Oleh: Mohamad Sinal*
Tugumalang.id – Judul tersebut merupakan tema lomba foto yang digelar Tugumalang.id dan Pemkot Malang dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-110 Kota Malang. Ulang tahun yang terukir dengan tinta emas dalam bingkai sejarah di tengah keanekaragaman budaya yang hidup dan berkembang di bumi Arema. Namun demikian, keharmonisan bukanlah kata “ajaib” karena menjadi penyejuk dan perekat antarbudaya yang ada.
Detak jantung selalu berdenyut. Darah kita bagai sungai yang mengalir. Tatkala keharmonisan benar-benar terwujud di tengah keriuhan viralitas dan mengguritanya aneka ragam budaya di bumi Arema tercinta.
Gerak langkah dan hidup masyarakatnya tidak mati rasa. Kecintaan mereka terhadap bumi Arema terus menerus menumbuhkan karya. Selalu bangkit dari rasa sakit, meskipun sesekali dalam posisi sulit.
Baca Juga: HUT Kota Malang ke-110, Pj Wali Kota Malang Gratiskan Semua Parkir Elektronik di 1 April 2024
Bukan hanya menjadi sejarah tetapi juga tetesan rasa. Mencair tiada kata akhir, tanpa kehilangan rasa percaya diri menjadi kota yang mandiri penuh dengan prestasi. Sehingga tidak ditemukan “kuburan massal” akibat jegal-menjegal yang berjalan di luar nalar dan akal.
Dalam Bingkai Sejarah
Mengkhidmati kota Malang yang terus bersitumbuh, dalam perspektif sejarah banyak menyimpan kisah yang berhubungan dengan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Mulai dari Kanjuruhan, Singosari, hingga Majapahit.
Dalam usianya yang ke-110 tahun, Kota Malang telah berkembang dari sebuah kewedanan menjadi kota besar yang padat dan modern. Beragam julukan telah disematkan untuk kota ini, mulai dari Kota Paris di Timur Pulau Jawa, Kota Pendidikan, Kota Wisata, dan Kota Garnisun.
Kehidupan metropolitan dan gebyar lahirnya kemajuaan baru di Kota Malang bagai buah yang sedang ranum yang membuat bumi Arema selalu tersenyum. Salam satu jiwa: “Arema” menjadi ungkapan batin yang dapat menyuling inspirasi dan prestasi.
Baca Juga: Catat! Berikut Persyaratan Lomba Foto Piala PJ Wali Kota Malang HUT 110 Kota Malang, Jangan Sampai Terlewat
Bahkan telah menjadi semboyan reflektif akan bangkitnya sebuah peradaban. Sehingga muncul kekuatan dan prestasi baru setelah belajar dari kegagalan di masa lalu. Tidak ada tirani mayoritas terhadap kelompok minoritas.
Menelisik sejarah Kota Malang pada masa lampau, tampak selalu terjaga kharisma institusional. Selalu ada pembuka jalan ke mana masyarakat itu hendak melangkah. Di antaranya, lewat kharisma personal dengan kepiawaian dan kewibawaan yang layak menjadi panutan.
Tindakan tersebut penting untuk diapresiasi. Meskipun belum dapat terlaksana seratus persen, namun tidak jauh dari harapan yang dinginkan. Dengan kata lain, dalam ukuran akal sehat siapa pun yang memimpin Kota Malang ke depan hendaknya dapat memberikan manfaat. Dengan demikian, dari generasi ke generasi tidak akan pernah sepi dari prestasi.
Kata “sejarah” berasal dari bahasa Arab “syajaratun” yang berarti pohon. Dalam konteks masa lalu mengacu pada pohon silsilah. Jadi, arti sejarah mengacu pada masalah asal usul atau keturunan seseorang.
Sejarah didefinisikan sebagai catatan masa lampau mengenai masyarakat atau peradaban manusia yang menggambarkan watak atau sifat masyarakat itu sendiri.
Dalam kehidupan bermasyarakat, kata sejarah dipahami sebagai catatan penting yang memiliki nilai tertentu. Catatan yang harus dirawat atau dijaga karena mengandung nilai-nilai tertentu yang tidak bisa dilupakan.
Bahkan, dalam pidato terakhirnya sebagai presiden, Ir. Soekarno mengeluarkan semboyanya yang dikenal dengan “JASMERAH”.(Jangan sekali-kali melupakan sejarah).
