“Dulunya anak-anak disini malas sekolah, lebih memilih bermain, bahkan kerja bantu orang tuanya pasang terop dan sound system. Sejak ada Taman Literasi, Alhamdulillah, minat literasi mereka mulai tumbuh, termasuk orang tuanya juga.”
Di daerah pinggiran Kota Malang, Jawa Timur, ada sebuah teras rumah warga yang tampak berbeda dengan deretan rumah lain di kiri kanannya. Jika umumnya dihiasi bunga hias, di teras mereka justru berhias tempelan kertas warna-warni berbagai bentuk khas bikinan anak-anak.
Hampir di seluruh tembok rumah mereka ditutupi dengan aneka macam hasil kerajinan anak-anak, permainan, majalah dinding (mading) hingga papan pengumuman. Usut punya usut, ternyata rumah itu memang dijadikan pusat kegiatan literasi anak-anak disana.
Namanya Teras Literasi. Lokasinya di Kota Malang, Jawa Timur. Persisnya di daerah Lesanpuro, wilayah pedesaan yang terletak 4,5 kilometer dari timurnya pusat kota. Suasana disana masih kental dengan nuansa pedesaan yang asri, dengan pohon-pohon besar, kebun dan sawah di kanan kirinya.
Usut punya usut, pemilik rumah itu adalah pasangan suami istri (pasutri) Eko Muji Wibowo dan Suyanti. Keduanya sama-sama berprofesi sebagai guru. Suyanti adalah guru di SMP Negeri 27 Kota Malang dan Eko Muji merupakan Kepala Sekolah di SMK Muhammadiyah Sidoarjo.
Pasangan ini merelakan setiap sudut rumah dengan dipenuhi berbagai macam pernak-pernik anak, buku bacaan, permainan dan berbagai kerajinan tangan anak-anak. Hampir tidak terlihat seperti rumah pada umumnya.
Meski begitu, Pakde Kumis dan Bude Yanti, begitu mereka akrab dipanggil, merasa kaya dan bahagia dengan itu semua. Melihat anak-anak disana gemar membaca dan menulis saja, itu sudah menjadi hal yang luar biasa bagi mereka.
Tadinya, kisah Bude Yanti, anak-anak disana lahir dari orang tua dengan daya literasi yang rendah. Itu dikenal Bude Yanti sejak pindah ke Malang pada 2010. Banyak dari mereka yang hanya hidup untuk sekedar kebutuhan ekonomis dari bertani hingga usaha terop pernikahan dan sound system.
Di lingkungan seperti itu, pendidikan jadi hal yang tak penting. Anak-anak disana banyak yang terbawa kultur tersebut. Mereka lebih mengutamakan kerja membantu orang tuanya atau bermain tak juntrung arahnya daripada belajar ke sekolah.
”Sik bude, tak kerjo sik,” kisah Bude Yanti menirukan seorang anak yang dia ajak untuk pergi ke sekolah, waktu itu. ”Ya bantu orang tua, Bude. Kerja teropan dan sound system. Sekolahnya nanti aja ya,” jawab anak itu lagi.
Sejak mendengar itu, jiwa pendidik Bude Yanti dan Pakde Kumis merasa terpanggil. Dari yang tadinya merasa tidak kerasan tinggal di Malang, akhirnya keduanya memilih bertahan dan mendedikasikan hari-hari mereka untuk mengentaskan anak-anak dari kemalasan belajar.
Dedikasi yang mereka pilih itu bukan berarti berjalan lancar tanpa kendala. Minat warga dan anak-anak disana juga pasang surut. Namun dengan berbagai cara, keuletan dan kegigihan mereka, perlahan impian mereka mengaktifkan kegiatan literasi itu mulai terwujud.
”Dulunya anak-anak disini malas belajar, lebih milih bermain atau bahkan kerja membantu orang tuanya pasang terop dan sound system. Sejak ada Taman Literasi ini, Alhamdulillah minat belajar dan literasi mereka mulai tumbuh, termasuk orang tuanya juga,” ucap Bude Yanti ditemui tugumalang.id, Minggu (27/3/2022).
Dari yang tadinya hanya dikunjungi anak-anak dan warga sekitar, Taman Literasi mulai dipenuhi anak-anak dari lingkungan RW lain. Begitu juga kesadaran orang tuanya terhadap pendidikan mulai berubah. ”Bahkan angka pernikahan dini disini saya kira juga sudah mulai menurun,” bebernya.
