BATU – Keberadaan sumber mata air di Kota Batu, Jawa Timur, dari tahun ke tahun terus menyusut. Artinya, pembangunan kota wisata ini bisa dinilai belum memperhatikan nilai konservasi pelestarian sumber air.
Perumdam Among Tirto menyebutkan, keberadaan sumber mata air hingga 2022 ini hanya tersisa 58 titik dari sebelumnya masih terdapat 111 titik.
Tak hanya itu, dari segi debit air juga terjadi penurunan. Sebagai contoh, di Sumber Darmi misalnya, dari dulunya debit air mencapai 19,7 liter per detik, kini menurun hingga hanya 14-16 liter per detik.
Faktor paling berpengaruh dalam penurunan debit air ini terjadi karena pembangunan yang tidak ramah lingkungan, minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) hingga maraknya pengeboran sumur bor yang tidak terkontrol.
Berdasarkan catatan Dinas PU SDA Pemprov Jatim, pada 2018 lalu di Kota Batu tercatat ada sebanyak 50 titik sumur bor. Lalu bertambah menjadi 133 titik sumur bor pada 2019 dan bertambah di 4 titik pada 2020 lalu.
Jika kondisi itu terus dibiarkan, dikhawatirkan akan terjadi ketidakseimbangan ekologis. Direktur Utama Perumdam Among Tirto Kota Batu, Edi Sunaedi, menuturkan kekhawatiran atas dampak panjang dari maraknya pembuatan sumur bor ini.
Pembuatan sumur bor ini kata Sokek, sapaan akrabnya, cukup mengancam ketersediaan air tanah apalagi ditambah dengan berkurangnya luasan RTH. Namun dalam hal ini pihaknya tak memiliki wewenang mengatur soal ini.
”Kami harap Pemprov Jatim juga melibatkan pemangku wilayah dalam memberikan rekomendasi dalam pembuatan sumur bor,” kata Sokek, Kamis (15/9/2022).
Selain itu, Sokek juga mengusulkan agar di Kota Batu memiliki Perda Penyelamatan Sumber Mata Air. Dengan adanya Perda ini nantinya akan lahir upaya kolaboratif banyak pihak untuk menyadarkan hingga melestarikan sumber mata air. Upaya yang dilakukan seperti penghijauan hingga membuat biopori atau area resapan air.
Pembuatan sumur resapan dan biopori sebetulnya sudah dituangkan dalam Perwali Kota Batu nomor 21 tahun 2015. Namun aturan itu hanya terkesan jadi hiasan karena tidak dibatengi dengan langkah nyata.
Hingga sejauh ini, kesadaran masyarakat terbilang masih belum sejauh itu. Sebab itu diperlukan pendekatan sosio kultural didasarkan pada kearifan lokal setempat menjadi kunci utama untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam konservasi sumber air. ”Keterlibatan partisipasi masyarakat menjadi kunci,” ujarnya.
Reporter: Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A