Dunia pendidikan masih saja dihantui fenomena kekerasan, perundungan bahkan pelecehan seksual. Padahal, sekolah harus menjadi tempat yang aman. Agar tugas pendidikan yang diemban generasi emas bisa terlindungi dengan baik.
TuguMalang.id – Program sekolah ramah anak, khususnya di Kota Batu yang baru saja menerima predikat Kota Layak Anak masih menyisakan banyak pertanyaan. Fenomena itu masih kerap terjadi, baik dilakukan sesama siswa maupun tenaga pendidik.
Sebut saja kasus kekerasan dan pelecehan seksual oleh Kepala SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu. Korbannya diduga ada belasan dan ditengarai sudah terjadi sejak 2007 silam. Kini, pelakunya sedang menjalani proses pengadilan.
Terbaru, terjadi antar sesama santri pria di salah satu pesantren modern Kota Batu. Kasus ini sempat senyap selama setahun dan baru ketahuan pada Juli 2021. Awak media bahkan baru tahu kasus ini pada Desember 2021.
Kasus ini akhirnya mencuat seiring dengan kabar pencabulan ustad terhadap 14 santriwatinya di sebuah Ponpes di Cibiru, Bandung. Usai santer kabar ini beredar, sejumlah tokoh pendidikan hingga DPRD Jatim mengutuk keras ‘kebisuan’ tanpa solusi tersebut.
Berdasar data dari Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kota Batu, pada 2021 terdapat 14 kasus kekerasan pada anak dengan jumlah korban yang mencapai 23 anak. Lebih tinggi jika dibandingkan pada 2020 yakni 13 kasus.
Jika melihat kasus-kasus terakhir, kasus-kasus berhubungan dengan anak peserta didik terjadi di sekolah-sekolah yang terkesan ekslusif. Kasus paling menghenyakkan terjadi di SMA SPI Kota Batu karena baru terkuak bertahun-tahun setelahnya.
Terlebih, sekolah ini digagas untuk menampung ribuan anak yatim piatu dan miskin di seluruh Indonesia. Sampai-sampai pemiliknya mendapat apresiasi oleh sejumlah tokoh dan media nasional.
Diketahui, sekolah-sekolah yang terkesan ekslusif ini banyak berdiri di Kota Wisata ini. Namun, dari segi pengawasan, Pemkot Batu tak bisa ikut campur terlalu banyak karena kendala regulasi. Seperti SMA SPI sendiri yang pengawasannya di bawah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Batu Fuad Dwiyono mendesak legislatif untuk bergerak mencari solusinya. Menurut dia, perlindungan anak seharusnya tidak juga dibatasi secara teritorial.
”Ya sekolah itu kan adanya di Kota Batu, terus kalau ada kasus kayak gini, masak kita juga lepas tangan hanya karena soal kewenangan. Apalagi di sana itu isinya anak-anak yatim, lho. Ya harusnya transparan, ya?,’ kata Fuad.
Hal senada dikatakan Ketua Komisi A DPRD Kota Batu Dewi Kartika, bahwa sepanjang pengawasan dia selama ini di SMA SPI Kota Batu kerap tidak menerapkan asas keterbukaan data dan informasi publik. Menurut Kartika, selalu ada cara dari pihak sekolah untuk menutup-nutupi sesuatu.
”Saya pernah kesana gara-gara kasus itu saja harus agak memaksa. Saat di dalam, semua seperti sudah ditata. Mulai siapa yang menemui kami, siapa anak-anak yang menyambut, sampai isi testimoni yang hampir seragam,” kisah Kartika.
”Hampir semua murid ‘pilihan’ itu kompak bilang baik-baik saja. Sangat bertolak belakang dengan apa yang kita dengar dari korban, baik korban baru maupun korban lama (alumni, red),” imbuhnya.
