Oleh: Yusron Hapizullah*
Tugumalang.id – Apa yang akan terjadi jika pisau diberikan pada chef Juna dan Michael Myers, tokoh pembunuh dalam serial Halloween? Anda pasti sudah tahu jawabannya. Dari tangan chef Juna akan tersaji masakan yang enak di atas meja, sementara dari tangan Myers akan tertumpah darah. Dalam hal ini pisau bersifat netral bergantung pada siapa yang menggunakan.
Begitulah ilustrasi sederhana kehadiran internet di tengah-tengah kehidupan kita saat ini yang sudah sangat bergantung padanya. Internet bisa melahirkan dampak positif jika digunakan dengan benar, sebaliknya akan menjadi petaka bila dimanfaatkan dengan salah.
Lalu bagaimana dengan internet yang kita pakai di hampir setiap lini kehidupan ini, apakah kita memanfaatkannya sebagaimana chef Juna menggunakan pisau, atau sebagaimana Myers menciptakan kekacauan?
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan Adalah Catatan Penting
Pada prinsipnya, internet membantu kita terhubung dengan banyak orang. Yang tadinya jauh terasa dekat, tapi bisa juga sebaliknya membuat yang dekat tak terlihat, yang ramah di dunia nyata bisa menjadi brutal di dunia maya.
Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa manusiakah kita dengan internet? Atau seberapa binatangkah kita? Kenapa pertanyaan ini muncul, tentu Anda tahu alasannya. Jika belum tahu, silahkan lanjut membaca artikel ini.
Medsos, Kepalsuan yang Digandrungi
Untuk menjawab dua pertanyaan di atas, mari berselancar sambil berenang di lautan medsos, anak cucu dari internet. Tapi hati-hati resiko tenggelamnya sanggat tinggi, terlalu besar arus dan gelombang informasi yang datang dari berbagai penjuru (disrupsi).
Berselancar dimulai. Apa yang Anda temukan di medsos? Berbagai bentuk dan jenis manusia akan Anda jumpai bertebaran dan berkicau dengan genre masing-masing. Keberadaan mereka di medsos seolah sekaligus eksistensi mereka.
Jika pada abad modern Pemikir Prancis, Rene Decartes, mengatakan “I think therefor I am” (aku berpikir maka aku ada), mungkin Descartes ala now akan mengatakan “aku online maka aku ada”.
Frasa modifikasi Descartes itu bisa dipahami bahwa orang-orang kini berlomba-ria menggelar-tampilkan eksistensi mayanya. Si miskin yang gengsi akan memakai topeng si kaya, si burik akan tampil menawan dengan bantuan filter aplikasi, si kaya menyebarkan-tontokan kedermawanannya, dan sederet kepalsuan lainya.
Bahkan satu orang di dunia nyata bisa menyusup dan menjadi beragam pridai di akun-akun yang berbeda, fenomena bazer misalnya. Ia sengaja diproduksi masal dan dikloning oleh pabrik-pabrik penjual isu murahan, berita bohong, makian, fitnah dan berbagai kotoran lainnya. Umumnya mereka berkolaborasi dengan bandit-bandit yang haus kekuasaan.
Lalu, informasi yang bau-membusuk itu bermuara di kepala Anda seolah menjadi tempat pembuangan alias septic tank. Yang isinya bertera-tera bit informasi sampah dan receh dan itu bisa menghantam akal sehat, lalu Anda menjadi gagap dan latah.
Pepatah Arab klasik mengatakan kullu saqith laqith (setiap benda jatuh, pasti ada yang memungutnya). Begitupun informasi yang berhamburan di jagat maya. Ia dipungut, ditelan dan dimuntahkan lalu dibagi-sedekahkan oleh golongan “amatiran”, bahkan orang-orang yang berada di bawah “standar amatir” merasa menajadi pakar dengannya.
Follower Segalanya
Mengapa demikian, memang standar kebenaran diukur dari banyaknya followers. Gila sih. Semakin banyak yang mengikuti maka Anda aka dipuji serta kebenaran berada di genggaman. Ini sebagaimana dikhawatirkan Tom Nichols dalam “The Death of Expertise” (matinya kepakaran).
Publik lebih menerima pendapat dari selebgram yang tengah viral daripada argumetasi para ahli yang teruji melalui kajian ilmiah mereka. Bahkan sepuluh ribu penonton bola yang tengah menonton di stadion mendadak menjadi pelatih yang mengomentari habis setiap pemain.
Informasi yang masih dipertanyakan kebenarannya diviralkan bila sesuai seleranya, merangsang yang lain untuk berkomentar alias nyinyir. Bahkan, tak jarang dipenuhi komentar dengan begitu brutal dan caci maki. Kemudian diramaikan pengadu domba, spesialis fitnah yang begitu lihai menggoreng, memanggang isu-isu receh dan hoaks.
Tak pelak kebenaran terlihat seperti kebohongan begitupun sebaliknya, sehingga tidak bisa membedakan anatara berita dengan opini, ujaran kebencian, fitnah, disinformasi bercampur menjadi satu.
Inilah era, menurut Herlianto. A dalam bukunya Secangkir Kopi Filsafat, yang bertumpu pada 3 hal: framing (membingkai peristiwa), signing (permainan tanda), dan priming (penonjolan bagian-bagian tertentu). Inilah era orang-orang menyebutnya sebagai Post-Truth.
Bagaimana dengan netizen Indonesia? Microsoft dalam laporannya yang berjudul Digital Civility Index (DCI) menjelaskan tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang tahun 2020.
Dalam laporan tersebut netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara alias akhlaknya dapat nilai “D” atau kesopan-santunan yang buruk. Fakta lain meunjukkan bahwa minat baca orang-orang Indonesia sangat rendah.
Dalam riset yang dilakukan Central Connecticut State University pada maret 2016 yang bertajuk World’s Most Litarate Nations Ranked, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca, berada di atas Bostwana (61) di bawah Thailand (59). Barangkali, ini bekelindan dengan belum membaiknya dunia maya kita saat ini.
Fakta-fakta peradaban internet ini mengingatkan kita dengan pepatah lama yang mengatakan “tong kosong nyaring bunyinya”. Apakah pepatah itu mewakili warganet Indonesia?
Anda tahu jawabannya. Tentu ini adalah tantangan bagi kita semua, untuk mendorong diri kita sendiri, lingkungan terdekat dan publik itu sendiri untuk dapat memanfaatkan internet dan medsos sebagaimana chef juga menggunakan pisau bukan Michael Myer, agar bertebaran manfaat bagi kita semua dan para generasi berikutnya.
*Penulis adalah mahasiswa STF Al Farabi sekaligus santri Pesantren Luhur Baitul Hikmah
Editor: Herlianto. A