Tugumalang.id – Ketua Indonesian Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, meminta kepolisian, dalam hal ini Polda Jatim bertindak akuntabel dan transparan dalam penegakan hukum atas Tragedi Kanjururhan yang menewaskan 135 orang dan 600 lebih korban luka-luka.
Selain itu, dia juga mendorong Aremania, khususnya keluarga korban untuk pro aktif dalam mengawal setiap prosedur penegakan hukum yang dilakukan kepolisian. Pasalnya, selama ini IPW tidak banyak mendapatkan laporan masyarakat terkait hal ini.
Sebelumnya, Aremania juga telah melancarkan aksi turun ke jalan dan mengkritisi penegakan hukum oleh pihak kepolisian. Banyak hal dipertanyakan. Mulai dugaan penculikan saksi, proses autopsi yang terlambat dilakukan, rekonstruksi kejadian yang tidak dilakukan di lokasi hingga penerapan pasal yang ganjil.
Sugeng berharap dalam penyusunan berkas perkara Tragedi Kanjuruhan juga menyerap aspirasi dari para Aremania, khususnya keluarga korban. Menurut dia, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi karena sejumlah bukti sudah kuat. Peristiwa ini sebenarnya kata dia juga bisa dijelaskan secara sederhana.
“Sejauh ini kami belum mendapat pengaduan sama sekali soal ini (prosedur, red). Tapi tetap kami akan mengawal agar proses hukumnya mengedepankan asas keadilan dan sesuai prosedur,” harap Sugeng dihubungi tugumalang.id, Kamis (5/1/2023).
Pada prinsipnya, jika memang ditemukan dugaan cacat prosedur, seharusnya dilaporkan ke Wasidik. Lalu, jika berkaitan dengan kode etik bisa diadukan ke Propam, Kapolri atau bahkan Presiden. Langkah ini sebenarnya juga sudah dilakukan Aremania.
“Keberatan itu harus disampaikan. Di sisi lain, pihak kepolisian harus terbuka dan lebih peka. Aremania juga bisa minta surat pemberitahuan perkembangan atau hasil penyidikan (SP2AP). Mereka berhak mendapat itu,” terangnya.
4 Kejanggalan Tragedi Kanjuruhan Menurut IPW
Sejauh ini, Sugeng mencoba mengomentari satu per satu dugaan pelanggaran prosedur itu. Pertama, soal dugaan adanya penculikan hingga intimidasi saksi pasca tragedi, menurut dia itu menyalahi aturan. “Harus dilaporkan ke Propam, jika memang benar-benar ada,” tegasnya.
Kedua, soal pelaksanaan autopsi yang baru dilakukan sebulan pasca tragedi, menurut dia itu juga janggal. Seharusnya, proses autopsi dilakukan secepatnya. Tanpa harus menunggu didesak pihak korban. Ini mengingat yang diperiksa adalah soal kandungan gas air mata.
Hanya saja, dalam proses itu juga terbilang sulit karena korbannya mencapai ratusan dan harus dilakukan ahli forensik independen. Mulai model pengujian gas air mata, jenis kandungannya hingga potensi berbahaya terhadap tubuh itu seperti apa.
“Memang perlu waktu. Tapi saya harap juga harus disampaikan secara gamblang. Penyidik juga harus transparan soal ini. Mungkin waktu itu polisi melihat tragedi ini bisa disimpulkan hanya dengan visum luar,” kata dia.
Ketiga, Sugeng juga sepakat agar Aremania atau keluarga korban menolak hasil rekonstruksi yang tidak digelar di lokasi kejadian. Menurut dia, itu perlu dikritisi karena berkas perkara yang dibuat tidak berdasar situasi yang nyata di dalam stadion.
Apalagi dalam berkas perkara itu juga diketahui tidak melampirkan penembakan gas air mata ke arah tribun. Padahal, video yang beredar sudah jelas gas air mata ditembakkan ke arah tribun.
“Jadi memang harus diajukan keberatan, dalam hal ini polisi juga tidak boleh menolak ajuan keberatan itu,” paparnya.
Keempat, soal penerapan pasal 359 dan 360 KUHP menurut Sugeng masih dalam koridor tepat. Karena tuntutan pasal 338 dan 340 KUHP yang digugat Aremania berpotensi lemah pembuktiannya di meja pengadilan.
Kenapa? Menurut Sugeng, penembakan gas air mata yang dilakukan tidak mengandung unsur kesengajaan. Namun kelalaian. Kata Sugeng, itu murni terjadi karena ketidakprofesionalan aparat Brimob di lapangan.
“Memang tidak ada unsur sengaja membunuh dari aparat Brimob. Yang terjadi, mereka melepas tembakan GAM itu tujuannya ya untuk mengurai massa,” paparnya.
“Namun tindakan itu tidak disertai pemahaman dan koordinasi yang baik. Mereka juga tidak menduga ada pintu yang tertutup saat suporter lari. Karena suporter yang lari ke pintu terbuka itu juga ada dan mereka masih hidup,” imbuhnya.
Aparat Brimob juga tidak memahami akibat dari tindakan mereka bisa berpotensi menimbulkan kematian. “Yang mereka tahu itu, GAM hanya bisa menyebabkan sesak nafas sesaat dan mata perih saja,” kata dia.
Selain itu, dalam pengamanan itu juga aparat tidak membawa senjata api yang jelas digunakan untuk membunuh. “Kan di situ yang dibawa senjata GAM, jadi memang digunakan untuk mengurai massa,” katanya.
“Jadi sekiranya ditembakkan lalu tidak ada korban itu tetap salah dan bisa dituntut ganti rugi. Namun unsur kesalahan ini mengakibatkan kematian dan bisa dikenakan Pasal 359 dan 340 KUHP itu,” jelas Sugeng.
Di sisi lain, IPW juga meminta tanggung jawab dari federasi, dalam hal ini PSSI secara penuh. Korban berhak mendapat kompensasi, yang tidak hanya dalam bentuk uang. Tapi pernyataan PSSI untuk bertanggung jawab atas kelalaian mereka terhadap penyelenggaraan pertandingan.
“Bukan kayak sekarang, pimpinannya enggak mundur-mundur. Liga jalan lagi. Harusnya kan waktu itu Liga distop. Biar jadi pembelajaran semua pihak,” ujarnya.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A