Tak sekedar itu, dirinya mendapati banyak laporan dari masyarakat umum terkait dugaan eksploitasi ekonomi. Banyak anak-anak disana disuruh jualan pernak-pernik kerajinan di Alun-Alun. Bahkan, dalam penjualannya anak-anak ini kerap sedikit memaksa.
”Kalau gitu kan artinya mereka ada target. Kalau itu benar, wah parah sih. Dari alumninya, banyak juga cerita kalau disana lebih banyak kerjanya daripada belajar. Pakai seragam itu hanya pas ada tamu, ada kunjungan, kalau ada pemeriksaan,” tambah politisi PKB ini.
Dari semua itu Kartika berharap seluruh pihak bisa turun tangan menangani bersama perkara ini. Meski nanti jika hal ini benar terjadi, Kartika tidak ingin menawarkan opsi penutupan sekolah. Bagaimana pum, keberadaan sekolah ini seperti spirit awalnya sangat penting bagi masa depan anak yatim piatu dan fakir miskin.
Kata dia, harus ada penataan ulang sistem disana, mulai dari rekrutmen hingga pembelajaran yang selama ini dikenal ekslusif. Sebagai alternatif, lanjut dia, akan diusulkan pembaharuan Perda Nomor 2 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
Perda baru ini memungkinkan Pemda bisa ikut turun tangan mengawal kasus yang terjadi di sekolah-sekolah ‘ekslusif’ maupun di bawah naungan provinsi. Tidak seperti selama ini yang kerap sulit ikut mengawasi sistem pendidikan di sana.
Mendorong Sekolah Ramah Anak Tidak Sekedar Jadi Predikat
Berkaca dari peristiwa tersebut, artinya sekolah belum tentu bisa menjadi tempat yang aman bagi tumbuh kembang anak. Lalu bagaimana dengan program Sekolah Ramah Anak yang dielu-elukan pemerintah? Kapan ‘Sekolah Ramah Anak’ di Kota Batu bisa terwujud seiring dengan predikat Kota Batu sebagai Kota Layak Anak (KLA).
Bicara soal predikat KLA yang baru saja diraih Kota Batu, secara peringkat sebenarnya tidak ada kenaikan. KLA merupakan sistem pembangunan kota berbasis hak anak yang disuun secara struktural, kompleks dan berkelanjutan.
Sekolah ramah anak merupakan wujud dari sekolah inklusif dengan berbagai prinsip hak anak mendapat kenyamanan, keamanan, perlindungan dan pelayanan pendidikan di sekolah.
Ketua Umum Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (RPAI), Fuad Dwiyono merasa prihatin atas maraknya kasus kekerasan anak di Kota Batu. Bahkan terjadi pelecehan seksual hingga perundungan.
Tentunya, kata Fuad, tindakan kekerasan atau pelecehan itu berdampak traumatik pada korban. Artinya, situasi ini bisa dinilai sebagai kegagalan sekolah mendidik anak didiknya.
Karena apa? Menurut Fuad, sekolah atau lembaga pendidikan anak sudah seharusnya menjadi tempat yang ramah anak. Artinya, dalam setiap kasus yang terjadi kebijakan sekolah yang harus diambil musti berperspektif pro-anak.
”Tidak bisa sepenuhnya kemudian suatu kasus itu disalahkan ke anak-anak. Sekolah yang bermutu tidak selamanya harus mahal. Tapi tolak ukur dari sekolah sukses adalah menghasilkan anak yang bahagia,” pungkasnya.
Sekolah, kata dia, seharusnya menjadi rumah terbaik bagi anak. Begitu juga dari orangtua wali juga harus berperan aktif. ”Jangan karena anak bermasalah, terus menyerahkan anak ke sekolah, asrama atau ponpes,” tegasnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina menegaskan komitmen sekolah untuk melindungi anak sudah harus dimiliki sejak awal. Lembaga pendidikan sudah harus siap sejak awal memiliki perspektif perlindungan anak.
