Oleh: Ulfah Mubarokah*
Tugujatim.id – Berbicara aktivis yang terlintas dalam benak seseorang kebanyakan ialah mahasiswa yang turun ke jalan untuk aksi demostrasi. Begitu juga yang saya kira sebelum masuk organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Aktivis yang berkecimpung dalam organisasi akan lupa dengan kuliahnya karena sibuk dengan organisasinya.
Ternyata pikiran itu tidak tepat setelah saya memberanikan diri masuk dan bergabung di PMII. Awal mula saya gabung dengan PMII masih tidak merasakan apa yang saya dapatkan selama saya berproses dalam PMII itu.
Saya menata niat ingin berkhidmat dan berproses di PMII. Saya mengikuti dan bergabung proses kaderisasinya seperti MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru), SIG (Sekolah Islam Gender), dan PKD (Pelatihan Kader Dasar).
Ada perjuangan yang luar biasa dalam mengikuti beberapa kegiatan itu, mulai dari screening dll. Dari situ saya dituntut untuk bisa menjadi mahasiswa yang sebenarnya bukan hanya mahasiswa yang kuliah selesai sudah tidak lagi mengulang pembelajarannya.
Menjadi kader PMII sangat banyak pengalaman dan keuntungan jika kita bersungguh-sungguh dalam menjalankan prosesnya. Mulanya saya anti membaca buku. Di PMII saya memiliki ketertarikan untuk membaca buku.
Karena jika tidak mempunyai jiwa ingin membaca buku, ada rasa minder di dalam forum diskusi. Awal saya ada niat membaca buku itu waktu saya berada di forum kegiatan PMII. Saya merasa hanya saya yang tidak punya kemampuan karena minimnya membaca buku,
Sementara teman-teman banyak yang bertanya di forum. Wawasannya begitu luas. Dari situ ada keinginan untuk sedikit membiasakan membaca buku. Di sisi lain juga mendapatkan banyak pembelajaran di organisasi ini, seperti makna beragama dan kehidupan sosial.
Di organisasi saya menemukan tipe orang yang berbeda-beda. Saya belajar untuk menerima dan memahami sifat yang berbeda tersebut.
Dari situlah, saya merasa menjadi aktivis itu tidak mudah, bahkan berat, walaupun tidak seberat memikul beban. Tapi lebih berat dari sekedar jadi mahasiswa biasa yang kerjaannya hanya kuliah-pulang alias mahasiswa kupu-kupu.
Kalau boleh memilih mungkin banyak yang tidak ingin menjadi aktivis. Di kelas sering menjadi sasaran kritik dosen karena kadang absen, dijauhi banyak teman karena kritis, harus bisa membagi waktu antara kuliah dengan organisasi.
Dan tak kalah pentingnya mengatur keuangan karena banyaknya kegiatan di organisasi maupun di kampus. Namun hikmahnya, dengan berbagai kesulitan itu menjadi aktivis mahasiswa, ada kepuasan tersendiri yang tidak dirasakan oleh semua mahasiswa bukan aktivis.
Menjadi aktivis memiliki cakrawala pengetahuan yang lebih luas. Pengalamannya lebih banyak. Jaringan sosialnya juga lebih mumpuni. Aktivis mempelajari berbagai persoalan negara, mulai dari korupsi, kemiskinan dan ketimpangan hukum.
Semua persoalan itu tidak bisa kita hindari, karena manusia adalah mahluk sosial yang berarti selalu berserikat dan berhubungan dengan orang lain.
*Penulis adalah aktivis PMII Rayon Sunan Bonang, komisariat Universitas Islam Malang