Tugumalang.id – Pemerintah Kota Malang terus menggencarkan penataan kawasan Kayutangan Heritage. Berbagai ornamen dihadirkan untuk mempercantik pedestrian kawasan tersebut.
Terbaru, Pemkot Malang berencana akan menerapkan skema one way atau jalur satu arah di Jalan Jenderal Basuki Rachmat, kawasan Kayutangan Heritage itu.
Namun beberapa waktu lalu, warga setempat melakukan langkah penolakan dengan alasan Pemkot Malang tidak melakukan sosialisasi terlebih dahulu.
Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Malang akhirnya kemudian melakukan sosialisasi jelang uji coba skema satu arah yang rencananya akan dilakukan Januari 2023 ini.
Pakar Sosiolog Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr Wahyudi Winarjo MSi menyampaikan bahwa penataan kawasan heritage harus mempertimbangkan aspek kelangsungan hidup masyarakat setempat. Untuk itu, dia menyarankan Pemkot Malang juga menyerap aspirasi masyarakat setempat sebelum membuat kebijakan.
“Di era demokrasi ini tentu aspirasi masyarakat perlu ditampung. Mereka punya hak menyampaikan aspirasi,” ucapnya.
Menurutnya, Pemkot Malang harusnya juga berkaca dan belajar dari kegagalan kebijakan penataan jalur lalu lintas di kawasan Betek yang pernah dilakukan satu arah di era kepemimpinan sebelumnya.
Penerapan kebijakan itu mendapat tentangan warga karena justru mematikan perekonomian masyarakat setempat bahkan menimbulkan potensi kecelakaan lebih tinggi.
“Jadi minim sosialisasi yang pernah dijadikan alasan warga Kayutangan itu sebenarnya adalah isyarat bahwa mereka menolak kebijakan pemerintah. Karena tidak mungkin di era kecanggihan tekbologi informasi ini mereka tidak tau kabar rencana kebijakan itu,” jelasnya.
“Jadi alasan minim sosialisasi itu adalah isyarat. Pemerintah harusnya bisa membaca itu dengan memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat,” imbuhnya.
Dia mengatakan bahwa masyarakat tentunya memiliki pandangan dan gagasan yang perlu diwadahi dalam membuat aturan baru. Terlebih suatu kebijakan pemerintah akan berdampak bagi kelangsungan hidup masyarakat luas.
Wahyudi mengatakan bahwa masyarakat pada umumnya akan menolak kebijakan pemerintah jika kebijakan itu menggangu pola kebiasaan lama masyarakat yang sudah terjalin baik dan sudah dilakukan dari generasi ke generasi.
Terlebih, kawasan Kayutangan Heritage di Jalan Jenderal Basuki Rachmat tersebut menurutnya tidak terlalu macet. Dia mengatakan bahwa titik kemacetan justru berada di sekitar Jalan Jenderal Basuki Rachmat. Seperti di Jalan Semeru dan Jalan Kahuripan dan Jalan Jaksa Agung Suprapto Kota Malang.
“Menurut saya Kayutangan tidak macet kok, saya kira titik kemacetan bukan di kayutangan tapi sekitarnya. Coba lihat daerah yang lebih macet. Sebagai warga biasa, saya kira lebih asik dua arah,” ucapnya.
Dia juga berpesan agar penataan kawasan heritage di Kayutangan tersebut tidak menimbulkan permasalahan atau bahkan merugikan masyarakat.
Diketahui, penataan pedestrian Kayutangan Heritage saat ini justru dikeluhkan warga Kampoeng Heritage Kajoetangan yang berada di balik gemerlap lampu taman Jalan Jendral Basuki Rachmat itu.
Kampung wisata itu justru meredup saat pedestrian Kayutangan ditata rapih. Pasalnya, wisatawan lebih suka mengunjungi pedestrian dari pada Kampoeng Heritage Kajoetangan.
“Saya kira upaya merawat kawasan heritage itu jangan sampai justru merugikan rakyat sendiri,” tuturnya.
“Jangan sampai rakyat hanya dapat ramainya saja tetapi mereka tidak bisa terlibat dalam menikmati ekonomi yang sedang berputar,” tegasnya.
Untuk itu, Wahyudi juga menyarankan agar pemerintah nantinya juga melibatkan masyarakat dalam menggerakkan roda perekonomian di kawasan Kayutangan Heritage.
Dia menyampaikan bahwa jangan sampai roda perekonomian Kayutangan hanya bisa dinikmati oleh pemilik modal saja.
“Jadi menata Kayutangan jangan hanya melihat panggung luarnya saja, tapi panggung belakang juga harus dilihat. Detak nadi dan aspirasi merekalah yang justru didengarkan. Bukan mereka yang akan menjadi pemilik modal atau yang akan melakukan kapitaliasasi industri di Kayutangan,” pesannya.
“Di Kayutangan itu saya rasa adalah kolonial heritage, bukan budaya heritage. Kadang kadang saya juga berpikir kenapa kita berbangga bangga dengan bangunan Belanda. Kepentingan siapa itu, siapa yang diuntungkan,” tandasnya.
Reporter: M Sholeh
Editor: Herlianto. A