Oleh : Muhammad Hilal*
Tugujatim.id – Sehubungan dengan kembalinya kekuasaan Taliban di Afghanistan, maka bangsa itu kembali diliputi ketidakpastian. Dari perkembangan berita tentangnya, kita jadi bertanya-tanya tentang masa depan negara itu. Tentu kita mengharapkan hal terbaik bagi segenap bangsa Afghanistan.
Harapan semacam itu tercermin kuat dalam film Baran yang disutradarai Majid Majidi. Menonton film ini meninggalkan kesan yang ganjil namun syahdu. Ada kekuatan magis yang seolah sanggup menancapkan harapan dan doa terbaik agar Afghanistan bisa melalui segala cobaan berat yang sedang dihadapinya.
Kisahnya berkisar tentang para pengungsi Afghani di negara Iran. Sejak perang 10 tahun antara Mujahidin dengan serdadu Uni Soviet, lalu perang sipil 1992-1996, lalu naiknya Taliban ke tampuk kekuasaan Afghanistan, negara Iran menampung jumlah pengungsi Afghani yang cukup banyak. PBB mencatat, tahun 2001 terdapat 780.000 pengungsi Afghani di beberapa kota di Iran. Jumlah sebenarnya mungkin lebih banyak lagi.
Para pengungsi itu hidup dalam serba kesulitan. Jika mereka beruntung, mereka bisa dapat surat resmi yang bisa digunakan untuk hidup layak seperti bekerja atau bahkan terbang ke negara lain. Namun jika tidak beruntung, mereka akan bekerja serabutan tidak tentu juntrungannya. Film Baran menyingkap kehidupan para pengungsi Afghani yang kurang beruntung itu.
Sebuah gedung bertingkat sedang dibangun yang dimandori oleh Memar (diperankan Mohammad Amir Naji). Selain mempekerjakan orang lokal, Memar juga merekrut orang Afghani pengungsi secara ilegal. Jika pengawas bangunan terlihat datang di kejauhan, Memar akan berteriak-teriak agar para tukang afghani bersembunyi, lalu para tukang itu kalang-kabut berlarian ke sudut-sudut bangunan.
Seorang pemuda lokal berusia belasan, mungkin 17 tahun, bernama Lateef (Hossein Abedini) turut bekerja di situ. Kerjanya adalah menyiapkan teh istirahat dan makanan buat para tukang. Namun anak ini rupanya kurang becus dalam urusan dapur, juga sering ribut sama para tukang. Hal itu membuat Memar kesal.
Singkat cerita, karena ketidakbecusannya itu, Lateef dipindah-tugaskan ke bagian tukang. Urusan dapur diberikan pada bocah Afghani yang usianya lebih muda lagi, mungkin 15 tahun, bernama Rahmat (Zahra Bahrami).
Rahmat bekerja di pekerjaan konstruksi itu karena menggantikan bapaknya yang bernama Najaf (Gholam Ali Bakhshi). Beberapa hari sebelumnya Sultan kecelakaan di situ, jatuh dari loteng dan kakinya patah. Dalam film ini, Rahmat digambarkan sebagai bocah yang pemdiam dan berwajah sendu. Dalam pandangan sekilas saja, penonton sudah bisa menebak bahwa Rahmat ini sebenarnya adalah perempuan.
Apalagi, digambarkan bahwa Rahmat sangat pintar dalam urusan dapur. Para tukang memuji-muji teh dan makanan yang dibikin Rahmat. “Akhirnya kita dapat teh sungguhan,” tutur salah seorang tukang sambil tersenyum saat istirahat kerja.
Kenyataan itu membuat Lateef sangat mengkal. Dia menganggap bahwa Rahmat telah mencuri pekerjaannya. Dengki dan iri menggerogoti hatinya, hingga beberapa kali Lateef berbuat semena-mena pada Rahmat. Lateef pernah menampar Rahmat, dapur bangunan juga pernah diobrak-abriknya.
Saat menampar Rahmat, Lateef juga meneriakinya dengan ucapan: “Kau mencuri pekerjaanku!” Adegan ini, tak pelak, adalah gambaran simbolis dari ketakutan sebagian orang lokal pada para pengungsi, termasuk pengungsi Afghani. Ketakutan semacam itu juga terjadi di mana-mana hingga kini, dan menjadi isu penting dalam relasi penduduk asli dengan kaum imigran. Di Eropa, isu ini jadi masalah, bahkan di Amerika Serikat jadi rumit karena berkelindan dengan isu rasial.
Majid Majidi, sang sutradara, memang sangat piawai membaca tanda-tanda zaman dan memolesnya menjadi film yang apik. Dalam film Baran ini, banyak sekali gambaran-gambaran simbolis dan tersirat yang dikemas dalam adegan-adegan tertentu.
