MALANG, Tugumalang.id – Kerasnya dinamika yang dilalui para mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) selama ini ternyata berdampak signifikan terhadap kualitas kesehatan mental dan jiwanya. Tak sedikit dari mereka mengalami gejala depresi selama proses pendidikan tersebut.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri telah merilis data mengejutkan jika sebanyak 22,4 persen mahasiswa PPDS mengalami gejala depresi. Data yang didapat dari hasil skrining di 28 rumah sakit vertikal itu menyebutkan ada 2.716 calon dokter mengalami gejala depresi. Bahkan 3 persen dari mereka punya keinginan untuk bunuh diri.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Reporter kami mencoba mengurai tabir pendidikan PPDS di Rumah Sakit yang ternyata tak seperti kita kira. Bagaimana kemudian gejala depresi bisa sampai menghinggapi benak para calon dokter muda ini?.
Menurut pengakuan dari sumber anonim yang dihubungi tugumalang.id, seorang dokter umum di Malang, Jawa Timur, fenomena itu sudah bukan hal yang asing di dunia pendidikan kedokteran. Menurut dia, sumber utama gejala depresi ini datang dari banyak faktor.
Baca Juga: Dampak Stunting Terhadap Perkembangan Anak Simak Penjelasan Dokter Spesialis Anak RS Hermina Malang
Faktor yang ditengarai paling berpengaruh adalah fenomena perundungan atau bullying yang terjadi antara kakak dan adik tingkat. Jika ini benar, bullying ternyata tak hanya terjadi di lingkup sekolah atau pondok pesantren, tapi juga terjadi di dunia pendidikan kedokteran.
Ada Rantai Bullying Tak Terlihat
Bullying ini, kata dia, bahkan seolah ternormalisasi dan tak bisa dihindari karena ada relasi kuasa yang pelik di dalamnya. Sebagaimana halnya para senior yang memanfaatkan situasi kepepet para juniornya.
“Mereka (mahasiswa, red) ini kan butuh banget agar pendidikannya lancar. Meski ada supervisi langsung dari dokter spesialis asli, tetap saja yang dihadapi ya para senior ini. Mau tidak mau, mereka harus nurut. Di situlah akhirnya terjadi bullying, baik secara verbal bahkan fisik,” bebernya.
Ketergantungan ini yang kemudian membuat relasi antara senior kepada juniornya menjadi-jadi. Tak jarang, para calon dokter muda ini bekerja ekstra melebihi jam kerja, kerja tidak sesuai tupoksi dan lain-lain sehingga menguras tenaga, pikiran dan jiwanya.
Baca Juga: Bocah 6 Tahun di Malang Meninggal Usai Disuntik Obat, Dokternya Bingung Tentukan Sebabnya
“Bahkan saya ada dengar, senior ini disuruh jemput anak seniornya di sekolah, ditambahi beban kerja tugas senior dan lain-lain. Ada banyak lagi beban kerja tak wajar lainnya,” ungkapnya.
Dipepet Ekonomi
Selain bullying, para calon dokter juga dihadapkan dengan bayang-bayang faktor ekonomi. Dimana secara aturan, mahasiswa yang menempuh PPDS ini dihadapkan dengan aturan larangan bekerja selama masa pendidikan.
Di sisi lain, calon dokter yang menempuh PPDS ini rata-rata memiliki latar belakang sudah berkeluarga. Pendidikan yang ditempuh dalam kurun waktu 5 tahun membuat mereka kelimpungan membiayai keluarga dari mana.
”Tidak heran jika sebelum pendidikan mereka kerap ditanyai soal sumber kekuatan biaya mereka. Mulai tabungan, istri bekerja atau sumber dana dari pihak orang tua atau mertua,” jelasnya.
Tak pelak situasi tersebut membuat peserta harus disokong dengan perekonomian yang kuat, selain mental. Sebenarnya bisa saja mereka memiliki opsi untuk bekerja sembunyi-sembunyi di klinik atau yang lain, namun resikonya besar.
Baca Juga: Universitas Brawijaya Terima 3.662 Mahasiswa Jalur SNBP, FK-Kedokteran Paling Diminati
”Apalagi kalau buka klinik sendiri, resikonya terlalu besar dan pengaruh pada pendidikannya. Rata-rata yang jadi bekingan ekonomi sementara mereka ya dari istri atau orang tua mereka sendiri,” ujarnya.
Kekurangan Waktu Ibadah
Dokter umum di Malang ini menyebutkan jika faktor yang membuat kejiwaan mereka tak stabil berkaitan dengan kondisi spiritual mereka. Waktu, pikiran dan tenaga yang dicurahkan selama masa pendidikan kerap membuat waktu ibadah mereka terpinggirkan.
Aspek religiusitas seseorang menurutnya dapat menjaga kestabilan psikologis seseorang. Dengan beribadah, emosional mereka lebih terjaga, tidak merasa stres atau bahkan paling parah mengalami gejala depresi.
”Banyaknya jumlah pasien yang ditangani, belum lagi mereka bikin laporan, presentasi morning report, jaga poli. Itu yang membuat spare waktu mereka untuk beribadah kurang atau bahkan terlupakan. Itu bagi saya juga jadi faktor penyebab,” kata dia.
Ketiga faktor penyebab ini saling berkaitan dan akan menuju titik akumulasinya pada titik emosional tertinggi, yaitu depresi. Sebab itu, perlu kebijakan strategis bagi rumah sakit yang menjadi tempat pendidikan untuk mereformasi manajemen waktu kerja.
“Jadi harus imbang, kapan pendidikan, istirahat dan kapan waktu ibadah. Karena kekuatan mental ini yang paling penting,” kata dia.
Selain itu, fenomena aksi bullying berkedok ‘pembentukan karakter’ tersebut sudah waktunya dihilangkan. Kemenkes sendiri telah mengeluarkan Instruksi Menteri Kesehatan (Imenkes) RI Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023 yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan perundungan (bullying) terhadap peserta didik di rumah sakit pendidikan dalam lingkungan Kemenkes.
Baca Juga: Universitas Negeri Malang Buka Penerimaan Mahasiswa Baru Prodi S1 Kedokteran
Imenkes ini termasuk mendorong Direktur RS ikut berkontribusi dalam menciptakan ruang pendidikan yang aman dan nyaman. Instruksi ini juga meliputi sanksi bagi pelaku bullying yang paling berat berupa penurunan pangkat satu tingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan atau pembebasan jabatan, status kepegawaian bagi tenaga pendidik dan pegawai lainnya.
Sementara untuk peserta didik juga akan mendapat saksi yaitu pengembalian kepada penyelenggara pendidikan dan/atau dikeluarkan sebagai peserta didik. Imenkes ini diharap dapat diimplementasikan dengan baik untuk menyelamatkan wajah kualitas pelayanan kesehatan di masa depan.
Tidak bisa dibayangkan jika seluruh dokter spesialis yang ada memiliki ketidakstabilan emosi akibat rantai pendidikan yang berlumur fenomena bullying hingga beban kerja berlebih (over work). Bukan tidak mungkin fenomena ini dapat menurunkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat ke depannya.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter : M Ulul Azmy
editor: jatmiko