MALANG, Tugumalang.id – Gaung kesenian tradisional khas Malang mulai meredup. Itulah yang dirasakan seniman Ki Sholeh Adi Pramono. Oleh karenanya, ia berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang memberi lebih banyak wadah bagi seniman tradisional yang mengangkat kesenian asli Malang.
Menurut Sholeh, saat ini terdapat 141 dalang wayang kulit malangan. Namun, mereka jarang mendapat undangan untuk mengisi acara-acara Pemkab Malang. Justru, seniman dari luar kota mendapat lebih banyak kesempatan untuk mengisi panggung di Kabupaten Malang.
“Ada 141 dalang wayang kulit malangan, nggak pernah diundang ke acara Pemkab Malang. Dalang yang biasanya diundang justru berasal dari luar daerah, seperti Surakarta. Akhirnya ini memarginalkan kebudayaannya sendiri,” ujar Sholeh saat ditemui, Minggu (5/3/2023).
Di samping itu, Sholeh juga menyebut bahwa banyak peralatan wayang kulit malangan yang dibeli oleh kolektor sehingga tak lagi bisa digunakan. “Wayang kulit malangan itu memang banyak dalangnya, tapi alatnya dibeli oleh kolektor-kolektor,” kata Sholeh.
Selain wayang kulit malangan, Sholeh juga menyayangkan kurangnya ruang bagi kesenian topeng malangan. Padahal, topeng malang adalah kesenian khas malang yang dulunya sangat populer. Bahkan di tahun 2017, cerita Panji Asmorobangun yang merupakan jalan cerita topeng malangan mendapat anugerah Memory of the World (Ingatan Kolektif Dunia) dari UNESCO.
Sholeh menyebut di masa kepemimpinan Bupati Soerioadiningrat di akhir abad ke-19, kesenian topeng malang digemari di setiap desa. Masa tersebut bersamaan dengan masa kakek buyut Sholeh yang juga seorang seniman.
“Dulu tiap-tiap desa ada topeng, karena Bupati (Soeriodiningrat) mencintai topeng,” kata Sholeh.
Selain wayang kulit dan topeng malangan, Sholeh juga menyinggung langkanya kesenian macapat malangan. Macapat merupakan pembacaan syair atau puisi dalam bahasa Jawa.
“Kegiatan mocopat malangan sudah langka,” kata Sholeh.
Untuk melestarikan budaya tersebut, salah satu upaya yang ia lakukan adalah menggelar macapat padhang mbulan setiap pertengahan bulan di kalender Jawa. Di kegiatan ini, ia bersama pecinta budaya lainnya mendengarkan macapat sembari menikmati bulan purnama.
Selain Pemkab Malang, Sholeh juga berharap mahasiswa dan perguruan tinggi juga turut serta dalam mempromosikan kesenian khas Malang. Mereka bisa menampilkan kesenian tersebut dalam kegiatan atau event-event yang mereka adakan.
“Harapan saya di kampus-kampus di Malang, walaupun tidak memiliki mata kuliah kebudayaan, setidaknya memberikan ruang bagi kesenian tradisional Malang setiap lustrum (lima tahunan),” pungkasnya.
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
editor: jatmiko