Oleh: Dr KH Abdurrahman SHI MPd*
Tugumalang.id – Beragam itu pasti. Terdapat dua keniscayaan dalam kehidupan manusia, keniscayaan pertama adalah bahwa Tuhan menciptakan manusia dari dua jenis yang berbeda, laki-laki dan perempuan.
Keberlangsungan kehidupan manusia justru harus bermula dari dua jenis yang berbeda ini. Berawal dari persatuan dua jenis yang berbeda ini, kemudian Tuhan ciptakan manusia dalam keberagaman, perbedaan-perbedaan dan kebhinekaan.
Wahai manusia, sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, (QS. Al-Hujurat: 12).
Dari sini menjadi jelas bahwa pluralitas adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia, keniscayaan yang menjadi sistem keberlangsungan kehidupan manusia itu sendiri.
Keberagaman dan perbedaan-perbedaan ini memicu keniscayaan yang kedua, tentu dengan kadar, bentuk dan frekuensi yang berbeda-beda pula. Yaitu bahwa atas nama perbedaan-perbedaan, manusia kerap kali berselisih, bersinggungan, berbeda pandangan, bersitegang, bermusuhan, bahkan saling menyakiti satu sama lain.
Katakanlah (Muhammad), Dialah yang berkuasa mengirimkan azab kepadamu, dari atas atau dari bawah kakimu, atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang berbeda-beda) dan merasakan kepada sebagian kamu perbuatan jelek sebagian yang lain, (QS. Al-An’am: 65).
Terdapat tiga jenis azab yang dapat diturunkan oleh Allah kepada manusia, dua diantaranya adalah azab geografis, baik dari atas langit maupun dari perut bumi. Sementara yang ketiga adalah azab sosial-demografis, yang dipicu dari keberagaman dan perbedaan bangsa serta golongan.
Ketika ayat ini turun, dan Allah menyatakan azab yang pertama dan kedua, yaitu azab dari atas langit (min fawqikum) dan azab dari bawah perut bumi (min tahti arjulikum), Nabi spontan memohonkan perlindungan agar Kedua jenis azab ini tidak turun kepada umatnya.
Namun ketika disebutkan jenis azab yang ketiga, Nabi menyadari bahwa ini adalah keniscayaan yang nyata dalam kehidupan manusia, (HR. Al-Bukhari: 7313).
Perdamaian itu pilihan
Islam mengajarkan satu hal yang seharusnya menjadi pilihan bersama yaitu perdamaian, yang berakar kata dari assalam. Sehingga sesungguhnya perdamaian adalah identitas utama dari agama Islam yang diindikasikan dari nama Islam itu sendiri.
Begitu banyak diksi di dalam Islam yang mengajarkan perdamaian, yang kemudian perilaku perdamaian tersebut menjadi karakter utama dari seorang muslim sejati.
Seorang muslim yang sejati adalah seseorang yang orang lain selamat dari kejahatan lisan dan perbuatannya, (HR. Al-Bukhari: 10).
Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Iya dilarang untuk berbuat aniaya, mencela dan menghinakan martabat saudaranya, (HR. Ahmad: 20688).
Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih (‘ibad Ar-Rahman) itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, salām, (QS. Al-Furqan: 63).
Berbagai diksi ini mengajarkan dengan tegas bahwa seorang muslim harus memiliki akhlak yang baik dan perilaku yang elok terhadap sesamanya. Pribadi-pribadi yang akan menjadi inspirasi, contoh dan teladan dalam perdamaian. Sebab itu akhlak yang mulia adalah pondasi yang harus dikuatkan pada diri setiap muslim.
Aku diutus hanya dalam rangka menyempurnakan akhlak yang mulia, (HR. Al-Baihaqi: 20782).
Belajar berdamai dari Sya’ban
Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa penamaan bulan Sya’ban merujuk pada kebiasaan orang-orang Arab masa lalu, yang kerap kali terpecah dalam beberapa kelompok, disebabkan perebutan dominasi terhadap sumber air atau karena berbagai peperangan, (Az-Zabidi, 2001).
Menjadi sesuatu yang unik, ketika perselisihan masa lalu yang kemudian menjadi perpecahan ini bahkan menjadi permanen dalam nama sebuah bulan dalam tradisi bulan Qamariyah. Ini menurut penulis, adalah salah satu indikasi kuat dari proses keberagaman yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Dalam bulan Sya’ban juga dikenal secara majmuk adanya suatu malam yang sangat dituliskan, yaitu malam nisfu Sya’ban, malam tanggal 15 di bulan Sya’ban. Di malam ini salah satu yang sangat istimewa adalah pemberian ampunan Tuhan untuk siapa saja, kecuali 2 orang.
Allah Swt memberikan maaf di malam nisfu Sya’ban untuk seluruh manusia, kecuali mereka yang musyrik dan yang masih memiliki kedengkian kepada sesamanya, (HR. Ibn Hibban: 791).
Hadits ini memberikan isyarat tegas bahwa perilaku permusuhan, kedengkian, pelecehan dan aniaya kepada yang lain adalah perilaku yang sangat dikecam dalam Islam, bahkan disejajarkan dengan perilaku musyrik.
Terutama dalam hal tertutupnya pintu ampunan Tuhan. Dalam riwayat lain, perilaku berdamai justru menjadi kunci pembuk pintu ampunan Tuhan yang lagi tertutup tersebut.
Pintu surga dibuka setiap hari senin dan hari kamis, dalam rangka Tuhan memberikan ampunan untuk semua hamba-hamba, kecuali seseorang yang masih ada kedengkian antara dirinya dengan saudaranya. Dikatakan; tangguhkan terlebih dahulu (pengumpulan Tuhan untuk mereka berdua) sampai keduanya berdamai, (HR. Muslim: 2565).
Tidak halal bagi seorang muslim, tidak menghiraukan saudaranya selama lebih dari tiga hari. Mereka saling bertemu (namun) menolak (bertemu) dengan yang ini dan yang itu. (Sungguh) yang paling baik dari keduanya adalah yang memulai (menyapa) dengan salam, (HR. At-Thabrani: 914).
Tulisan ini berusaha untuk menggugah kesadaran tentang ajakan Islam untuk selalu menyebarkan perdamaian. Terlebih pada akhir bulan Sya’ban tahu ini, menjelang bulan suci Ramadhan 1444 H, bulan suci umat Islam yang menuntun setiap muslim untuk suci secara lahir dan batin.
*Direktur Pascasarjana IAI Al-Qolam Malang dan Ketua ICMI Orda Kabupaten Malang