Tugumalang.id – Kemdikbudristek menyebut bahwa Indonesia darurat calon guru. Setidaknya, negara ini masih kekurangan jumlah tenaga pendidik hingga 1 juta guru. Angka tersebut diprediksi masih akan terus meningkat. Faktor terbesarnya karena tidak ada regenerasi.
Situasi itu mendapat perhatian dari banyak pihak. Salah satunya datang dari pemerhati pendidikan, Ketua Kampus Guru Cikal dari Yayasan Guru Belajar, Marsaria Primadonna. Dia menyatakan cukup heran dengan situasi itu. Padahal, menjadi guru adalah profesi yang membahagiakan.
Menurut dia, semakin menurunnya minat generasi menjadi guru kurang lebih akibat stigma yang ada sampai saat ini. Bahwa guru adalah profesi yang paling tidak sejahtera.
“Padahal banyak sekali kenikmatan menjadi seorang guru. Jadi guru itu menyenangkan,” kata Prima, sapaan akrabnya.
Saking menyenangkan, kata Prima, seorang guru pasti justru tidak sabar untuk kembali berangkat ke sekolah dan bertemu dengan murid-muridnya. Di situ, dia menemukan kebahagiaan tersendiri dari pandangan hingga perkembangan murid-muridnya.
Di sisi lain, seorang guru bahkan tidak perlu khawatir dengan kariernya. Ada banyak pilihan karier protean yang bisa ditekuni guru untuk menambah pundi-pundi penghasilan dan kompetensinya. Seperti menjadi guru penulis, guru content creator, guru asesor, dan masih banyak lainnya.
“Karier protean ini meski ada pekerjaan tambahan tapi bukan menjadi beban. Justru kompetensi yang dikembangkan di luar kelas ini akan bisa berdampak pada kompetensi seorang guru. Jadi uangnya dapat, ilmunya juga dapat,” terang Prima pada tugumalang.id, Jumat (20/1/2023).
Guru Cerdas Digital
Dia juga menegaskan jika guru merupakan profesi paling abadi. Ia tidak akan tergantikan oleh seberapa canggih teknologi berkembang sekali pun. Namun memang perlu kompetensi berbeda untuk bisa mengajar murid-murid abad ke-21.
Menurutnya, guru abad ke-21 harus merdeka belajar atau berpihak pada murid, memiliki kemampuan merancang kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan murid, serta cerdas digital.
Menjadi guru yang cerdas digital bukan sekedar menggunakan bermacam-macam aplikasi. Namun mampu mengintegrasikan teknologi, pedagogi, dan keahlian subjeknya untuk membuat strategi pembelajaran di kelas.
“Tentu tidak bisa disamakan ya mengajar murid di abad ke-19 dengan sekarang. Oleh karena itu, kalau di Kampus Guru Cikal, kami ada program Ayo Jadi Guru. Di program ini kami mengajak generasi muda, dengan latar pendidikan apapun. Bagaimana cara menciptakan pembelajaran yang merdeka di ruang-ruang kelas,” paparnya.
Yayasan Guru Belajar sendiri merupakan lembaga philanthropic intermediary yang memberdayakan guru menjadi penggerak perubahan melalui kolaborasi beragam organisasi penggerak: keguruan, kepemimpinan, jaringan sekolah/madrasah. Yayasan Guru Belajar bergerak melalui Kampus Guru Cikal, Kampus Pemimpin Merdeka, dan Cerita Guru Belajar.
Optimisme itu juga dirasakan Namira Fauzia, salah seorang peserta Ayo Jadi Guru (AJG). Saat ini, dia justru merasa bangga menjadi guru usai mengikuti Sesi Expert Talk di program AJG. Lewat pengalaman yang dibagikan oleh para narasumber, dia yakin jika guru bisa pembelajaran yang bermakna tanpa harus menggunakan biaya yang besar.
“Yang paling menarik saat Sesi Expert Talk karena langsung diperlihatkan contoh konkret praktik baik. Melihat sesi belajar yang anak-anaknya aktif, memotivasi saya bahwa pembelajaran seperti itu sangat dapat direalisasikan,” kata Namira.
Terkait karier sebagai seorang guru, Namira tidak khawatir dengan stigma yang ada. Lulusan S1 Sastra Arab yang saat ini sedang menempuh pendidikan S2 Ekonomi Syariah itu yakin, menjadi guru akan membuatnya bahagia.
“Saya bahagia kalau melakukan hal yang saya senangi dan bermanfaat untuk orang lain. Kalau jadi guru yang mengajarnya bisa memberi makna, pasti akan bahagia melihat output murid,” ujarnya.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A