Tugumalang.id – Di Kota Batu terdapat makam yang sering menjadi jujukan peziarah yaitu Makam Mbah Mbatu, komplek makam sejumlah sosok yang dipercaya merupakan tokoh babat alas atau pendiri Kota Batu.
Tak heran jika makam yang terletak di Dusun Banaran, Kecamatan Bumiaji, ini tak pernah sepi pengunjung. Tiap harinya, apalagi di hari-hari tertentu seperti bulan Ramadhan ini, selalu saja ada orang yang datang untuk berziarah meminta doa dan berkah di makam ini.
Salah satu tradisi masyarakat saat bulan Ramadhan adalah membacakan Yasin dan Tahlil, khususnya di hari Jumat Legi. Mereka bersama membacakan Yasin dan Tahlil di depan makan Dewi Condro Asmoro atau yang dikenal dengan sebutan Mbah Mbatu.
Mbah Batu sendiri adalah sosok leluhur atau tokoh babat alas yang dihormati. Dari cerita yang beredar, nama aslinya ialah Dewi Condro Asmoro atau dipanggil Mbah Wastu atau Mbah Tuwo.
Seiring waktu pelafalan nama itu mengalami penyingkatan menjadi Mbah Tu. Penyingkatan nama panggilan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal penamaan Kota Batu.
Latar belakang sejarah inilah yang membuat makam ini dianggap memiliki kekuatan magis tersendiri. Tak sedikit masyarakat baik dari Kota Batu maupun dari luar kota selalu menyambangi makam ini untuk berziarah, meminta doa restu keselamatan, hingga riyadoh atau mendekatkan diri pada tuhan.
Seperti dilakukan para santriwati Pondok Pesantren (Ponpes) di Desa Bumiaji. Dian Kresno (24), warga Kecamatan Junrejo ini, sering datang bersama teman satu ponpes untuk mendoakan para leluhur yang diyakini sebagai penyebar agama Islam di Kota Batu ini.
”Kami sering ke sini, setiap bulan suci Ramadhan untuk kirim doa ke leluhur,” kata dia.
Tak hanya mereka, banyak juga warga lain yang datang mengirim doa atas nama pribadi. Seperti diakui Wahyudi (44), pria asal Singosari yang bahkan datang dan menginap sudah empat bulan ini.
”Orang ziarah ke sini tujuannya macam-macam. Ada yang ziarah saja, ada yang meminta doa, ada juga yang pamitan mohon keselamatan sebelum melakukan perjalanan. Kalau saya, niatnya riyadoh,” tutur Wahyudi.
Selain Wahyu, ada juga peziarah lain yang datang dengan tujuan berbeda. Rata-rata para peziarah datang untuk meminta doa restu hingga pamitan akan keluar kota.
Hingga saat ini, kompleks makam Mbah Wastu ditetapkan menjadi situs resmi wisata religi bersejarah di Kota Apel ini.
Bahkan, pejabat-pejabat di Kota Batu juga selalu berziarah ke sini pada momen peringatan hari jadi Kota Batu setiap 17 Oktober. Meski raganya sudah menghilang, Mbah Batu tetap dipercaya menjaga wilayah Kota Batu sampai sekarang.
”Beliau itu tokoh yang menyebarkan agama Islam di berbagai daerah termasuk di sini, di Kota Batu, bahkan sampai akhir hayatnya juga di sini,” jelas Kepala Desa Bumiaji, Edy Suyanto.
Dari sejarah lisan yang beredar, Mbah Wastu disebut sebagai tokoh bedah kerawang atau babat alas wilayah yang berada di lereng Gunung Arjuno dan Panderman ini.
Sosok Mbah Wastu sendiri adalah murid dari Pangeran Rojoyo yang adalah anak dari Sunan Kadilangu, cicit dari Sunan Kalijogo. Kehadiran Mbah Wastu sampai di sini karena sedang melarikan diri dari kejaran tentara Belanda.
Sesampainya di sini, Mbah Wastu mendirikan padepokan di kaki Gunung Panderman dan mengajarkan berbagai ilmu agama Islam kepada masyarakat. Untuk mengecoh Belanda, Mbah Wastu yang juga dijuluki Syekh Abul Ghonaim ini punya nama lain yakni Kiai Gubuk Angin atau Mbah Wastu, yang kemudian disingkat jadi Mbah Tu.
Mbah Wastu sendiri terus mengajarkan berbagai ilmu dan syiar agama Islam di Batu dan wilayah sekitarnya hingga meninggal di tahun 1847. Selain Mbah Wastu, di kompleks makam seluas 500 m² ini juga terdapat makam tiga tokoh lain yakni Pangeran Rojoyo, Dewi Mutmainah, dan Kyai Naim.
Reporter: Ulul Azmy
Editor: Lizya Kristanti
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id