Margareta E.Rindu S.S.IP, M.Han *
Demokrasi dan Pemilu yang demokratis merupakan “qonditio sine qua non”, the one can not exist without the others dengan artian bahwa pemilu dianggap sebagai prosedur pemindahan kedaulatan rakyat kepada kandidat-kandidat tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan politik.[1]
Sejak awal sejarah dilaksanakannya pemilu, tak lepas dari pro dan kontra tentang sistem pelaksanaannya. Berawal dari penyelenggaraan pemilihan anggota legislatif dan pilpres yang selalu dilakukan terpisah sehingga membuat sebagaian orang merasa bahwa pelaksanaan tersebut tidak efesien dan tidak sesuai dengan UUD 1945.
Terkait hal ini, beberapa pakar kerap mengajukan uji materil terhadap undang-undang yang berkaitan dengan pemilu kepada Mahkamah Konstitus. Bahkan mengenai keterkaitan sistem pemilu dengan sistem pemerintahan presidensial yang Indonesia jalani, Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam prakteknya di tahun 2004 dan 2009 sistem pemilu menjadikan Presiden dan Wakil Presiden sangat bergantung pada dukungan DPR yang terdiri dari Partai-Partai Politik agar bisa dicalonkan.
Hal ini membuat negosiasi politik pun terjadi sebagai bentuk kepentingan taktis dan sesaat tanpa mempertimbangkan roda pemerintahan dan manfaat jangka panjang.[2]
Pemilu serentak yang diselenggarakan pada tahun 2019 pun menyisakan banyak problematika. Pemilu 2019 dianggap sebagai ketidaksiapan KPU sebagai penyelenggara serta banyak faktor lainnya sehingga 5 (lima) kotak dalam memililih Calon Presiden dan Wakil Presiden, Calon Anggota DPR, DPD, DPRD pada tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota dianggap bukan sebagai jalan keluar yang tepat untuk pesta demokrasi lima tahunan ini.
Keserentakan Pemilu Tahun 2019 ini pun diwarnai oleh praktik Money Politics. Dalam masa tenang Pemilu 2019 tanggal 14 April hingga 16 April 2019, Pengawas Pemilu menangkap tangan peserta pemilu dan tim pemenangan yang diduga sedang memberi uang kepada masyarakat untuk memengaruhi pilihannya. Total terdapat 25 kasus di 25 kabupaten/kota yang tertangkap tangan.[3]
Kala itu, Money Politics berlangsung dari sebelum masa tenang dan semakin masif hingga H-1 Pemilu Serentak 2019.[4]
Dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia selalu diwarnai oleh aksi money politics oleh oknum-oknum tertentu guna memperoleh suara terbanyak dari masyarakat. Persoalan money politics ini menjadi sebuah persoalan yang sangat serius apabila terus dibiarkan akan mempengaruhi sistem demokrasi sebagai sendi negara dalam proses pemenuhan jabatan publik secara sah.
Dampak yang timbul dapat dimulai dari membuat masyarakat menjadi terbiasa dengan praktik pembelian suara hingga berdampak lahirnya korupsi berdalih untuk mengembalikan biaya kampanye yang telah dikeluarkan dalam masa pelaksanaannya.[5]
Kajian terhadap Potret Pengawasan dan Daya Imperatif Hukum Pemilu terkait Money Politics pada Pemilu Serentak Tahun 2019 menghasilkan simpulan bahwa meskipun Pemilu Serentak 2019 telah sukses menyelesaikan semua tahapan Pemilu, namun Pemilu Serentak ini juga menorehkan catatan noda terkait dengan masif dan banyaknya praktik money politics.
Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum Pemilu belum sesuai yang diharapkan. Sebab, UU Pemilu tidak menggunakan frasa “setiap orang” dalam menjaring pelaku money politics. Selain itu, hal ini menunjukkan bahwa fungsi UU Pemilu sebagai sarana pengendalian perilaku dalam berpolitik, tampak belum berjalan secara efektif.
UU Pemilu belum memiliki daya imperatif yang kuat dalam menekan atau mencegah masifnya praktik money politics. Pada akhirnya, Pemilu Serentak 2019 memunculkan anomali. Warga masyarakat (pemilih) cenderung permisif dalam menerima kehadiran praktik money politics. Meskipun banyak warga masyarakat yang menolak, mencela, dan membenci praktik money politics, namun masih ada sebagian warga masyarakat menanti kapan lagi datangnya praktik money politics.[6]
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 telah sah diundangkan melalui PKPU Nomor 3 Tahun 2022. Dalam artian, tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024 sudah disepakati. Sebagaimana peraturan tersebut, masa kampanye pemilu akan dilaksanakan pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Kemudian masa tenang akan dilaksanakan pada 11 Februari 2024 hingga 13 Februari 2024.
