Abd Adzim Irsad*
Shalat tarawih paling bagus berjamaah, sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang artinya “Shalat berjamaah 27 derajat lebih utama daripada shalat sendirian.” (HR.Malik, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i-At-Targhib).
Orang yang pertama kali melaksanakan shalat tarawih adalah Umar Ibn Al-Khattab ra, ketika beliau menjadi Khalifah. Umar, satu-satunya sahabat yang melaksanakan shalat tarawih berjamaah dengan jumlah 20 rakaat dan 3 witir. Sejak saat itu, hingga sekarang abad 21 praktek shalat tarawih di Masjidilharam dan Masjid Nabawi tidak berubah.
Fakta sejarah, pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar Al-Siddiq, ternyata belum dikenal istilah “tarawih”. Istilah shalat sunnah setelah shalat isak menggunakan “Qiyam Ramadhan”. Rasulullah SAW selama tiga hari berturut-turut pada bulan Ramadhan melaksanakan shalat bersama sebagian sahabat di masjid. Hari pertama, banyak sahabat yang pulang, hari kedua makin banyak, hari ketiga semakin banyak, sehingga masjid tidak muat menampung jamaah.
Hari keempat, sahabat semakin banyak berkumpul di Masjid. Ternyata Rasulullah SAW tidak keluar dari rumah. Esok harinya, Rasulullah SAW berkata kepada para sahabat “Rasulullah mengatakan di hadapan para sahabat usai salat fajar, “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut nanti menjadi diwajibkan atas kalian sehingga kalian menjadi keberatan karenanya” (H.R Bukhari).
Selama tiga hari itu Rasulullah SAW melaksanakan shalat bersama sahabat di Masjid, Rasulullah SAW mengatakan “Barang siapa yang sholat (qiyam ramadhan) dengan dasar iman yang mengharap pahala, maka diampuni dosanya yang telah lalu”.(HR. Bukhari dan Muslim). Menurut hadis ini, orang yang melaksanakan shalat malam Ramadhan (Qiyam Ramadhan) atas dasar iman dan mengarap pahala Allah SWT, maka Allah SWT akan meng-ampuni dosa-dosa yang pernah dikerjakan.
Belum lagi, Rasulullah SAW berkata “Antara salat yang lima waktu, antara jumat yang satu dan jumat berikutnya, antara Ramadan yang satu dan Ramadan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar. (HR.Muslim). Bagi setiap muslim yang ber-iman, Ramadhan menjadi momentum paling asyik mendekatkan diri kepada Allah SWT, sekaligus menjadi pelebur dosa selama setahun, dan waktu mengumpulkan bekal perjalanan abadi sebanyak-banyaknya.
Pada masa Abu Bakar Al-Siddiq ra, para sahabat terbiasa melaksanakan shalat Ramadhan secara sendiri-sendiri dan berkelompok dengan 8 rakaat. Selebihnya, para sahabat melaksanakan shalat malam di rumahnya masing-masing. Semangat para sahabat melaksanakan qiyam Ramadhan selesai shalat isak, karena cinta kepada Rasulullah SAW.
Logika umar di dalam memahami shalat sunnah rowatib muakkadah jumlahnya 10 rakaat. Beliau melihat bulan puasa adalah bulan istimewa, maka ibadah pada bulan puasa sangat special. Maka, Umar Ibn Al-Khattab mengambil ijtihad dengan 20 rakaat pada shalat Qiyam Ramadhan. Sejak saat ini, Umar Ibn Al-Khattab ra menamakan dengan “Shalat Tarawih”. Sahabat ditentang oleh sebagian para sahabat, maka Umar Ibn Khattab menjawab “Shalat adalah kebajikan yang ditetapkan Allah. Maka barangsiapa mampu hendaklah ia selalu memperbanyak shalat-shalatnya (yakni di luar shalat-shalat fardhu).” (HR. Ibn Hibban).
Sahabat Ubay Ibn Kaab ra, adalah orang yang pertama kali menjadi Imam atas perintah Umar Ibn Al-Khattab ra. Sementara Umar Ibn Al-Khattab menjadi makmum. Saat itu Ubay Ibn Kaab sebenarnya menolak, karena tidak pantas menjadi imam dari Umar Ibn Al-Khattab sahabat senior, sekaligus Khalifah. Sejak saat itulah, Shalat Tarawih dilaksanakan rutin setiap hari dengan jumlah rakaat 20 hingga sekarang (2021 M).
Ada sebagian orang atau organisasi keislaman yang tidak menerima gagasan Umar Ibn Al-Khattab dengan alasan “Rasulullah SAW tidak melaksanakannya, Rasulullah SAW melaksanakan Qiyam Ramadhan 8 rakaat dan tiga witir”. Padahal, Rasulullah SAW menegaskan “Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian (HR.Al-Tirmidzi).
Sejak Umar Ibn Al-Khattab ra memutuskan, hingga sekarang pelaksanaan shalat di bulan Ramadhan menjadi istilah “Tarawih” dengan jumlah 20 rakaat. Tidak satu-pun sahabat setelahnya yang membantah, karena memang esensi dari tarawih adalah Qiyam Ramadhan yang bersumber dari pernyataan Rasulullah SAW. Karena esesni shalat itu adalah sujud kepada Allah SWT. Bahkan, Rasulullah SAW pernah menegaskan “satu sujud nilainya lebih baik dari dunia dan isinya (HR.Bukhari).