Perlakuan jahat Lateef pada Rahmat seketika berubah setelah secara tidak sengaja dia tahu bahwa Rahmat adalah perempuan. Di balik kain tirai dapur dan melalui pantulan cermin, Lateef melihat perempuan itu sedang menyisir rambutnya yang panjang. Itu adalah titik balik bagi Rahmat.
Bersamaan dengan titik balik itu, tibalah saatnya Rahmat tidak lagi bekerja di konstruksinya Memar. Penyebabnya adalah karena Rahmat kepergok pengawas bangunan di depan gedung. Untungnya, Lateef berhasil mencegah para pengawal pengawas menangkap Rahmat setelah aksi kejar-kejaran yang dramatis. Namun aksi penyelamatan itu membuat seluruh pekerja Afghani terusir dari konstruksinya Memar.
Lateef belum sempat berkenalan lebih jauh dengan perempuan yang menyamar sebagai Rahmat itu. Kepergiannya membuat hari-hari Lateef jadi lesu.
Saat liburan kerja, Lateef memanfaatkan kesempatan itu untuk pergi ke penampungan pengungsi Afghani. Setelah bertanya ke sana-kemari, akhirnya Lateef tahu lokasi rumah Najaf, ayah perempuan yang menyamar itu. Di pinggir sungai, Lateef melihat perempuan itu bekerja mengangkut batu. Itu pekerjaan sangat berat dan perempuan itu terlihat sangat kewalahan. Dia sempat terjatuh ke sungai karena kelelahan. Dia tampak kedinginan.
Pemandangan itu membuat Lateef tergerak untuk membantunya dan ayahnya. Lateef memberikan uang tabungannya yang banyak sebagai pinjaman pada Sultan. Lateef tahu bahwa sultan akan kesulitan mengembalikannya dalam waktu dekat karena kondisinya belum memungkinkan untuk bekerja, namun Lateef tidak terburu-buru.
Singkat kata, Lateef kemudian berkali-kali membantu Sultan dalam hal keuangan. Meski sama-sama berketerbatasan secara finansial, namun hatinya tergerak membantu menyaksikan kesulitan hidup yang dihadapi perempuan itu.
Belakangan, Lateef tahu bahwa nama perempuan itu adalah Baran, dan tidak lama kemudian tersiar kabar bahwa Najaf sekeluarga harus pulang ke Afghanistan karena kondisi keluarganya di sana sedang kesulitan.
Lateef membantu Baran mengangkat barang-barang ke mobil truk. Baran terlihat mengenakan burkak, jilbab yang biasanya dikenakan perempuan Afghani itu, namun dengan terbuka memperlihatkan wajahnya dan pakaiannya. Sembari berjalan ke mobil, Baran menutup burkaknya menghijabi seluruh tubuhnya.
Dan Baran pun pergi, menutup film itu, tanpa kejelasan mengenai nasibnya kemudian. Namun tampaknya itulah yang hendak disampaikan film ini. Seiring tanda tanya mengenai nasib Baran, kita mengharap dan mendoakan kebaikan di pihaknya. Itulah gambaran nyata mengenai harapan dan doa kita untuk Afghanistan.
Sepuluh tahun setelah film ini rilis, terjadilah peristiwa 9/11 dan beberapa saat kemudian Amerika Serikat menginvasi Afghanistan. Sekali lagi, negara ini diliputi ketidakpastian. Penderitaan terbesar tentu diderita oleh rakyat kecil.
20 tahun setelah film ini rilis, Amerika Serikat yang tidak tahu malu itu hengkang dari Afghanistan. Secara mengejutkan, Taliban kembali menguasai negara itu dengan tanpa perlawanan berarti dari serdadu bentukan Amerika. Lagi-lagi, kita menyaksikan ketidakpastian di negara itu.
Belakangan tersiar kabar ada beberapa kelompok internal Afghanistan menolak kekuasaan Taliban di pucuk kekuasaan. Yang paling jadi sorotan adalah kelompok Ahmed Massoud. Dalam konteks Afghanistan, ini sangat berpotensi jadi perang sipil lagi.
Masa depan Afghanistan sungguh tidak menentu.
Namun, berkali-kali disampaikan dalam tulisan ini, doa dan harapan terbaik selalu untuk rakyat Afghanistan. Seperti tergambar apik dalam film Baran.
Baran dalam bahasa Parsi berarti hujan. Dalam konteks timur tengah yang tandus dan berbatu, hujan selalu berarti kabar baik. Seiring kepergian Baran di penghujung film, kita selalu menunggu kabar tentangnya. Kabar tentang Baran, kabar tentang hujan, berarti kabar baik tentangnya, tentang rakyat Afghanistan.
Biodata Film :
Judul: Baran
Sutradara: Majid Majidi
Pemeran: Hossein Abedini, Zahra Bahrani, Mohammad Amir Naji, Abbas Rahimi, Gholam Ali Bakhshi
Rilis: 31 Januari 2001
Durasi: 94 menit
Asal: Iran