Di Teras Literasi, anak-anak tidak hanya dikenalkan buku bacaan. Artinya, semua kegiatan literasi ini dibalut dengan berbagai macam kegiatan seperti outing class dengan bercocok tanam di kebun ‘Tegal Literasi, membuat prakarya seni daur ulang dari sampah plastik hingga menonton film edukatif.
”Semua kegiatan kami disini itu ‘Multi-Literasi’. Bagi kami, literasi tidak hanya terbatas ruang dan waktu. Karena literasi bisa didapat dari kegiatan apa saja, membaca apa saja di sekitar kita,” jelas pasutri kelahiran Surabaya ini.
Pasutri dikaruniai dua anak ini selalu menyisipkan ilmu nilai-nilai pendidikan dan agama di berbagai kegiatan. Bahkan, kata mereka, termasuk saat bercocok tanam atau rekreasi sekalipun tetap diselingi dengan belajar.
Berdiri sejak Februari 2018, kiprah Teras Literasi mulai didengar banyak pihak. Hingga saat ini, berkembang memiliki banyak program. Mulai Kedai Bayar Sampah (bank sampah), Pawon dan Tegal Literasi (Unit Usaha Koperasi) hingga Literasi Ibu-Ibu PKK.
Tak hanya itu, segala kegiatan literasi anak-anak disana berbuah karya buku. Total sudah ada 9 judul buku diterbitkan. Isi bukunya berisi antologi karya sehari-hari anak disana. Berkat dedikasi itu, Bude Yanti dinobatkan jadi Guru Berpretasi Tingkat Kota Malang pada tahun 2020 hingga Perempuan Inspirasi 2019.
”Ini kami anggap sudah jadi kayak takdir, panggilan jiwa. Murni atas kepedulian kami terhadap dunia pendidikan, tanggung jawab saya sebagai pendidik. Mungkin ini juga sudah takdir saya ditempatkan disini, tinggal disini,” ujar Alumnus IKIP PGRI Surabaya ini.
Selain itu, semangat peduli lingkungan juga diusung di Teras Literasi. Upaya membudayakan semangat 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) ini diajarkan pada anak sejak dini dengan cara membuat ecobrick atau bata ramah lingkungan.
Ecobrick ini merupakan inovasi pemanfaatan limbah plastik menjadi barang bernilai guna. Dalam hal ini, sampah botol plastik diisi dengan sampah kecil dan ditumbuk hingga padat. Botol-botol plastik padat ini kemudian disusun dan dirangkai hingga menjadi sebuah benda atau bangunan.
Di teras literasi, ecobrick ini dirangkai menjadi kursi, meja, kerajinan pot bunga plastik bahkan dijadikan sebagai monumen tugu yang dipasang di gerbang jalan masuk ke perumahan Teras Literasi.
”Iya, kursi, meja dan tugu dari ecobrick itu semua dibuat anak-anak bersama kami. Harapan kami budaya peduli lingkungan bisa tertana, sejak dini,” kata Pakde Eko atau yang akrab disapa Pakde Kumis saat ditanya.
4 tahun sudah Teras Literasi berdiri dan terus aktif hingga sekarang. Satu-satunya hal yang mereka pikir hanya satu; Bagaimana caranya ruang ini tetap ada sampai nanti. Di setiap waktu, Bude Yanti dan Pakde Kumis selalu terngiang wajah-wajah kecewa anak-anak saat mengetahui rumahnya tutup.
Dari wajah-wajah itulah, mereka bertekat untuk terus menghidupi Teras Literasi sampai kapanpun. Saking cintanya, mereka sampai rela mengorbankan waktu akhir pekan mereka untuk berekreasi hilang.
”Kami merasa sakno (kasihan, red), berangkat dari rasa peduli saja. Kalau ditanya sampai kapan? Ya kalau bisa sampai akhir hayat,” tegasnya, seksama.
Dari pasutri ini kita belajar bahwa sesuatu yang luar biasa lahir dari hal-hal kecil dan sederhana. Literasi menjadi bekal manusia menghadapi segala tantangan dan kemungkinan di masa mendatang.
Terpenting dari semua itu, berliterasi akan memberi banyak manfaat dan menyelamatkan hidup. Tidak hanya untuk hidup kita sendiri, tapi menyelamatkan orang lain dari jurang kebodohan dan kemiskinan.
”Taman Literasi ini menjadi ladang kami untuk menebarkan manfaat bagi sekitar. Satu-satunya tugas manusia yang bisa kami lakukan sampai akhir hayat kami,” tandasnya.
Reporter: Ulul Azmy
editor:jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id