MALANG – Tim Gabungan Aremania menemukan 10 fakta terkait tragedi Kanjuruhan. Temuan itu diperoleh dari pengumpulan barang bukti hingga keterangan saksi dan korban pasca tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 132 jiwa itu.
Tim Gabungan Aremania juga telah menggali keterangan dari Panpel, petugas keamanan pertandingan, manajemen Arema FC hingga keterangan ahli kesehatan dan forensik.
Sebagaimana diketahui, Tim Gabungan Aremania telah membentuk tim pencari fakta yang terdiri dari beberapa personel berbagai latar belakang. Adapun 10 fakta temuan itu di antaranya:
1. Sebelum pertandingan, sudah ada koordinasi 4 kali antara pihak kepolisian, Panpel, Manajemen Arema FC, Komunitas Aremania dan pihak-pihak terkait yang memunculkan kesepakatan bahwa pertandingan tak dihadiri Bonek, tak ada swiping plat L, aparat tak akan melakukan tindak represif dan penggunaan gas air mata.
2. Tim Gabungan Aremania menemukan fakta informasi bahwa penyelenggara pertandingan menyerahkan pembiayaan pengamanan ke pihak kepolisian sebesar Rp174 juta.
3. Jumlah penonton dalam pertandingan tersebut secara umum masih sesuai dengan kapasitas Stadion Kanjuruhan.
4. Kontrol petugas pengamanan dari personel Polri pada pertandingan ini bukan menjadi tanggungjawab Panpel, akan tetapi ada di bawah rantai komando kepolisian.
5. Berdasarkan dokumen kepolisian Sprint/1606/IX/PAM.3.3/2022 tanggal 28 September 2022, jumlah personel pengamanan yang dihadirkan sejumlah 2.034 personel, termasuk di antaranya 300 personel dari Brimob Polri.
6. Sejak awal, personel Brimob dan sejumlah personel Sabhara Polres Malang yang ditempatkan di lokasi pertandingan telah dipersenjatai dengan gas air mata. Personel Brimob, diduga menggunakan multi-smoke projectile yang satu selongsong bisa meletuskan sampai lima proyektil. Sementara personel Sabhara diduga menggunakan gas air mata single amunisi.
7. Setelah pertandingan selesai, sejumlah penonton turun ke lapangan. Ini adalah tradisi yang sudah biasa dilakukan. Namun hal ini direspon dengan berlebihan dengan beragam tindak kekerasan aparat Kepolisian dan TNI yang kemudian dilanjutkan dengan penembakan gas air mata oleh pasukan Brimob dan Sabhara.
8. Personel Brimob pertama kali menembakkan gas air mata pada pukul 22.08 WIB yang diarahkan ke tribun selatan. Selanjutnya secara bertubi-tubi, tembakan gas air mata dilakukan setidaknya 11 kali oleh tujuh orang yang berbeda. Penembakan gas air mata berakhir pada pukul 22.15 WIB.
9. Saksi dan video rekaman menunjukkan bahwa personel Brimob dan Sabhara melakukan tindak kekerasan di bawah atas sepengetahuan perwira Polisi yang memimpin di lapangan.
10. Terdapat 32 CCTV di Stadion Kanjuruhan yang merekam kejadian mematikan di sejumlah gate di tribun selatan. Fakta-fakta yang terjadi telah terekam dalam CCTV.
Kekerasan Berlebihan, Sistematis dan Terkomando
Dari 10 temuan tersebut, Tim Gabungan Aremania menyimpulkan bahwa tragedi Kanjuruhan bukanlah kerusuhan, melainkan kekerasan berlebihan yang secara sengaja dilakukan oleh aparat secara terstruktur, sistematis dan terkomando.
“Tragedi kemanusiaan pada 1 Oktober itu bukan kerusuhan, tapi tindak kekerasan berlebihan yang secara sengaja dilakukan oleh personel Polri dan TNI secara terstruktur dan sitematis sesuai rantai komando,” kata Irfan Andi, Sekjen Federasi KonstraS yang juga termasuk dalam bagian Tim Gabungan Aremania pada Jumat (14/10/2022) malam.
Dia mengatakan, tindakan kekerasan yang paling mematikan adalah penembakan gas air mata. Dia menduga, penembakan gas air mata itu dilakukan dibawah perintah perwira di lapangan yang juga diduga di bawah kontrol perwira tertinggi di wilayah Polda Jatim.
Selain itu, pihaknya juga menarik kesimpulan bahwa penyebab utama kematian masal itu diduga kuat akibat gas air mata. Hal itu yang kemudian memicu ribuan suporter panik dan berdesak desakan di pintu maut.
Menurutnya, tindakan aparat telah memenuhi unsur tindak pidana penyiksaan dan pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 KUHP dan Pasal 338 KUHP.
“Tindakan aparat keamanan dalam peristiwa ini menunjukkan tindakan serangan sistematik kepada penduduk sipil. Ini juga adalah pidana kejahatan kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM,” ucap Irfan.
Atas dasar itu, pihaknya Komnas HAM melakukan penyelidikan Pro Justiia atas dugaan kejahatan kemanusiaan dalam tragedi Kanjuruhan.
Pihaknya juga menuntut Divisi Propam Polri memeriksa seluruh personel dan perwira polisi yang terlibat dan bertanggunjawab di lapangan. Termasuk Kapolda Jatim yang memiliki wewenang dalam kelangsungan penyelenggaraan sepakbola yang berakhir menjadi tragedi berdarah itu.
“Kami juga menuntut dilakukan autopsi atas semua korban meninggal dalam tragedi ini. Negara juga wajib memulihkan kesehatan dan kerugian materiil dan immatreriil pada seluruh korban,” tandasnya.
Reporter: M Sholeh
Editor: Herlianto. A