Sementara pemungutan suara dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Pemilu Serentak Tahun 2024 kembali diselenggarakan untuk memenuhi hak-hak politik dari warga negara di sebuah pemerintahan demokratis. Hal yang selalu menjadi catatan dalam setiap penyelenggaraan pemilu di Indonesia adalah mewujudkan pemilu yang berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Berdasarkan pandangan ilmuwan pemilu yang terkenal yaitu Norris, The New Research Agenda Studying Electoral Integrity[7], pemilu yang berintegritas adalah pemilu yang berlangsung telah mengikuti standar atau norma-norma internasional dalam konteks free and fair election (pemilu yang bebas dan adil). Namun, Pemilu Serentak Tahun 2024 dikhawatirkan tidak dapat memenuhi hal tersebut karena masih terdapat potensi besar terjadinya money politics.
Berdasarkan temuan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai temuan uang ilegal triliunan rupiah yang masuk ke Indonesia.[8] Dalam analisis tersebut, PPATK menemukan bahwa selalu ada antrean penukaran uang dalam jumlah besar setiap menjelang pemilu.
Temuan ini tentunya mengindikasikan bahwa money politics akan terjadi kembali pada Pemilu Serentak 2024. Dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang masih minim pendidikan politik, maka politik uang akan terus terjadi. Selain itu, money politics masih terus terjadi lantaran penegakan hukum di Indonesia yang lemah. Keberadaan uang elektronik pun menjadi salah satu sarana yang dapat digunakan para oknum untuk melaksanakan aksi money politicsnya.
Persiapan Pemilu Serentak 2024 oleh KPU sudah hampir 100%. namun KPU masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem pemilu
proporsional terbuka atau tertutup.[9] Sistem proporsional adalah sistem di mana satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil. Dalam sistem proporsional, ada kemungkinan penggabungan partai atau koalisi untuk memperoleh kursi. Sistem proporsional disebut juga sistem perwakilan berimbang atau multi member constituenty.[9]
Sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilu di mana pemilih memiih langsung wakil-wakil legislatifnya. Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politiknya saja. Perbedaan ini tentunya melahirkan pro dan kontra.
Sistem proporsional terbuka yang awalnya bertujuan menghilangkan jarak pemilih dan kandidat wakil rakyat, ternyata memunculkan jarak antara pemilih dan kandidat wakil rakyat yang melemahkan posisi partai politik. Partai politik tidak lagi fokus mengejar fungsi asasinya sebagai sarana penyalur pendidikan dan partisipasi politik yang benar. Partai politik tidak lagi fokus mengejar fungsi sebagai penyalur, pendidikan dan partisipasi politik yang benar.
Partai politik tidak lagi berupaya meningkatkan kualitas program-programnya yang mencerminkan ideologi partai melainkan hanya sekedar untuk mencari fokus kandidat-kandidat yang dapat menjadi magnet untuk meraih suara terbanyak.
Di sinilah letak pelemahan partai politik itu terjadi secara struktural. Partai tidak lagi fokus membina kader-kader muda secara serius untuk kepentingan jangka panjang ideologi partai melainkan fokus mencari jalan pintas dengan memburu kader-kader popular berkemampuan finansial untuk mendanai kebutuhan partai.
Keterpilihan suara terbanyak yang diusung oleh sistem proporsional terbuka secara langsung telah mengubah medan permainan pemilu yang seharusnya menjadi medan pertarungan program gagasan atau ide menjadi pertarungan orang-orang terkenal dan berkemampuan finansial dikarenakan kader terkenal dan berkemampuan finansial ini menjadi magnet dari partai demi meraih suara terbanyak.
Maka tidak jarang partai tidak mampu atau bahkan ragu untuk melalukan pembinaan dalam bentuk pengawasan atau kontrol atau bahkan sekedar melakukan penindakan atau menjatuhkan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan kader-kader popular dan berkemampuan finansial tersebut semata-mata karena basis masa besar dan berkemampuan finansial di baliknya yang sewaktu-waktu dianggap dapat merugikan kepentingan partai.
Akibatnya partai maju mundur dalam melakukan pembinaan dan menjalankan fungsinya. Kemampuan finansial dalam hal ini sangat memicu terjadinya money politics sehingga sistem proporsional terbuka bukanlah hal yang tepat untuk mencegah money politics.
Sementara itu, sistem proposional tertutup juga memiliki pengalaman pahit seperti pada era Soeharto. Sistem proporsional tertutup ini dianggap mengunci rapat kanal partisipasi publik yang lebih besar, serta menjauhkan akses hubungan antara pemilih dan wakil rakyat.
Selain itu, sistem ini dianggap membuat komunikasi politik tidak berjalan dan kesempatan calon terpilih menjadi lebih tidak adil, dan juga terjadi krisis calon anggota legislatif yang tidak bisa dielakkan, karena dengan sudah dapat diprediksi siapa yang akan terpilih, berakibat sedikit yang berminat dan/atau serius mau meniadi caleg.