Pidato tersebut disampaikan pada hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1966. Adapun isinya mengingatkan kita untuk tidak melupakan sejarah. Apapun yang telah dicapai di masa lampau adalah awal untuk mencapai masa sekarang dan akan datang.
Jadi, alangkah dangkalnya jika sejarah Kota Malang dalam kehidupan masyarakat yang modern ini hanya dianggap sebagai cerita usang.
Menerima dan memahaminya dengan setengah hati tentang arti penting sejarah tersebut. Sebab, sejarah bukan semata-mata cerita, apabila dihayati mengandung suatu kekuatan dan nilai-nilai yang dapat diteladani.
K.H. D. Zawawi Imron, seorang budayawan dan sastrawan, bertutur: “Sebutir biji pohon yang saya tanam, akan menjadi sebatang pohon. Namun sejuta pohon yang saya tanam akan menjadi kawasan hutan” Jika sebiji pohon dan sejuta pohon diumpamakan sejarah masa lampau, maka manfaatnya dapat dirasakan sekarang dan masa yang akan datang.
Demikian pula Kota malang dalam bingkai sejarah. Secara langsung maupun tidak langsung telah mengingatkan kita, khususnya masyarakat Kota Malang bahwa kehidupan tak ubahnya seperti mozaik. Terdiri atas kepingan-kepingan cerita masa lampau yang berwarna-warni namun penuh dengan makna.
Kecintaan terhadap daerah di mana kita berada (berasal) merupakan sebuah keniscayaan. Hal tersebut dapat dimulai dari keinginan untuk memahami nilai-nilai yang terkandung dalam sejarahnya.
Sebab, dari pengalaman sejarah, seseorang melalui lubuk hati yang paling dalam akan dapat mengerti bagaimana mencintai dan menghargai dirinya dan pendahulunya.
Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi masyarakat Kota Malang untuk tidak mencintai bumi Arema. Dari bumi Arema mereka berasal, dan di bumi Arema mereka akan kembali. Dengan demikian, rasa memiliki harus lebih besar dibanding dengan rasa untuk menguasai.
Dalam Keharmonisan Budaya
Saras Dewi, seorang dosen filsafat UI, dalam tulisannya yang berjudul “Lebih dari Toleransi” menceritakan liku-liku serta sukarnya menjaga pengetahuan tentang keberagaman di Indonesia.
Dengan mengutip tulisan dari Linda Christanty, seorang peneliti dan sastrawan, Dewi memaparkan bahwa sebuah perbedaan di satu sisi memang menyenangkan, namun di sisi lain bisa mencemaskan. Menurutnya, ada ambiguitas dalam menjalani pengalaman keberagaman.
Menurut Dewi, filosofi “Bhinneka Tunggal Ika” mendorong masyarakat Indonesia untuk menghayati serta merayakan eloknya keberagaman. Keberagaman harus dipahami secara berhati-hati agar tidak menimbulkan konflik sosial. Demikian pula keragaman budaya yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai salah satu kota Pendidikan, Kota Malang telah menjadi titik temu aneka ragam budaya yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, keharmonisan budaya penting untuk dirawat dan dijaga.
Dalam bingkai keharmonisan budaya, akan tercipta keterbukaan bagi kemungkinan baru dan nilai-nilai positif lainnya untuk menghargai aneka ragam budaya.
Dalam sejarah kemanusian tidak pernah lepas dari nilai-nilai budaya yang ada. Oleh sebab itu, sikap merendahkan budaya lain perlu dilawan dengan kerendahatian. Sikap menutup diri perlu dilawan dengan sikap membuka hati.
Dalam pandangan Alissa Wahid, hal tersebut perlu dilakukan agar kita dapat memahami mengapa seseorang berbeda pendapat (budaya) denga kita.
Dalam bingkai keharmonisan budaya, sangat relevan apa yang dikatakan oleh Yudi Latif; apabila “Bingkai hidup dijalani dengan mati rasa. Hilang percaya membuat lenyap asa. Hilang arah membuang limbung langkah. Hilang cinta membuat lemah karsa. Hilang karsa membuat beku cipta”.
Lewat momen Hari Ulang Tahun ke-110 Kota Malang, semoga selalu tumbuh kekuatan serta kelahiran sejarah dan budaya baru. Yang menjadi perekat dan dapat mepererat tali-temali persaudaraan antarsesama anak bangsa, khususnya di bumi Arema tercinta. Salam satu jiwa: Arema. Salam satu bangsa: Indonesia.
*Penulis adalah dosen Polinema
Editor: Herlianto. A
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News