Esensi Bulan Suci Ramadhan
Dua esensi bulan Ramadhan menurut fikih, pertama adalah “puasa” yang artinya menahan diri dari tidak makan dan mimun sejak fajar hingga magrib. Sementara, esensi puasa menurut ulama tasawuf bukan hanya menahan diri dari makan, namun juga menjaga hati dari beragam penyakit hati. Sementara malam harinya menghidupkan dengan shalat malam dan membaca Alquran sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW dan sahabatnya.
Bagi seorang mukim, mereka tidak akan puas melaksanakan puasa, namun menghidupkannya dengan “shalat malam”. Ciri khas shalat malam pada bulan Ramadhan adalah banyak bersujud kepada Allah SWT, sebagaiamana dawuh Rasulullah SAW ““Shalat adalah kebajikan yang ditetapkan Allah. Maka barangsiapa mampu hendaklah ia selalu memperbanyak shalat-shalatnya (yakni di luar shalat-shalat fardhu).” (HR. Ibn Hibban).
Kusanahan shalat malam adalah 2-2, setiap dua rakaat diakhiri dengan salam. Sedangkan waktunya setelah melaksanakan shalat isak, sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang bersumber dari Aisyah ra “Dari Aisyah, istri Nabi SAW, (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah Rasulullah SAW melakukan shalat pada waktu antara setelah selesai Isya yang dikenal orang dengan ‘Atamah hingga Subuh sebanyak sebelas rakaat di mana beliau salam pada tiap-tiap dua rakaat, dan beliau shalat witir satu rakaat,” (HR. Bukhari).
Jika dilihat dari redaksinya, saat itu Rasulullah SAW tidak melaksanakan shalat di Masjid Nabawi, melainkan di rumahnya, sehingga Aisyah ra menyaksikannya. Juga, dilaksanakan pada bulan suci Ramadhan atau selain Ramadhan. Karena Rasulullah SAW membiasakan shalat witir dengan tiga rakaat, lima rakaat, bahkan hingga sembilan rakaat.
Sedangkan waktunya, Rasulullah SAW pernah menegaskan;
عن ابن عمر رضي الله عنه أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل، فقال رسول الله صلى عليه وسلم : صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى واحدة توتر له ما قد صلى (رواه البخاري)
Dari sahabat Ibn Umar ra, bahwasannya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang shalat malam. Rasulullah SAW menjawab “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau khawatir akan datanya fajar maka shalatlah 1 rakaat agar jumlah rakaatnya ganjil” (HR.Bukhari).
Hadis ini menegaskan bahwa shalat malam dan witu itu sunnahnya 2-2, dan diakhiri dengan witir. Selanjutnya, penjelasan waktunya, dimulai usai isak hingga subuh. Bahkan, Rasulullah SAW menegaskan bahwa kesunahan shalat malam (tahajud) itu tidak berjamaah, karena Aisyah ra menyaksikan shalat Rasulullah SAW di rumahnya. Rasulullah SAW memberikan contoh, bahwa shalat sunnah malam (tahajjud) paling baik sendirian pada sepertiga malam, dan juga tidak dilakuan berjamaah.
Namun boleh dilakukan secata kolektif (berjamaah), karena Rasulullah SAW pernah di undang salah satu sahabatnya. Sahabatya ingin rumahnya digunakan shalat oleh Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah SAW melaksanakan shalat dhuha. Rasulullah SAW sempat ngimami shalat dhuha, bersama anak-anak sahabat. Ini menjadi bukti bahwa shalat sunnah boleh berjamaah. Namun, lebih afdal shalat sunnah itu tidak berjamaah, dilakukan di rumah, karena memang Rasulullah SAW menginginkan shalat malam bersih dari riya’ (pamer).
Ijtihad Umar Ibn Al-Khattab melaksanakan shalat tarawih merupakan lompatan luar biasa, karena beliau benar-benar memahami hadis prilakua Rasulullah SAW, sekaligus sahabat yang benar-benar paling setia dengan sunnah Nabi Muhammad SAW. Apalagi, Umar Ibn Al-Khattab ra termasuk Al-Khulafau Al-Rasyidin. Rasulullah SAW menegaskan agar semua pengikutanya taat terhadap Al-Khulafau Al-Rasyidin.
Mengikuti Umar Ibn Al-Khattab ra, termasuk setia terhadap sunnah Rasulullah SAW fi’lan (prilaku) dan qaulan (ucapan). Mengikuti shalat tarawih 20 rakaat, sudah termasuk sudah melaksanakan yang delapan rakaat, plus 3 rakaat. Sedangkan orang yang melaksanakan 8 rakaat, tidak mengikuti Umar Ibn Al-Khattab. Apalagi, setiap bacaan Alquran, satu huruf nilainya 10, sedangkan satu sujud nilainya lebih baik dari dunia dan isinya. Apalagi, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, hingga abad 21, tetap melestarikan sunnah Nabi dan sunnah Khulafau Al-Rasyidin. Dengan catatan, melaksanakannya atas dasar iman dan semata ingin mendapat pahala dari Allah SWT.
Sedangkan status “tarawih” adalah sunnah yang artinya jika dikerjakan mendapatkan pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa. Siapa-pun dari umat islam yang melaksanakan shalat tarawih selama sebulan karena iman dan ihlas, pasti akan melahirkan kekuatan spiritual, juga akan mendapatkan ampunan Allah SWT dari dosa-dosa yang pernah dikerjakan. Bahkan, menurut Alquran, derajatnya menjadi “orang yang bertaqwa”, dengan sifatnya khasnya adalah “dermawan, mampu menjaga amarah, dan juga sangat pemaaf”.
*Penulis adalah Dosen Universitas Negeri Malang (UM).