MALANG, Tugumalang.id – Hasil bulan timbang Februari 2023 menunjukkan bahwa angka prevalensi stunting di Kabupaten Malang turun menjadi 6,7 persen. Sebelumnya, pada bulan timbang Agustus 2022, angka prevalensi stunting di Kabupaten Malang masih 7,8 persen.
Pada Februari 2023, terdapat 150.442 balita yang diukur. Dari pengukuran tersebut, sebanyak 10.128 balita yang memiliki tinggi badan kurang, 10.423 balita mengalami berat badan yang kurang, dan 7.306 balita mengalami gizi kurang. Dinas Kesehatan Kabupaten Malang juga mencatat terdapat 1.034 balita yang kurang dari segi tinggi, berat, dan gizi.
“1.034 balita tersebut butuh penanganan khusus lebih lanjut,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, drg Wiyanto Wijoyo, belum lama ini.
Angka prevalensi stunting paling tinggi berada di Kecamatan Bululawang, yakni 21,1 persen dan diikuti Kecamatan Pujon dengan angka 17,7 persen. Sementara kecamatan dengan angka prevalensi stunting paling rendah adalah Poncokusumo, yaitu 0,2 persen.
Menurut Wiyanto, penimbangan balita ini dilakukan dengan menggunakan alat seadanya. Idealnya, penimbangan dan pengukuran balita dilakukan dengan antropometri kit. Namun, alat-alat ini belum tersedia di semua puskesmas di Kabupaten Malang.
Oleh karena itu, angka prevalensi stunting yang diakui adalah melalui metode sampling Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) karena menggunakan antropometri kit. Menurut SSGI, di tahun 2022, angka prevalensi stunting di Indonesia masih 24 persen dan tahun 2023 ini turun menjadi 20 persen.
“SSGI hanya berupa sample (tidak semua balita), sedangkan di bulan timbang dilakukan secara menyeluruh pada semua balita,” kata Wiyanto.
Di dalam menekan angka stunting, Dinas Kesehatan Kabupaten Malang telah bekerja sama dengan berbagai pihak dan memberikan bantuan berupa makanan bergizi. “Kami memberikan susu dan makanan tambahan,” tutur Wiyanto.
Salah satu kendala dalam menekan angka stunting di Kabupaten Malang adalah perilaku dari orang tua yang susah diubah. Meskipun Pemerintah Kabupaten Malang telah memberikan bantuan makanan bergizi, terkadang makanan tersebut malah diberikan ke sang kakak atau orang lain, bukannya ke balita yang membutuhkan.
“Ini menyebabkan kasus stunting tidak selesai. Sedangkan kami tidak bisa melakukan pemantauan 24 jam,” ujar Wiyanto.
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
editor: jatmiko