Partai berkuasa penuh menjadi penentu siapa-siapa yang duduk di kursi parlemen setelah perolehan suara partai dikonversikan ke jumlah kursi. Namun meskipun begitu, sistema proporsional tertutup ini dianggap lebih sederhana dari sisi pemilih dan lebih hemat biaya produksi maupun biaya operasional.
Penyelenggaraan pemilu legislatif yang dilakukan serentak perlu diawali dengan pemilu pendahuluan atau proses kandidasi di internal partai politik yang memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Selain itu, perlu dilakukan edukasi agar para pemilih mengenal nama-nama yang dicalonkan oleh sebuah partai.
Sistem ini secara teknis lebih meringankan panitia pelaksana pemilu karena proses rekapitulasi atau penghitungan suara lebih mudah. Hal ini dirasa perlu menjadi salah satu pertimbangan mengingat pada pemilu sebelumnya ditemukan sejumlah penyelenggara yang sampai meninggal dunia karena kelelahan.
Untuk memastikan bahwa prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi terpenuhi, ada berbagai mekanisme yang bisa diterapkan, misalnya melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mewajibkan setiap partai membuat berita acara terkait proses pencalonan. Selain itu, pemilih juga bisa berperan misalnya dengan membuat forum di luar partai politik.
Pemilihan umum tahun 2024 tidak boleh disamakan lagi secara format dan teknis yang dimana pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan pemilihan legislatif, kedua yang menjadikan pemilihan umum ini menjadi tidak efektif adalah adanya paket antara calon legislatif dan calon Presiden yang menimbulkan adanya sistem paket money politics yang menyesuaikan antara calon legislatif dengan koalisi partai yang mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden.
Hal ini tentu perlu menjadu sorotan seiring dengan berbedanya peraturan yang mengatur mengenai money politics pada saat masa pemilihan kepala daerah 2018 dan pemilihan umum 2019 yang akan semakin membuat kubu-kubu dengan adanya koalisi diawal mengakibatkan semakin maraknya money politics diakibatkan euphoria pilpres mengalahkan pemilihan legislatif sehingga masyarakat memilih calon anggota legislatif tidak melihat kredibilitas dan integritas melainkan tentang siapa yang memiliki dana besar maka ia yang akan menang.
Selama ini terjadi adanya praktik money politics di Indonesia bukan hanya berasal dari masyarakat namun juga tentang bagaimana partai politk merekrut orang-orang untuk diajukan sebagai calon anggota legislatif yang dimana partai politik memperioritaskan untuk merekrut calon anggota legislatif yang memiliki banyak modal untuk membeli suara masyarakat dibandingkan untuk mengkader secara pasti untuk melahirkan kader yang memiliki kualitas serta integritas yang baik agar masyarakat memiliki pilihan yang tepat untuk memilih perwakilannya di parlemen.
Sistem proporsional tertutup menjadi salah satu opsi untuk mengurangi terjadinya praktik money politics agar transaksi transaksional yang terjadi setiap musim pemilihan umum tidak terjadi.
Meskipun memiliki beberapa kekurangan juga diantaranya yakni akan menimbulkan sebuah oligarki koneksi di dalam tubuh partai politk namun setidaknya hal tersebut juga akan mendorong adanya kaderisasi yang massif oleh partai politik. Sehingga akan membentuk kader dengan kualitas yang baik guna dicalonkan untuk pemilihan umum, agar masyarakat memilih bukan karena berapa uangnya, namun seberapa baik kualitas dari calon anggota legislatif tersebut.(*)
*Pengamat Pemilu, tinggal di Semarang
[1] Mushaddiq Amir. “Keserentakan Pemilu 2024 yang Paling Ideal Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” AL-ISHLAH: Jurnal Ilmiah Hukum. Vol. 23, No. 2. November 2020. h.116. e-ISSN: 2614-0071 || p-ISSN: 1410-9328.
[2] ane Aileen, Pemilu Serentak Di Tahun 2019, Kenapa Tidak Tahun Ini?,
3 Bawaslu RI. “Masa Tenang, Pengawas Pemilu Tangkap Tangan 25 Kasus Politik Uang”.
4 Insi Nantika Jelita. “Politik Uang Pemilu 2019 Mengalir Sampai Jauh”. Media Indonesia.
6 Aminuddin Kasim dan Supriyadi. “MONEY POLITICS PADA PEMILU 2019 (Kajian Terhadap Potret Pengawasan dan Daya Imperatif Hukum Pemilu)”. Jurnal Adhyasta Pemilu. Vol. 2 No. 1 2019,. h. 32. https://journal.bawaslu.go.id/index.php/JAP/article/download/36/29/129
7 Norris, P. “The New Research Agenda Studying Electoral Integrity”. Electoral Studies. 32(4).2013. h. 563-575
8 Adhyasta Dirgantara. Perludem: Potensi Politik Uang di Pemilu 2024 Terlihat”. Kompas. 2022.
editor: jatmiko