menjadi perhatian bersama agar eks napiter tidak kembali lagi pada kelompok lama diakibatkan perekonomian yang tidak bisa terangkat dan kebutuhan sehari-hari yang kurang,” pungkasnya.
BACA JUGA: Berita tugumalang.id di Google News
Reporter : Feni Yusnia
editor: jatmiko