Mulai dari segi kebijakan, infrastruktur hingga SDM harus memiliki perspektif perlindungan anak, termasuk hingga tenaga kebersihan atau satpam sekalipun. Tentu dalam penataan itu semua sekolah harus transparan sehingga tumbuh kembang anak di sekolah bisa terjamin.
“Masukan dari pihak luar itu tetap penting. Jangan sampai kalau sudah terjadi kasus terus bingung. Apalagi, kasus anak ini perlu penanganan khusus, jadi saya kira keterbukaan itu penting,” jelasnya.
Komitmen mewujudkan sekolah ramah anak juga datang dari Pemkot Batul Kasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) DP3AP2 Emy Yulianingrum. Sekolah ramah anak adalah sekolah yang memenuhi hak-hak anak mulai dari proses tumbuh kembang, keberlangsungan hidup, perlindungan hingga partisipasi anak.
Sebab itu, DP3AP2KB Kota Batu kembali akan mengevaluasi sistem pendidikan disana, meski disana menganut konsep ponpes. Sejauh ini, pihaknya masih sedang menyiapkan program ramah anak di sejumlah sekolah-sekolah.
”Jadi dalam kasus ini memang butuh pendampingan ekstra dari sekolah karena berkaitan dengan efek traumatis korban anak dalam jangka waktu yang lama,” terang dia.
Bentuk Timsus Investigasi Kekerasan Anak
Dari sekian banyak diskusi lintas pihak di Kota Batu, opsi membentuk Tim Investigasi Independen untuk mengusut kasus kekerasan anak mulai digadanh-gadang menjadi solusinya. Namun, hingga saat ini, rencana itu masih dikaji aparatur hukum. Padahal, kehadiran timsus ini sangat dibutuhkan.
Dengan adanya Timsus Independen ini diharapkan dapat menyelesaikan persoalan kekerasan anak di sekolah-sekolah, khususnya di sekolah ekslusif yang cenderung ditutup-ditutupi.
Pendapat itu diungkapkan Anggota DPRD Batu, Didik Machmud bahwa dalam setiap kasus anak, maka Pemkot Batu wajib hadir. Didik menyarankan dibentuk standar operasional baru yang mengatur akses publik kesana. ”Minimal bisa diakses dan terbuka untuk kepentingan pendidikan,” jelasnya.
Tim investigasi independen yang diusulkan ini nanti terdiri dari unsur pemerintah, legislatif dan juga pegiat anti kekerasan anak dan perempuan. Dan intinya, sambungnya, lembaga bersifat independen.
Sementara itu, Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko terkait hal ini mengaku juga masih harus menunggu kajian dari aparat penegak hukum. Kajian soal urgensi dibentuknya tim investigasi dari berbagai macam elemen ini dilakukan Kejaksaan dan Polres Batu.
Dijelaskan Dewanti, rencana pembentukan tim investigasi ini akan dikawal oleh Dinas Pendidikan, Bagian Hukum dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2KB).
Lalu, juga melibatkan elemen legislatif, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Batu, Pemuda Pancasila dan Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem).
Kepala Dinas DP3AP2KB, MD Forkan menuturkan jika dalam pembentukan tim ini masih butuh kajian dari banyak pihak. Dia mengakui jika untuk mengurai perkara yang melibatkan sekolah ternama itu terhalang oleh regulasi.
Secara regulasi, SMA/SMK termasuk SMA SPI yang ada di Kota Batu tetap berada di bawah naungan Pemerintah Provinsi. Meski begitu, tetap saja lokasi sekolah ini ada di Kota Batu.
Forkan sepakat dengan adanya tim investigasi ini nantinya bisa menyelaraskan kerja berbagai instansi dan lembaga maupun elemen masyarakat dalam mengawal perlindungan anak secara independen.
”Tentu kita sebagai pemangku wilayah tidak bisa hanya tinggal diam tentang apa saja persoalan yang terjadi disini. Kasus ini akan kita follow up terus. Nanti kita update lagi ya,” pungkasnya.
Reporter: Ulul Azmy
editor:jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id