Tugumalang – Apa yang akan terjadi jika kerusuhan 98 terjadi lagi di masa sekarang? Tayang pada 17 April 2025, film ke-11 Joko Anwar yang berjudul “Pengepungan di Bukit Duri” akan menjawab pertanyaan itu.
Tidak seperti film-film Joko Anwar sebelumnya seperti “Pengabdi Setan,” “Pintu Terlarang,” dan “Siksa Kubur” film ini merupakan campuran antara genre crime, thriller, action, drama dengan kritik sosial di Indonesia.
Spesial untuk film ini, Joko Anwar dan Come and See Pictures bekerja sama dengan salah satu studio Hollywood ternama yakni Amazon MGM Studio.
Baca Juga: 5 Film Diadaptasi dari Karya Sang Raja Horor Stephen King
Berlatar belakang di tahun 2027, “Pengepungan di Bukit Duri” menceritakan tentang seorang guru seni beretnis Tionghoa bernama Edwin (dimainkan oleh Morgan Oey).
Dia merupakan seorang guru pengganti di sebuah SMA Duri Jakarta yang sering dianggap sebagai sekolah anak buangan. Dikarenakan, kebanyakan dari siswa di SMA tersebut merupakan murid nakal dan suka membangkang.
Bahkan beberapa juga sering melakukan perundungan, terlebih kepada individu dari etnis yang berbeda.
Kedatangan Edwin tidak hanya semata menjadi guru seni, melainkan ia memiliki tujuan untuk mencari keberadaan keponakannya yang hilang.
Baca Juga: Nikmati Keajaiban! 6 Film Adaptasi Roald Dahl yang Penuh Fantasi
Sebagai seorang guru, Edwin bertekad untuk mendisiplinkan murid kelasnya dengan mengambil langkah yang tegas. Terutama ketika menghadapi salah satu murid bernama Jefri (dimainkan oleh Omara N. Esteghlal).
Dinamika di antara Edwin dan Jefri perlahan mulai keluar dari zona antara murid dan guru. Tetapi, Jefri mengaitkannya dengan diskriminasi, kebencian rasial. Perasaan benci terhadap etnis Edwin.
Namun, lebih dari sekedar drama antara guru dan murid, film “Pengepungan di Bukit Duri” film ini dapat membawa penonton merasakan rasa takut.
Takut apabila suatu saat nanti, tidak ada lagi Bhineka Tunggal Ika di Indonesia dan hilangnya kemanusiaan yang menumbuhkan diskriminasi. Isu ini menjadi benang merah yang mengikat seluruh alur cerita.
Diskriminasi yang dialami oleh karakter-karakter di dalam film tidak hanya datang dalam bentuk ujaran kebencian, melainkan berkembang menjadi bentuk perlakuan yang lebih ekstrim.
Bahkan hingga ke kematian. Hal ini menjadi cerminan nyata bagaimana diskriminasi rasial dapat melahirkan fenomena sosial yang lebih kompleks dan menyakitkan.
Joko Anwar secara berani menunjukan berbagai konsekuensi atau dampak nyata dari diskriminasi melalui filmnya. Tidak hanya menjadikannya sebagai latar, tetapi sebagai pusat dari konflik emosional dan sosial dalam film-filmnya.
Ia menghadirkan karakter-karakter yang menjadi korban sistem, baik secara sosial, budaya, maupun politik. Memperlihatkan bagaimana diskriminasi dapat menjelma dalam bentuk-bentuk kekerasan yang kasat mata maupun yang tersembunyi.
Mulai dari pembulian yang kerap terjadi, baik didalam maupun diluar lingkungan sekolah. Kerusuhan yang dipicu oleh prasangka dan ketidakadilan, kekerasan seksual yang dianggap sebagai “konsekuensi” dari perbedaan, hingga dampak pada psikologis seperti trauma berkepanjangan.
Melalui pendekatan visual yang gelap dan atmosfer yang mencekam, ia membiarkan penonton merasakan beban yang dipikul para karakter, seakan mengajak kita untuk tidak hanya menonton, tapi juga memahami.
Pengepungan di Bukit Duri dibintangi oleh jajaran aktor dan aktris berbakat, salah satunya adalah Morgan Oey. Dia seorang guru beretnis Tionghoa bernama Edwin.
Kemudian, Omara N. Esteghlal sebagai siswa dari SMA Bukit Duri bernama Jefri, Hana Pitrashata sebagai satu-satunya guru perempuan yang mengajar di SMA Bukit Duri bernama Diana, Endy Arfian sebagai siswa dari SMA Bukit Duri bernama Kristo, dan beberapa aktor lainnya.
Untuk kalian yang ingin menonton film ini di bioskop, karena film ini mengangkat isu yang sangat sensitif dan juga berpotensi memicu trauma untuk sebagian orang. Diimbau untuk menjadikan hal ini sebagai pertimbangkan sebelum memutuskan untuk menonton.
Tidak hanya sekedar tontonan yang tayang di tahun ini, “Pengepungan di Bukit Duri”adalah sebuah karya yang membuka kesadaran sekaligus tempat berdiskusi para penonton.
Melalui kisah yang emosional dan perkelahian yang penuh ketegangan, Joko Anwar mengajak penonton untuk merenungi bahaya diskriminasi dan pentingnya mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.
Film ini juga menjadi peringatan keras tentang apa yang akan terjadi jika sejarah kelam terulang kembali. Maka dari itu kita harus menjaga persatuan dan tidak tinggal diam di hadapan ketidakadilan.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: Keshia Putri Susetyo/Magang
Editor: Herlianto. A